Tiba-tiba saja pikiran konyol dan imajinasi yang berantakan mecuat tiba-tiba dari dalam kepalaku bersamaan dengan asap rokok yang telah kusemburkan berkali-kali. Aku ambayangkan saja ketika semakin banyak jembut yang jatuh kedalam tandas dan menumpuk sampai banyak, tiba-tiba saja satu-satunya keran air yang ada didalam kamar mandi ini mati, dan bak penadah air yang biasa digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian ini pecah dan air yang telah kutadah tadi telah mengering dan airnya merembes keluar tanpa kuketahui dan aku terjebak diantara aroma jembut yang terus menguap dari dalam tandas bercampur dengan asap rokok yang berubah menjadi segala macam aroma didalamnya.
Bagaimana aku akan keluar jika ujung deburku tak kubersihkan terlebih dahulu ? aahh persetan. Lebih baik aku berhayal kalau aku sedang makan di KFC dengan menu makanan yang enak-enak di dalam tandas ini biar semuanya kunikmati saja.
Sambil membayangkan itu semua dengan kretek yang masih menyala terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, aku hendak menulis. Jika aku menulis didalam tandas pasti kalian akan bingun. Coba deh masuk kedalam kamar mandiku yang biasa digunakan untuk mandi, mencuci dan membuang sisa-sisa metabolisme ini biar kalian tahu.Â
Mungkin sangat jauh berbeda dengan kamar madi pada umumnya karena didalamnya sudah dilengkapi dengan white board, pensil, penghapus, spidol, buku, boltpoint, layaknya sebuah tempat kursus atau tempat belajar anak orang kaya. Aku menyediakan semuanya didalam tandas ini untuk menangkap kata-kata liar agar tidak terjerumus ke dalam tandas bersama dengan sisa-sisa jembut.
Tahukah kau kenapa aku sering menulis didalam toilet ? Bukan karena aku terpengaruh dari puisinya Jokpin, sapaan akrab sastrawan Joko Pinurbo tentang Toilet (Adalah Cermin Jiwa, Ruang Suci) tapi karena memang aku benar-benar ingin menulis. Aku juga sepakat dengan pendapatnya eyang Sapardi, yang ditulis dalam sebuah akun Facebook milik Negeri Poci.Â
Ia mengatakan bahwa kalau orang menulis karena imajinasi itu bohong. Kalau saya ingin menulis yah karena memang niat saya untuk menulis. Saya sepakat dengan pendapat eyang, tapi kalau saya boleh berpendapat mewakili anak-anakmu para pemula sastra yang lainnya, karena memang aku pun demikian, "yang kami maksudkan dengan imajinasi itu tdak lain adalah niat kami eyang. Hanya saja kami menggunakan diksi "imajinasi" untuk memperindah niat kami seperti halnya para politisi mengumbar janji-janji dan banyak yang tak terbukti.
Tanpa bisa dipungkiri, dalam tandas dengan kesunyian ini ide-ide itu datang dengan sergapan liar dikepalaku dan mengepul bersama segala macam rupa asap kretek yang tak henti-hentinya kuhisap ini. Tapi jika engkau berpendapat lain dan mengatakan bahwa aku menulis didalam tandas ini karena terpegaruh dari puisinya Jokpin tidak apa-apa.Â
Tapi yang jelas, ini adalah yang kesekian kalinya aku belajar menulis cerita pendek dan puisi didalam tandas ini. Dan untuk menghindari pendapatmu tentang aku yang meulis karena terpengaruh dari puisinya Jokpin, maka aku pun menolak untuk mencari atau membacanya kembali karena jika aku membacanya kembali maka aku tak akan berhasil menulis cerita pendek tapi aku akan menulis puisi. Dan yang paling aku takuti adalah aku tidak bisa menulis dari dalam diriku sendiri tapi aku menulis diatas karya orang lain.
Dan jika aku hendak menulis, aku akan menulis menurut ceritaku sendiri bukan menurut cerita orang lain dan aku menulis dari dalam diriku sendiri bukan terpengaruh dari para sastrawan terdahulu. Aku pun tak bisa pungkiri, bahwa apa yang dikatakan Sutardji dalam pidato kebudayaannya yang menataan bahwa menulis sastra berarti menulis diatas karya orang lain. Artinya menulis diatas budaya sendiri.
Aku meraih buku dan boltpoint yang kuletakan diatas tatakan, disamping whiteboard yang tergantung tepat di samping tandas. Perlahan-lahan ak mulai menulis cerita menurut cerita dan kisahku sendiri. Dan ketika aku menulis aku tak tahu bahwa aku sedang menulis. Tanganku melaju diatas kertas seperti berlomba dengan keran air yang masih mencuat kedalam bak penadah itu. Aku menulis tentang diriku sendiri dan bukan tentang orang lain, tentng kehidupanku dikota ini, tentang berapa banyak bungkus rokok yang bisa kuhabiskan dalam sehari, tentang cinta, tentang pacar dan semuanya.
Dan ketika aku menulis tentang  berapa banyak bungkus rokok yan kuhabiskan dalam sehari, aku mulai merasa gelisah dan takut. Aku berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh teman kampusku bahwa aku telah kecanduan. Tentu ia mengatakan itu karena ia pernah melihatku merokok didalam toilet kampus. Dan aku tak pernah menerima tudingan itu karena dengan alasan yang aku sendiri pahami.