Oleh: Ama KewamanÂ
Senja di akhir minggu ini datang lagi dengn guyuran hujan yang lebat. Aku sediri saja berjalan-jalan di hamparan pasir yang basah. Langkahku meninggalkan bekas-bekas kaki yang tertinggal diatas pasir yang basah dan laut yang surut.
Senja jatuh perlahan-lahan dan menghilang dibalik bukit. Bayang-bayang pohon kelapa yang tidur di genangan laut semakin memudar. Burung-burung laut berterbangan di langit senja tanpa mengepakan sayapnya, mengingatkan aku akan pertemuanku dengan seorang wanita di sebuah kota yang ramai dengan hiruk pikuk masyarakat yang serba hedonis, dan di antara lorong pembatas tokoh masuk ke perumahan warga.
***
Beberapa tahun silam di kota itu, semua peristiwa itu terjadi. Ketika itu aku baru pulang dari kampus. Karena hujan deras aku berteduh di emperan tokoh. Pada emperan tokoh yang lainnnya berdiri seorang perempuan tinggi mengenakan tas kecil, sweater yang lembab dan rambutnya terurai berantakan di bahu karena habis dikeramas air hujan yang belum berhenti ini. Ia masih berdiri berpayung telapak tangannya setelah keluar dari dalam angkot karena hujan masih merembes membasahi emperan tokoh itu. Sudah barang tentu kami yang berteduh di emperan tokoh tidak diperbolehkan untuk masuk karena pintu masuk tokoh itu telah diberi pembatas.
Aku memberanikan diri menyeberangi hujan, berpindah ke emperan tokoh tempat di mana perempuan itu berteduh. Sudah tentu dengan maksud untuk berkenalan dengannya. Hujan perlahan-lahan mulai redah dengan sisa-sisa gerimis yang masih berjatuhan di langit senja. Pelangi datang dengan segala keindahannya sebelum hujan benar---benar berakhir dengan sempurna.Â
Meski sudah berada disampingnya dengan badan setengah basah, aku merasa sedikit gemetar. Bukan karena dinginnya hujan tetapi seperti ada desakan dari dalam tubuh seperti gejolak jiwa yang tunduk pada hati dan pada padangan pertama. Lidahku kaku, mulutku sulit untuk berucap. Aku menoleh kearahnya sesekali untuk mengajaknya bicara namun apa daya aku tak mampu. Â Â
Senja menghilang di kaki langit yang muram meninggalkan sisa-sisa gerimis yang menawarkan datangnya pelangi untuk bumi. Fortmat formasi pelangi yang indah terbentang di seperempat khatulistiwa. Langit senja mekar dan merona dalam rupa yang begitu indah. Perempuan itu mengurai rambutnya yang masih basah dan dibagian ujungnya butir-butir air masih bergelantungan bagai embun di dahan subuh.
Aku melihat matanya sejurus tertuju pada senja yang mekar dengan pelangi senja yang dihiasi gerimis yang belum benar-benar berhenti itu. Kudapati ekor matanya melirik ke arahku sebelum akhirnya malu-malu berpaling muka memandang pelangi. Ia berpaling dengan sedikit senyum tersungging pada bibirnya seperti malu pada dirinya sendiri atau malu pada diriku.
Ia melangkah keluar dari emperan tokoh setelah berpamitan denganku. Ia melepaskan tasnya dari bahu dan memayungi kepalanya dari gerimis yang tersisa dari hujan dan genangan hujan dimana-mana  mengalir menuju selokan.Â
Aku tersadar ketika salah satu sopir angkot berhenti didepan tokoh dan membunyikan klaksonnya memberi isyarat aku akan ikut dengannya.Â
Mataku masih tertahan pada senja yang turun perlahan menyisakan pelangi dikepung awan hitam dan perlahan-lahan hilang dari pandanganku.Â
Aku sudah tak melihat lagi perempuan itu. Aku merasa terjebak dalam irama senja bersama perempuan tanpa nama, pemilik senyum yang indah dan tubuh molek dan seksi itu.
Seorang anak kecil yang duduk dibelakangku, tangannya menggaruk bekas luka dibagian kakinyaa yang belum sembuh. Disampingnya sebuah karung yang ia gunakan untuk memilih plastik bekas. Ia mengatakan bahwa perempuan yang berdiri disampingku tadi telah pergi.Â
Ia hanya menduga bahwa kami adalah sepasang kekasih dan perempuan itu pergi karena marah denganku sebab aku lebih memilih jatuh cinta pada senja dan pelangi yang indah dari pada perempuan itu. Memang demikian, tak ada bedanya antara senja dan perempuan tapa nama itu. Sama-sama indah dan pesonanyaa memikat mata dan hatiku, bahkan mungkin bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Aku menanyakan pada anak kecil itu tentang kemana arah perginya perempuan itu dan ia mengatakan bahwa, perempuan itu pergi melewati lorong antara tokoh itu setelah berpamitan denganku.
Aku memberinya uang lima ribu rupiah, setelah itu kususuri jalan tempat dimana perempuan itu melangkah pergi dari sisiku seperti yang dikatakan anak kecil itu. Barangkali ia menungguku dibelakang pertokoan itu. Namun tiba dibelakang tokoh itu, aku tak melihatnya. Aku hanya melihat banyak kontrakan dan kos-kosan putri berjejer di belakang pertokoan itu. Mungki saja ia tinggal di salah satu indekos ini. Di salah satu emperan kontrakan itu, terlihat anak-anak kecil mengenakan kopiah sambil duduk bersila hendak belajar mengaji. Pada emperan kontrakan yang lainnya, orang tua yang rambutnya sudah uban duduk sambil membaca koran dan kaca matanya jatuh dengan posisi tersandar di belahan hidungnya. Aku melihat sesekali ia meneguk cangkir teh tanpa rokok, dan di halaman rumah yang lainnya, seorang ibu sedang membersihkan emperan karena terendam banjir oleh datangnya hujan beberapa saat yang lalu.
Pada tempat yang lainnya, terlihat sebuah rumah dengan cat berwarna biru, pada dinding itu terpajang sebuah tulisan 'Tempat pijat dan Urut'. Aku ingat, temanku pernah berkata ketika kami bersam-sama duduk di kosnya menghabiskan bir dan whiski berbotol-botol, ia sempat mengajak kami untuk melepaskan sisa rasa mabuk kami di tempat urut. Katanya kalau kita ke diskotik bayarannya lebih mahal. Akhirnya kami memutuskan untuk berkunjung ke tempat urut. Sejak kejadian itu, aku mulai berpikiran buruk tentang banyak tempat urut yang ada di kota ini. Â Â
Mataku mengawasi perempuan tapa nama itu disekeliling kos-kosan itu. Siapa tahu saja ia ada didekat sini. Aku berlagak seolah hendak menanyakan kos-kosan yang ada didekat sini dengan maksud untuk melihat-lihat keberadaannya, karena tatapannya yang dalam penuh makna telah menyisahkan teka-teki yang ingin kutahu jawabnya.
Tak lama berselang, aku melihat permpuan itu keluar dari tempat dengan dinding cat berwarna biru itu. Ia mengenakan baju tali satu, celananya yang pendek membuat mulus pahanya kelihatan hampir sampai ke selangkangan. Di tangannya terselip sebatang rokok yang ia tarik dalam-dalam. Ia langsung mengambil posisi duduk di emperan rumah itu dengan rokok yang masih mesra lekat di bibirnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki paruh baya keluar dari dalam rumah itu. Sampai di depan pintu, lelaki paruh baya itu membenarkan ikat pinggangnya dan menarik rosletingnya setelah itu berpamitan dengan wanita yang duduk di emperan rumah itu. Ia menghidupkan motornya, menutup helmnya rapat-rapat dan melajukan motornya keluar dari tempat itu.
Beberapa saat kemudian, satu motor lagi masuk dan berhenti di halaman rumah yang sama. Ia melangkah masuk ke rumah itu masih dengan mengenakan helmnya. Perempuan itu langsung berdiri menjemputnya di emperan rumah setelah mematikan rokoknya di asbak dan bersama-sama mereka melangkah masuk ke dalam rumah itu.
"Ayo, mas. Mari masuk !"
Lelaki itu melangkah masuk sambil melepaskan helmnya tanpa membalas sapaan wanita itu. Sepertinya lelaki itu telah terbiasa dan mengerti semua hal yan terjadi di tempat itu.
Aku jadi ingat apa saja yang mereka kerjakan di dalam rumah itu. Mungkin saja semua hal yang sama akan terjadi seperti ketikan aku dan teman-teman bertandang ke tempat pijat di tempat yang lainnya. Maka pikiranku yang buruk dan liar melayang kemana-mana: ke bibir wanita tanpa nama itu, ke belahan dadanya, pusarannya, selangkangannya, dan semua yang indah di tubuhnya. Aku menganggap laki-laki semua yang datang melepaskan nafsu di tempat itu semuanya brengsek dan aku menganggap diriku yang paling benar jika sepanjang hariku aku mengurung diriku di rumah itu. Aku akan menghantam siapa saja yang datang ke tempat itu.
"Aku akan bersedia dengan sepenuh hatiku menjadi istri mereka semua agar mereka tidak lagi menerima imbalan nafsu para lelaki hidung belang atau lintah-lintah darat yang brengsek itu. Aku akan menafkahi mereka dengan kasih sayang dan mengenyangkan mereka dengan seribu jurus nafsuku sendiri." Kataku pada diriku sendiri.
Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Langit di kota ini terang dengan lampu-lampu yang memancar dari gedung-gedung yang menjulang. Tak ada satupun bintang yang bersinar indah. Semuanya digantikan dengan gemerlap lampu-lampu di kota ini. Aku melangkah pulang ke kosku dengan penuh harapan akan suatu hari nanti aku akan merubah kehidupan mereka semuanya.
***
Gerusan ombak berkali-kali melipat laut dan menerpa bekas kakiku yang tertinggal di atas pasir itu. Aku terus melangkah di hamparan pasir itu dengan hayalan masih mengenang semua peristiwa di kota itu. Aku menghisap kretekku dalam-dalam sambil melangkah ke arah terbenamnya senja. Semuanya begitu indah dan mesra. Aku merasakan kemesraan yang begitu intim dengan alam semesta ini, dengan senja, pantai, dan mungkin dengan perempuan tanpa nama itu.
Aku menggumam dalam hatiku "untunglah, tanah kelahiranku tak seperti kota yang pernah aku datangi itu. Semoga desa kelahiranku tetap menjadi seperti ini dengan budaya yang asri."
Aku terus melangkah saat malam turun perlahan-lahan menggantikan petang. Riuh ombak terus mengalun indah menerpa pesisir dan aku berhembus puas.
(Jakarta, 20 April 2018, 23:50)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H