Di antara maqashid syariah adalah kewajiban bekerja dan memproduksi.  Kewajiban ini berdasarkan istiqra' terhadap dalil-dalil yang memberikan dilalah qath’iah (makna yang pasti) bahwa berkerja dan produksi itu hukumnya wajib sesuai dengan firman Allah Swt.:
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah aku segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS Al- Mulk [67]:15)
Dalam ayat ini Allah Swt. Â memerintahkan berjalan di muka bumi ini untuk mencari rezeki Allah Swt. Â
Dalam konteks maqashid, mencari rezeki menjadi wajib untuk menyediakan kebutuhan harta dari aspek wujud karena tanpa bekerja, tidak mungkin ada uang dan harta. Â
Merealisasikan hifdzul mal dari sisi bagaimana mendapat-kannya (min janibi al wujud) sama halnya dengan merealisasikan harta yang sudah dimiliki (mi janibi al-adam). Â
Di antara ketentuan dalam syariat ini yang mewujudkan maqashid kewajiban bekerja di Dalam adalah bahwa syariat ini memberikan hak kepada pengelola usaha dalam bagi hasil untuk mendapatkan keuntungan atas usaha. Dan sebaliknya, ketentuan yang melarang pengelola untuk mendapatkan haknya tersebut bertentangan (maqashid) ini. Â
Di antaranya juga, syariat ini melindungi kepemilikan seseorang selama harta tersebut dihasilkan dengan cara-cara yang halal.Â
Syariat ini telah memberikan kewenangan dan hak setiap pemilik barang/jasa untuk memanfaatkannya dan menggunakannya dengan cara-cara yang dibolehkan syariat ini. Â
Dan sebaliknya, syariat ini melarang setiap perilaku yang merampas hak kepemilikan ini seperti pencurian, perampasan dan pengrusakan terhadap hak orang lain. Â
Objek kepemilikan yang dilindungi oleh syariat ini mencakup 2 hal, yaitu: memiliki fisik barang-barang tersebut (milk al-yad) dan memiliki manfaat. Oleh karena itu, dilarang menahan dan mempersulit pemilik barang untuk mengelolanya dan memanfaatkannya karena bertentangan dengan maqashid syariah dalam melindungi hak kepemilikan setiap orang karena hasil kerjanya yang legal (masyru’).
Sumber : Husein Hamid Hasan, Maqashid asy-Syariah al-Hayah al-Iqtishadiyah, hlm. 7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H