Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menyoal Konsumsi Daging Kerbau dan Upaya Pelestarian agar Tidak Punah

9 Maret 2020   07:48 Diperbarui: 9 Maret 2020   08:28 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: suaramerdeka.com

Jelang Lebaran April-Mei mendatang, pemerintah bakal mengimpor daging kerbau asal India sebanyak lebih kurang 100 ribu ton lewat Perum Bulog. Begitu keputusan Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam rapat (6/3) bersama Kementerian-kementerian  Perdagangan, Pertanian dan Perum Bulog. 

Menurut Direktur Bisnis dan Industri Bulog, Bachtiar, penugasan mengimpor 10 ribu ton diberlakukan untuk kurun waktu satu tahun dan segera dilaksanakan setelah ada Surat Persetujuan Impor (SIP) dari Kementerian Perdagangan. 

Impor yang siap dalam waktu dekat sejumlah 25 ribu ton daging kerbau India untuk kesiapan menjelang Idulfitri 1441 H. yang masuk Indonesia pada April mendatang. Sedangkan yang tersimpan di Bulog hanya sekitar 1000 ton selain yang masih ada di distributor.

Kalau melihat kebutuhan daging guna konsumsi maupun proses industri kita berdasar Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS,  konsumsi daging sapi/kerbau sebesar 2,66 kg/kapita/tahun. Sedangkan untuk kebutuhan sampai dengan Mei depan saja 165.478 ton, Sehingga kekurangannya sebanyak 136.822 ton dipenuhi daging impor  103.042 ton dan impor sapi bakalan 252.810 ton (setara 56.659 ton daging).

Kebutuhan daging sapi/kerbau yang tinggi dan terus meninggi itu terbawa oleh meningginya nafsu mengkonsumsi makanan sehat sesuai anjuran pemerintah sejak dulu. Makan daging menjadi kebutuhan untuk menu makanan masyarakat kita. Kalau dulu mungkin jumlah sapi atau kerbau sama dengan jumlah manusianya, kini ternyata jumlah manusia Indonesia (dan pemakan daging) jauh lebih banyak, sehingga jumlah ternak itu menyusut karena dagingnya dijadikan pengisi perut.

Untuk urusan nasib kerbau sebagai satwa sembelihan, sejak dulu di Sulawesi (disebut "tedong") dagingnya jadi konsumsi rakyat. Sampaipun sop-konro asal Sulsel kalau dagingnya bukan asal tedong, kurang enak dan kurang mantap. Tetapi kebutuhan daging melonjak, sehingga kerbau di pulau Jawa yang

Dulu dikenal sebagai tenaga kerja di persawahan, ikut-ikutan dijadikan penghias piring di meja makan.

Coba anda tanya pada anak-anak anda yang masih di Taman Kanak-Kanak sampaipun SD, "apa pernah melihat kerbau?". Banyak yang menjawab "belum". Atau sudah melihatnya, tapi di layar televisi. 

Pada hal, sewaktu anda yang usia setengah baya dan hidup di dalam kota, dulu kalau mau lihat kerbau cukup tak jauh keluar kota sudah melihat kerbau-kerbau yang dipekerjakan oleh para petani untuk membajak tanah. 

Sekarang, untuk melihat persawahan saja harus jauh dari kota dan pak tani bukan menggiring kerbau membajak tanah, tetapi sudah mengendalikan tractor!

Menunjukkan angka-angka kebutuhan konsumsi daging plus bakal impor daging kerbau asal India di atas, sekedar menunjukkan betapa besar ukuran kilogram daging yang dibutuhkan masyarakat kita. 

Jelas jumlah kerbau kita di tanah air dalam dua tahun saja bisa ludes. Sampai pun sisa-sisa kelompok kerbau liar yang ada di Taman-Taman Margasatwa seperti di Baluran (Situbondo-Banyuwangi, Jatim) ludes pun tidak akan mencukupi. Satwa kita meskipun dijadikan olok-olok "bodoh seperti kerbau", akan tetapi merupakan bagian dari kehidupan alam pertanian atau pedesaan. 

Biarlah anak-anak kita juga bisa menikmati bentuk dan gaya kerbau yang aslinya. Bukan dari cerita atau gambar saja. Biarlah mereka bisa memahami bagaimana kisah-kisah tentang anak-anak desa yang merawat kerbau-kerbau itu menaiki punggung kerbau, atau kisah anak penggembala kerbau di Sumatera ketika menaiki kerbau itu di tepian hutan, tiba-tiba akan disergap seekor harimau. 

Kerbau itu akhirnya berhasil melindungi anak itu dengan melawan harimau yang akhirnya luka-luka kena tanduk dan lari ke dalam hutan. 

Anak-anak kita kini akan terheran-heran bila menyaksikan ada kerbau yang digunakan untuk menarik pedati yang biasanya mengangkut hasil pertanian. Ataupun punya perasaan berbeda-beda melihat di beberapa daerah kerbau-kerbau dipertandingkan dalam balap kerbau di sawah, ataupun ada yang diadu bertarung. 

Memang bisa jadi  lucu, bahwa suatu saat kerbau-kerbau akan dipelihara di Kebun-kebun Binatang atau di Taman-taman Safari agar bisa diketahui oleh anak-anak kita. Seperti nasib para banteng yang dipelihara di tempat-tempat tersebut, karena masyarakat tidak mudah kalau mau menyaksikannya sendiri kehidupan para banteng itu  di tengah-tengah hutan tertentu.

Jaman modern dengan serba mekanisasi memang memojokkan kehidupan kerbau-kerbau sebagai tenaga kerja untuk pertanian. Kini mereka menghadapi kemegahan karena derajatnya naik di atas piring di meja makan serta sangat dibutuhkan sebagai bahan konsumsi masyarakat karena dagingnya dan kulitnya untuk kerupuk rambak.

Demi kelestarian satwa kerbau, kiranya pemerintah berupaya untuk membatasi pembantaian kerbau-kerbau demi dikonsumsi. Perlu kiranya pembiakan-pembiakan kerbau demi pelestariannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun