Seumur-umur saya (92 th), baru sekarang ada cuti yang luar biasa. Untuk wanita-pekerja/karyawati. RUU KIA (Perburuhan) disahkan jadi inisiatif DPR-RI minggu lalu memberi hak cuti melahirkan selama 6 bulan (52 minggu). Setengah tahun! Sedangkan sang suami yang isterinya melahirkan itu, hak cuti 40 hari. Maksudnya, untuk membantu dan menunggui sang isteri yang melahirkan itu.
 Memang istimewa saat Ketua DPR itu wanita, Puan Maharani. Alasannya, beberapa negara (maju) diluarnegeri juga menerapkan jangkawaktu yang sama untuk wanita-pekerja yang melahirkan.
Tetapi keputusan itu juga masih menjadi masalah pro dan kontra. Yang pro sudah jelas siapa saja. Tetapi yang kontra, selain beberapa pengamat sosial-ekonomi, tentu saja para pengusaha alias para majikan yang mempekerjakan para karyawati itu ditinjau dari masalah produksi usaha mereka.
Kalau alasan beberapa negara diluarnegeri menerapkan itu, adalah negara-negara maju, dimana perusahaan/industri mereka ditopang mekanisasi yang lengkap. Jadi, selama wanita-pekerja itu cuti, produksi tidak berkurang karena bisa digantikan oleh teknologi mekanisasi tersebut.
Ada sesuatu yang rada mengganjal antara UU KIA itu dengan maksud Pemerintah untuk menarik banyak industri (yang diperlukan) dari luarnegeri.Maksudnya, agar kemajuan teknologi bakal memenuhi negara kita, lalu hasilnya akan memberi kemajuan masalah sosial-ekonomi negara dan banyaknya tenagakerja yang bisa diserap.
Namun wajarlah apabila para calon penanam modal luarnegeri yang akan mendirikan industrinya di Indonesia tentu akan meneliti lebih dulu berbagai urusan pelancaran izin, kondisi daerah dan harga lahan serta masalah aturan perburuhannya. Tentu saja bakal juga mempertimbangkan mengenai hak cuti bagi wanitapekerja itu. Ada cara-cara mungkin bisa ditempuh demi efisiensi produknya, antaralain mengecilkan jumlah wanita sebagai karyawannya, menggunakan sebanyak mungkin peralatan yang masinasi(machinery) atau robotisasi. Â
Sementara itu, para pengusaha kita yang besar maupun yang berukuran kecil, kalaulah berani dan boleh berargumentasi keberatan  atas masacuti itu, mungkin saja punya jalan antaralain:
(1) Karena pentingya proses produksi perusahaannya, bidang tugas dan jabatan karyawati yang cuti 6 bulan itu harus diisi agar operasionalnya tetap berjalan.
(2) Dengan begitu jabatan yang bercuti itu digantikannya. Kalau nanti masuk-kerja, menjadikan tidak lagi memegang fungsi jabatan yang pernah dipegangnya.
(3) Terkecuali memang diperlukan tenaga wanita selaku pekerjanya (seperti pembatikan, fashion, makanan jadi/catering dan sejenisnya), maka secara hati-hati mempekerjakan tenaga-tenaga wanita.
(4) Barangkali ada jalan tengah, bahwa apabila karyawati itu  berjaga-jaga terhadap hal-hal tersebutkan, hingga cuma minta cuti cukup 3 bulan saja (seperi semula), sisanya yang 3 bulan diganti dengan nilai uang.
Jadi, proses UU itu masih juga terjadi pro dan kontra atau tarik-ulur.Sebab nampaknya seolah-olah terburu-buru "untuk menguntungkan wanitapekerja".
Meskipun tidak lepas dari kecurigaan, keputusan yang buru-buru tanpa minta pertimbangan berbagai pihak, terutama para pengusaha (lewat organisasi-organisasinya) itu tidak lain karena kepentingan politik-praktis dimasa kampanye menghadapi Pemilu 2024.
Bagaimanapun juga, UU itu juga bakal jadi pertimbangan yang cukup memusingkan bagi para pimpinan Pemerintahan setempat dan terutama pimpinan BUMN. Antara kewajiban loyal padan Pemerintah dengan kondisi dikantor masing-masing dan  efektivitas kerja dilembaganya. Apalagi seperti BUMN yang dituntut hasil kerja/produksinya memberikan kemajuan dan keuntungan bagi Negara.
Pada akhirnya, para karyawati yang akan melahirkan anak, memang bakal menguntungkan, namun juga bisa mengkhawatirkan tentang statusnya dibidang pekerjaannya. Mudah-mudahan saja ada solusi saling menguntungkan antara para karyawati/buruh dan para majikan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H