"Ayo, mas. Mari masuk !"
Lelaki itu melangkah masuk sambil melepaskan helmnya tanpa membalas sapaan wanita itu. Sepertinya lelaki itu telah terbiasa dan mengerti semua hal yan terjadi di tempat itu.
Aku jadi ingat apa saja yang mereka kerjakan di dalam rumah itu. Mungkin saja semua hal yang sama akan terjadi seperti ketikan aku dan teman-teman bertandang ke tempat pijat di tempat yang lainnya. Maka pikiranku yang buruk dan liar melayang kemana-mana: ke bibir wanita tanpa nama itu, ke belahan dadanya, pusarannya, selangkangannya, dan semua yang indah di tubuhnya. Aku menganggap laki-laki semua yang datang melepaskan nafsu di tempat itu semuanya brengsek dan aku menganggap diriku yang paling benar jika sepanjang hariku aku mengurung diriku di rumah itu. Aku akan menghantam siapa saja yang datang ke tempat itu.
"Aku akan bersedia dengan sepenuh hatiku menjadi istri mereka semua agar mereka tidak lagi menerima imbalan nafsu para lelaki hidung belang atau lintah-lintah darat yang brengsek itu. Aku akan menafkahi mereka dengan kasih sayang dan mengenyangkan mereka dengan seribu jurus nafsuku sendiri." Kataku pada diriku sendiri.
Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Langit di kota ini terang dengan lampu-lampu yang memancar dari gedung-gedung yang menjulang. Tak ada satupun bintang yang bersinar indah. Semuanya digantikan dengan gemerlap lampu-lampu di kota ini. Aku melangkah pulang ke kosku dengan penuh harapan akan suatu hari nanti aku akan merubah kehidupan mereka semuanya.
***
Gerusan ombak berkali-kali melipat laut dan menerpa bekas kakiku yang tertinggal di atas pasir itu. Aku terus melangkah di hamparan pasir itu dengan hayalan masih mengenang semua peristiwa di kota itu. Aku menghisap kretekku dalam-dalam sambil melangkah ke arah terbenamnya senja. Semuanya begitu indah dan mesra. Aku merasakan kemesraan yang begitu intim dengan alam semesta ini, dengan senja, pantai, dan mungkin dengan perempuan tanpa nama itu.
Aku menggumam dalam hatiku "untunglah, tanah kelahiranku tak seperti kota yang pernah aku datangi itu. Semoga desa kelahiranku tetap menjadi seperti ini dengan budaya yang asri."
Aku terus melangkah saat malam turun perlahan-lahan menggantikan petang. Riuh ombak terus mengalun indah menerpa pesisir dan aku berhembus puas.
(Jakarta, 20 April 2018, 23:50)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H