Mungkin jika kita membuat kenangan seperti video dan mendadak viral, semua orang akan langsung melantun lagi 'Adek... cinta enggak selamanya indah dek.' tapi justru kayaknya aku bakalan senang-senang saja deh. Karena aku tahu kalau video itu akan jadi satu-satunya kenangan yang bisa aku terus putar saat kamu tidak lagi ada di sisi aku.
'Hi Ferly!'
Lelaki cinta pertama aku yang kini sudah bersama di pangkuan Tuhan. Aku mau cerita tentang kamu yang buat aku menjadi paham bagaimana rasanya belajar tentang kehidupan yang belum tentu orang lain akan dengan senang hati mengajarkannya untuk aku. Semuanya berawal dari kamu yang memakai sepatu nyentrik bewarna hijau neon.
Senyum mengembang di wajahnya tidak pernah bisa di lupakan, wajah khas orang Jerman terlihat disana. Dia blasteran. Jerman-Indonesia.
"Woy lo tau aturan sekolah enggak sih? Pakai sepatu norak! Hitam!! Pakai sepatu yang hitam bodoh!"
Aku? Saat itu hanya menyaksikan bagaimana dia menyahut rekan sekelas kami yang secara jelas tidak menyukainya. Wajah Ferly yang blasteran tentu saja menarik minat banyak orang di sekitarnya.
"Oh! Sorry, I don't understand what you said. Speak slowly please,"Â
Bahasa inggrisnya begitu berantakan dan wajah konyolnya. Lelaki itu berjalan mendekat ke arah kursi di tengah, dekat dengan aku duduk. Semua mata tidak lepas memperhatikan aku yang hanya seperti orang bodoh dan tidak suka diperhatikan.
"Sial!" umpatan kecil keluar dari mulutku dan menutup wajah menahan malu.Â
"Tidak baik jika perempuan mengumpat, ayo kita keluar! Di kelas ini tidak asik."Â
Mata yang berkedip memandang tidak percaya lelaki disebelahnya yang hanya mengedikkan bahunya tidak peduli, saat itu dengan berani tangannya menggenggam erat tanganku.
Kami pergi meninggalkan ruang kelas yang akan memulai jam pembelajaran. Tidak tahu aku akan dibawa kemana, tapi yang jelas ini tempat yang jauh dari kelas.
"Kita mau kemana?"
"Ruang kelas kosong," sahutnya pendek
"Kenapa?"
"Karena disana enggak ada orang,"
Aku terdiam memandang lelaki yang memasuki ruang kelas kosong, sepertinya tempat ini menjadi tempat persembunyian kami. Tatapan mataku masih terpokus pada sepatu yang aku anggap nyentrik itu.
Mungkin OSIS dan guru memakluminya karena 'Dia anak baru' dan 'Dia masih enggak tahu aturan' kurang lebih begitu.
"Sepatu kamu nyentrik,"
"Keren, kan? Kenapa sekolah melarang siswa memakai sepatu yang bagus seperti ini? Aku tahu aturan tetapi siswa berhak mempunyai fashion dan ide kreatif sendiri. Aku tahu apa yang mereka bilang, hanya saja... menutup telinga dan berpura-pura tidak tahu itu jauh lebih baik kalau tidak mau tertekan. Tertekan dengan peraturan, ini hidup. Sudah banyak peraturan," penjelasannya memang menjengkelkan tetapi itu membuat aku terdiam tanpa kata.
Aku memperhatikannya dalam, matanya yang cokelat terang dan senyumnya. Tidak bisa aku lupa.
"Maaf karena sudah membuat kamu mengumpat," ungkapnya pelan.
"Kenapa minta maaf? Aku cuman enggak suka jadi pusat perhatian makanya aku reflek bilang begitu." jujur aku mengatakan itu ke Dia yang kini menepuk pundakku lembut.
"Sebagai lelaki gentle harus minta maaf, lebih seru menjadi pusat perhatian. Tandanya kita diperhatikan dengan baik, menjadi selebritis tidak seburuk itu. Kamu dimasa depan akan menjadi seorang pembicara, bahkan di depan orang tua kamu sendiri. Mereka akan menjadikan kamu pusat perhatian mereka, tetap slow dan tenang. Kita bukan sedang menghadapi perang dunia ke 2, enggak usah tegang begitu."
Saat itu aku tersadar. Mungkin memang benar jika aku tidak suka menjadi pusat perhatian bahkan di depan orang tua aku sendiri, bagaimana aku mengatakan kalau itu yang aku mau. Kadang karena perhatian yang kurang membuat kita sering disalah pahami dan disalah artikan.
"Kenapa melamun? Lihat gajah terbang?" tanyanya dengan wajah konyol.
"Kamu..."
"Aku ganteng, kan? Aku tahu... semua perempuan suka dan secara langsung mengatakan cinta sama aku. Kata orang cinta seumuran sama kita itu cuman cinta monyet, aku jadi kasihan sama monyet. Selalu digunakan sebagai ungkapan cintanya anak muda," Â Aku tidak menjawab dan hanya menatap lurus kearah depan.
Tidak tahu apalagi yang bisa dibicarakan oleh mereka tapi yang aku sadar, jika berteman dengan dia. Maka aku akan belajar banyak tentang dunia yang mungkin belum aku pelajari.
"Gue Ferly, Lo...?" tanyanya.
"Euhm... ternyata Lo bisa juga bahasa kasar. Lo cari tahu saja sendiri," sahut aku yang kini bangkit dari duduknya menuju keluar ruangan.
"Konyol, masa nama suruh cari sendiri. Memangnya mau namanya diganti, dasar no name!" keluhnya.
Aku tertawa pelan, tapi yang aku sadari ini pertama kalinya aku tertawa karena laki-laki selain sepupuku. Bahkan ayahku dan kakak tertuaku tidak pernah membuat aku tersenyum manis.
"Kita bisa jadi teman dekat, ayo berteman sama aku!" ajakku dengan senyum canggung yang biasa aku tampilkan.
Rambutnya yang tertiup angin membuat keadaannya menjadi mendadak tenang dan membuatku terpesona.Â
"Ayo, aku akan  ajak kamu menjelajahi dunia yang kamu enggak ketahui."
Pas. Jawaban yang sangat pas, dan itu adalah jawaban yang aku inginkan.
Jika diingat  maka Ada banyak pelajaran yang bisa aku ambil hari ini dan itu semua berkat dia. Karena itu aku ingin menjadi menjadi lebih dekat dengan kekonyolannya yang membawa banyak arti untuk aku.
Kisah kami di mulai sejak kami berumur 13 tahun, cinta monyet berawal yang berujung penuh dengan kenangan dan cerita yang abadi.
(Dilarang mengcopas atau melakukan tindakan apapun) Cerita ini masih berlanjut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI