(3) Terkecuali memang diperlukan tenaga wanita selaku pekerjanya (seperti pembatikan, fashion, makanan jadi/catering dan sejenisnya), maka secara hati-hati mempekerjakan tenaga-tenaga wanita.
(4) Barangkali ada jalan tengah, bahwa apabila karyawati itu  berjaga-jaga terhadap hal-hal tersebutkan, hingga cuma minta cuti cukup 3 bulan saja (seperi semula), sisanya yang 3 bulan diganti dengan nilai uang.
Jadi, proses UU itu masih juga terjadi pro dan kontra atau tarik-ulur.Sebab nampaknya seolah-olah terburu-buru "untuk menguntungkan wanitapekerja".
Meskipun tidak lepas dari kecurigaan, keputusan yang buru-buru tanpa minta pertimbangan berbagai pihak, terutama para pengusaha (lewat organisasi-organisasinya) itu tidak lain karena kepentingan politik-praktis dimasa kampanye menghadapi Pemilu 2024.
Bagaimanapun juga, UU itu juga bakal jadi pertimbangan yang cukup memusingkan bagi para pimpinan Pemerintahan setempat dan terutama pimpinan BUMN. Antara kewajiban loyal padan Pemerintah dengan kondisi dikantor masing-masing dan  efektivitas kerja dilembaganya. Apalagi seperti BUMN yang dituntut hasil kerja/produksinya memberikan kemajuan dan keuntungan bagi Negara.
Pada akhirnya, para karyawati yang akan melahirkan anak, memang bakal menguntungkan, namun juga bisa mengkhawatirkan tentang statusnya dibidang pekerjaannya. Mudah-mudahan saja ada solusi saling menguntungkan antara para karyawati/buruh dan para majikan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H