Mohon tunggu...
Jasmin Stg
Jasmin Stg Mohon Tunggu... Administrasi - Anak ke-1 dari delapan bersaudara. Anak dari Manat Stg. Lahir saat peristiwa gejolak politik di Indonesia. Hidup mengikuti perkembangan zaman dan terus belajar sesuai zaman.

Memaknai setiap peristiwa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lidah Berlubang Itu Pun Pelita Bagi Kami

10 Februari 2021   22:13 Diperbarui: 10 Februari 2021   22:18 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama ibuku adalah Esti Sinaga. Ia lahir di Lontung Samosir pada 18 Mei 1943. Ia tidak pernah bersekolah. Namun, tentang nominal uang  ia sangat paham.  Ia sederhana dan mensyukuri hidup.  Pada usia 67 tahun  ia menghadap Sang Pencipta karena kanker lidah.

Ayah dan Ibu mendidik kami dengan teladan hidup. Pagi sekali, sebelum  ayam berkokok ibu telah berada di dapur dan menyiapkan sarapan pagi. Segera ia membangunkan aku dan adik-adikku  agar kami  ringan tangan mengerjakan tugas di rumah. Aku memeras susu kerbau.  Adik-adikku  ada yang mencuci pakaian, menyapu rumah, memberi makan ternak.  Itu adalah rutinitas  kami di saat  pagi. Setelah sarapan, kami bergegas ke sekolah.

Seringkali ketika kami bangun, ayah telah pergi ke ladang. Dua jam berikutnya, ibuku pasti menyusul. Ia menjunjung  keranjang berisi sarapan untuk ayah yang telah  bekerja di ladang. Saya dan adik menyusul untuk membantu. Saat  matahari berada di ufuk barat kami pulang. Kaki melangkah dengan sisa tenaga diiringi  desah nafas silih berganti. 

Pada malam  hari, kami duduk melingkar untuk santap malam bersama. Secara bergantian kami memimpin doa. Mata  tertutup, tangan mengatup dan bibir berucap untuk mohon berkat Tuhan.

Pada suatu  malam,  saat itu kami masih usia sekolah dasar. Mereka  memberi tanggung jawab kepada kami.

"Nak,  Bapak dan Ibu dalam 2-3 hari  ke depan akan ke Toba.  Ada pesta. Seperti biasa, ingat tugas masing-masing. Harus bisa bekerja sama".

Setelah makan, mereka menjelaskan siapa yang sedang menikah serta hubungan kekeluargaan kami. Penjelasan mereka  memberi arti pentingnya keluarga bagi kami. Sambil menjelaskan, ayah menyetrika celana dan kemeja. Ibu merapikannya serta memasukkan  pakaian  ke dalam tas.  Dan pagi sekali, mereka bangun dan menerobos fajar yang dingin untuk mengejar kendaraan umum yang paling awal berangkat.  

Tekad kami adalah bisa  bertanggung jawab atas tugas   dan   kami  buktikan saat mereka kembali lagi.  Puji Tuhan raut muka  mereka menunjukkan kegembiraan saat tiba di rumah.  Bahasa non verbal itu  menambah keyakinanku  bahwa kami dapat mengemban tugas dengan baik. 

"Ayo, mari nikmati kue ini!" seru ibu dan ayah. 

"Bagi ke teman-temanmu, ya. Kuenya hanya sedikit. Tadi, kue abangnya hanya tinggal ini.  Ayah dan ibu terburu-buru. Supir bus sudah menunggu.  Ayo, makanlah. Beri sedikit ke temanmu, ya."

Memang, kami biasa menunggu buah tangan tiap mereka pulang dari jauh. Kami duduk melingkar. Aroma kue itu menggoda dan benar enak.   Aku tahu mereka biasa membeli kue itu di terminal bus Pematang Siantar.

Biarkan Lidahku  Tetap Ada Meskipun Tidak Berbicara Jelas.

Dua tahun terakhir masa hidupnya,  sariwan ibu kambuh. Di sisi lidah kiri terdapat bintik-bintik dan memerah.  Katanya, saat itu ia  baru selesai  menimburi cucunya.  Manimburi adalah upaya pengobatan dengan cara menyemburkan  rempah yang telah dikunyah lumat kepada seseorang yang sedang sakit. Itu salah satu kebiasaan di daerahku yang dilakukan orangtua kepada anak atau cucu.  

Minggu demi minggu, sariawan tidak sembuh. Ia mulai risau dengan bintik-bintik yang tidak menunjukkan kesembuhan. Akhirnya kami membawanya ke dokter di daerah Serbelawan, sekitar 20 kilometer dari rumah. Hasil diagnosa, sariwan terjadi karena pencernaan di lambung tidak normal.  Seluruh anggota keluarga mulai gelisah. Perasaan dan pikiran tidak menentu.

Iman kami sebagai anak-anaknya sempat dibuat bimbang. Ibuku mendengar berbagai informasi, termasuk  informasi yang tidak rasional.  Kata orang, sirih dan kapur yang digunakan saat manimburi adalah pemicunya.   

Namun, kami bertekad untuk kesembuhan ibu. Jika mungkin dalam hitungan minggu atau hari ia  bisa pulih. Secara rutin ibu menjalani pengobatan medis. Selain itu, kami juga mencoba pengobatan alternatif. Adik bungsu kami, Bonaventura, membawa ibu ke Rianiate, Pulau Samosir. Ibu juga pernah mengusahakan pengobatan alternatif di daerah Sidikalang.  

Penyakit itu tidak mau beranjak. Lidah bagian luar mulai terkikis. Secara kasat mata, lidah terkikis karena gesekan gigi geraham atas dan bawah. Saran dokter di Rumah Sakit Harapan  Pematang Siantar  gigi yang bergesekan lebih baik dicabut.  Berdasarkan anjuran anak-anaknya ia pun merelekan gigi geraham dicabut.  Puji Tuhan ada perobahan.  Ia mulai  dapat mengucapkan kata-kata  dengan jelas.  Ia juga dapat mengunyah makanan  yang lembut. Ia pun mulai beraktivitas meskipun masih di sekitar rumah.  Anak-anak merasa gembira.  

Seiring kesehatan mulai membaik, Ia kembali aktif di acara adat. Ia juga  mulai mengkonsumsi berbagai macam makanan termasuk yang berlemak.  Entahlah, mungkin karena mengonsusmsi makanan yang tidak terkontrol, lidah mulai luka. Lekukan luka mulai lebar dan dan menjorok ke dalam.  Dokter berkata ibu kami menderita kanker lidah.  Saat itu kami  benar-benar  gundah gulana.  

Dokter menyarankan agar lidah dioperasi atau dikemoterapi.  Solusi itu menyakitkan.  Pilihan yang sangat berat.  Sejak itu, ia gampang emosi. Kami memberi otoritas penuh padanya apa yang bisa kami lakukan untuk  pilihan hidupnya.

 "Biarkan saya seperti ini asal saya tetap bisa bicara dengan orang yang saya sayangi. Meskipun,  kamu tidak  mengerti jelas. Apa artinya saya hidup tanpa lidah!"

"Jika saatnya Tuhan memanggilku, biarkan aku dengan lidahku seperti ini. Aku mau tubuhku utuh kembali kepada-Nya", tegasnya dengan wajah menahan sakit.

Maknanya sangat dalam untukku. Ia berkeyakinan, ia tetap bisa menyampaikan  maksudnya  meskipun kami tidak mengerti kata-kata yang ia ucapkan. Ia mau kembali secara utuh kepada Tuhan Pencipta.

Kami  belajar arti memahami.  Kejadian itu  menjadi refleksi mendalam bagiku dan adik-adikku. Satu-satunya pengobatan yang dia kehendaki adalah pengobatan herbal.

Segala upaya kami lakukan namun Tuhan lebih mencintainya. Tuhan mahatahu bahwa ibu telah siap meninggalkan kefanaan menuju alam  abadi bersama-Nya. Ya, ibu memiliki iman teguh. 

Hidup ini hanya sementara, semua akan kembali kepada-Nya. Pelajaran hidup terakhir paling esensial yang ia wariskan bagi kami.

Selamat jalan Bu menemui Ayah yang telah pergi mendahuluimu. Teladan hidup Ibu dan Ayah adalah  pelita hidup untuk kami.

Ditulis oleh

J. P. Sitanggang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun