Mohon tunggu...
Kristoforus Arakian
Kristoforus Arakian Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Cerdas itu Sexi

Tidak ada yang menjadi miskin hanya karena memberi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesia: Desentralisasi dan Federalisasi

30 Oktober 2021   20:31 Diperbarui: 30 Oktober 2021   21:26 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mending hilangkan saja Demokrasi kembali ke Orde Baru dengan sistem otoritarianisme, jika masih mendewakan hierarki dengan seragam otoritas. Karena secara prosedural tampak demokratis tapi secara substansi sama-sama brobok.

Desentralisasi dan federalisme merupakan dua perihal pendelegasian wewenang yang identik, dua hal yang memiliki substansi dan makna yang relevan namun berbeda ruang lingkup pelaksanaan sistemnya. 

Secara empiris kondisi objektif bangsa Indonesia hari ini menggambarkan suatu kondisi dimana sulit dipilah petakan antara proses pendelegasian wewenang yang bersifat desentralisasi hingga melahirkan otonomi daerah, dengan federalisasi sebagai sebuah sistem politik yang dimainkan oleh para negara adikuasa terhadap negara-negara yang berada dalam lingkaran otoritasnya . 

Namun pada hakekatnya bangsa Indonesia terjebak dalam sistem federalisme barat dalam hal ini Amerika Serikat. Sebagai bias dari terjebaknya bangsa dalam tatanan sistem federalisme ini mengakibatkan masyarakat otonom belum sepenuhnya merasakan efek positif dari peralihan sistem sentralisasi ini.  

Dari sisi positif jelas bahwa desentralisasi merupakan jawaban atas keresahan masyarakat lokal perihal sisi kehidupan yang terabaikan ketika bangsa masih menerapkan sistem sentralisasi baik dari segi pembangunan, ekonomi, pendidikan, kemiskinan, pengangguran dan lain sebagainya. 

Sehinggah proses pendelegasian wewenang ini merupakan alternative solutif yang digunakan untuk daerah lokal agar mandiri dalam manajerial daerah otonomnya.


Namun bangsa masih kian dilematis hingga mencederai masyarakat dengan penerapan sistem yang sebenarnya hanya dijadikan senjata dalam aktualisasi demokratisasi karena disatu sisi ada pengelembungan hierarki birokrasi atau birokrasi yang gemuk hinggah menjadikannya mirip sesuatu yang sakral. 

Sulit bagi masyarakat untuk menggontrolnya sekalipun dalam kondisi empiris begitu dekat dan menyinggung kehidupan masyarakat. Malah ada hal yang lebih Ironis lagi dimana desentralisasi membuka peluang kebobrokan dalam tubuh hierarki birokrasi bertopeng dan mempersiapkan lahan basah dan subur dimana tumbuh dan berkembangnya para predator lokal dirumahnya sendiri. 

Maka dibenarkan asumsi yang dikemukakan salah satu tokoh bangsa, tokoh yang terabaikan lantaran proses mencapai kemerdekaan dijadikan ajang kompetisi bagi kebanyakan pahlawan-pahlawan bangsa yang punya ambisi ketokohan, yang didalam asumsinya dia menegaskan " Tuan rumah tidak akan berunding dengan Maling yang menjarah rumahnya sendiri " (Tan Malaka).


Secara sepintas saya akan jabarkan secara general terkait desentralisasi dan Federalisme yang berdasarkan analisis dan hemat saya mengatakan bahwa ini dalang dari sekian banyak dalang dari problema bangsa yang hari ini dipertontonkan para birokrat. Desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang atau otoritas kejenjang atau ketingkatan hierarki yang lebih rendah. 

Namun harus kemudian digarisbawahi kelemahan paling urgen dari desentralisasi berkaitan dengan resiko karena pada hakekatnya pendelegasian otoritas niscaya berarti pendelegasian resiko yang diberikan kepada tingkatan-tingkatan hierarki yang lebih rendah, dalam hal ini hierarki lokal. 

Sebenarnya secara teoritis jelas bahwa alasan kenapa sistem desentralisasi ini kemudian diterapkan dalam khasanah kehidupan bangsa Indonesia karena secara objektif bahwa mayoritas besar informasi yang digunakan dalam sebuah sistem bersifat lokal dan mempunyai korelasi dengan keadaan-keadaan tertentu yang biasanya hanya diketahui oleh para pelaku-pelaku atau para elit-elit lokal. 

Argumentasi ini dalam kajian politik dikenal sebagai prinsip subsidiaritas, dimana keputusan-keputusan haruslah dibuat oleh tingkatan-tingkatan pemerintah yang lebih tinggi yang kemudian dialihkan kepada pemerintahan lokal dengan tujuan untuk menjalankan suatu fungsi tertentu.


Coba kita lihat kembali rekam jejak historis perjalanan bangsa Indonesia dimana sejak digantikan rezim Soeharto, paskah orde baru beralih ke masa reformasi yang dalam kajian saya adalah awal dimana diberlakukannya sistem demokrasi mengakibatkan munculnya berbagai perubahan-perubahan atau dinamika-dinamika dalam Undang-Undang Dasar yang mendelegasikan otoritas yang lebih besar kepada pemerintah daerah. 

Tersebarnya otoritas tersebut hanyalah meningkatkan kesempatan untuk korupsi bukan hanya pada puncak hierarki politik melainkan diseluruh esalon politik birokrasi. 

Disatu sisi pendelegasian wewenang atau otoritas ini adalah bobrok, adanya sandiwara didalamnya lantaran pendelegasian wewenang memperkuat elit atau jaringan patronase lokal yang memungkinkan mereka terus memegang kendali atas berbagai kepentingan mereka tanpa ada pemeriksaan dari luar  ataupun dari hierarki birokrasi yang lebih tinggi. 

Kalua pun ada pasti hanya sebagian unsur formalitas semata karena pasti ada tragedi pendeceraan kepribadian bangsa lantaran kepentingan terlampau menggiurkan, bakal menuai sesal jika probabilitas tersebut terlewatkan.


Disamping itu ada sandiwara besar yang terselubung dalam bangsa ketika kita coba pahami dan analisis bias dari pada federalisasi yang seperti yang saya bahasakan diawal opini saya sebelumnya bahwasanya dua sistem ini tidak jauh berbeda dimana terdapat substansi dan relevan maknanya yakni sama-sama pendelegasian wewenang namun beda ruang lingkupnya. 

Saya lebih tertarik mengatakan Federalisasi Alla Amerika Serikat ketika kita membahas federalisasi beserta efek yang terjadi hari ini dalam tatanan sistem demokrasi Indonesia. 

Secara teoritis federalisasi merupakan proses pendelegasian wewenang dari negara federalis dalam hal ini Amerika Serikat kepada negara-negara bagian otoritas untuk membentuk norma-norma atau aturan-aturan tentang perbudakan. 

Kenapa saya berspekulasi bahwa aturan yang diperintahkan dalam pendelegasian wewenang dengan tujuan perbudakan karena secara empiris kondisi objektif hari ini sudah cukup membuat kita sadar dimana seperti kasus freeport, kenaikan bahan bakar minyak dan segala kebijakan lainnya merupakan indikasi federalisasi ala Amerika Serikat yang secara kasat mata kaum pribumi dan atau masyarakat awam menilai ini sebuah bentuk kerjasama bilateral tapi tho ada momok bangkai didalamnya, ada perbudakan didalamnya. 

Negara diperbudak. Pertanyaan selanjutnya dimana label sebagai negara hukum yang menjadikan kekuatan hukum untuk dapat membendung segala ketidakadilan dan kebobrokan ??? apakah negara Indonesia ini sudah jadi boneka Amerika Serikat ??? 

ahhh sebegitu ironisnya kha kondisi bangsa, segitu krusialnya kha nasib bangsa majemuk yang kaya akan peradapan budaya, sumber daya alam dan keberagaman etnis ??? Disisi positif alasan utama sistem federalisasi ini adalah untuk memusatkan otoritas politik dalam menjamin standar minimal dari pelaku-pelaku yang tidak korup dalam administrasi negara. 

Namun disatu sisi federalisasi meruntuhkan prinsip dasar kesetaraan yang menjadi fondasi negara tersebut secara keseluruhan bagi negara-negara yang terhegomoni dan terbuai dalam mimpi panjang tentang perubahan yang ditawarkan federalisme ala Amerika Serikat seperti yang tampak hari ini di Indonesia. 

Tanpa sadar kita sedang di perbudak dan hilang rasionalitas kita ketika alam kesadaran kita sudah di jajah. Semua kekayaan alam kita dikelolah dan dieksploitasi tanpa kasih. 

Kontribusi kepada negara pun suram untuk kita ketahui lantaran proses diatas meja negosiasi terwakili elit-elit birokrasi yang juga tamak dan serakah, punya kepentingan spasial yang terselebung. Inikah Demokrasi, inikah Desentralisasi, inikah Federalisasi ala Amerika Serikat ???


Sebenarnya otoritas yang didelegasikan harus merujuk dan atau ditinjau dari sudut pandang fungsional dan sudut pandang normatif berkaitan dengan moral. 

Desentralisasi lebih dihubungkan dengan tingkat partisipasi masyarakat yang lebih tinggi. Oleh karena itu nilai-nilai positif yang diusung demokrasi adalah kepentingan masyarakat banyak bukan kepentingan pada diri sendiri atau individualistik. 

Karena jelas itu bertentangan dengan esensi dan substansi demokrasi itu sendiri. Sehinggah pemerintahan atau birokrasi yang konstitusional dan memegang teguh hukum sebagai kekuatan untuk memerangi perbudakan dan penindasan harus secara sadar untuk membatasi wewenang dan penggunaan kekuasaan negara sebagai yang paparkan oleh filsuf besar abad 384-322 SM yang menghegomoni dunia dengan teori komunikasinya yang hari ini kita kenal sebagai retorika yang dalam frasa sederhananya menegaskan bahwa " pemerintahan oleh hukum bukan manusia". 

Dari sini saya menganalisa bahwa manusia terlampau mengagumi keinginan yang termanifestasi dalam kepentingan itu sendiri hinggah norma, aturan atau hukum hanyalah alat untuk menyelubungkan segala kebobrokan tersebut. 

Karena tidak mungkin secara formal menetapkan derajat, skala atau kapasitas desentralisasi yang optimal dalam suatu negara karena sifat penilaian yang kontekstual dimana negara perlu menanamkan kepercayaan pada unit-unit lokal untuk membuat keputusan-keputusan tertentu.


Masyarakat awam dan atau masyarakat pribumi secara kasat mata menilai dari sisi empiris bahwa ini terkesan lumrah namun pada hakekatnya ada kecerobohan dan kebobrokan besar dalam skenario negara dimana desentralisasi punya elit-elit lokal atau lebih tren lagi predator-predator lokal sedang federalisasi milik badan eksekutif tertinggi negara dengan Amerika Serikat sebagai konseptornya. 

Kita masyarakat hanya penonton tapi sayang penonton yang menonton sinetron dengan judul bobroknya sistem dan moralitas pelaksana sistem dalam scenario yang dipentaskan didalam bioskiop layar lebar namun anehnya penonton juga terkena imbas seakan penonton juga pelaku dalam sinetron tersebut. Hal ini benar-benar aneh. 

Mending jadi penjahat atau terorisme dalam sinetron itu hinggah langsung saja mengeksekusi mati para predator-predator tamak itu. Ringkasan opini singkat ini mungkin tidak terlalu indah bahasanya untuk disimak namun ini adalah cara kita untuk melihat realitas yang terselubung dalam keindahan semiotika semu dan menulis adalah cara menyampaikan aspirasi dan suara hati ketika lisan tak mampu lagi menyentuh nurani. 

Ketika lisan tidak mampu lagi membangkitkan kematian nurani. Kita butuh hati yang bernurani dimana label kemanusiaan yang dianugerahkan Tuhan semestinya disyukuri dan jargon-jargon kemanusian harus dibangun agar menjadi penyangga hingga moralitas bangsa berdiri kokoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun