Mohon tunggu...
Ama Alim Mutohar
Ama Alim Mutohar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pekerja Keras

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika dalam Perkawinan di Indonesia

21 Maret 2023   22:59 Diperbarui: 21 Maret 2023   23:37 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum  Perdata Islam di Indonesia adalah seperangkat aturan yang mengikat tentang perkara-perkara yang bersifat private atau no perorangan berdasarkan dengan syariat agama Islam yang berlaku dan  dipatuhi oleh orang-orang yang beragama Islam yang berada di Negara Indonesia. Hukum Perdata Islam ini mengatur tentang kasus-kasus seperti perceraian,perkawinan, warisan, zakat, sedekah, wakaf, hak benda, jual-beli, pinjam-meminjam ,sengketa ekonomi syariah, dan kasus perdata lainnya. 

Hukum perdata Islam bersifat  memaksa, memiliki sanksi hukum yang tegas, dan dalam hukum perdata juga mengandung perintah dan larangan. Sumber-sumber yang berasal dari hukum perdata Islam di Indonesia adalah antara lain Al-Quran, Hadist, Ijtihad para ulama, dan sumber hukum lain. Hukum perdata dibentuk dengan tujuan supaya dapat membantu penyelesaian perkara antara perorangan dengan perorangan atau badan hukum atau antara individu dengan individu lain. 

Hukum perdata ini tidak seperti hukum pidana karena dalam hukum perdata  yang ingin ditegakkan ialah penyelesaian kerugian materiil. Dalam penyelesaian perkara hukum perdata Islam dapat diselesaikan dalam persidangan dihadapan Pengadilan agama.  Pengadilan agama berwenang dalam penyelesaian kasus hukum perdata islam di tingkat kabupaten, selanjutnya apabila ingin mengajukan banding dapat diajukan di dalam Pengadilan Tinggi Agama ditingkat provinsi. 

Dan ditingkat paling atas yaitu kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Salah satu perkara yang diatur oleh hukum perdata Islam yaitu perkara perkawinan. Yang didalamnya menyangkut tentang perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, hingga perceraian. Dalam litab undang-undang Negara Indonesia hukum perkawinan diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam  pada pasal 2 menjelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. 

Artinya dalam Kompilasi Hukum islam perkawinan disebut juga pernikahan karena syarat dan rukunnya dilaksanakan menurut syariat Islam. Perkawinan dianggap sah apabila dijalankan sesuai dengan hukum dan kepercayaan masing-masing pasangan. Apabila melangsungkan suatu perkawinan maka semua pasangan diharuskan untuk melakukan pencatatan perkawinan kepada pegawai pencatat nikah (PPN) atau kepala KUA kecamatan ditempat pelaksanaan perkawinan. 

Di dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur bahwa laki-laki dan perempuan hanya dibolehkan untuk memiliki satu orang suami atau satu orang istri. Tetapi apabila ingin melakukan poligami atau memiliki pasangan lebih dari satu harus mendapatkan izin dari pengadilan dan pihak-pihak yang bersangkutan. Pelaksanaan perkawinan juga harus sesuai dengan rukun dan syarat yang berlaku. Rukun dari perkawinan yaitu adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, ada wali nikah, dua orang saksi, ijab dan Kabul. 

Perkawinan harus didasarkan oleh persetujuan oleh kedua calon mempelai dan tidak ada paksaan. Apabila wali nikah maka dapat digantitikan oleh wali hakim atau penghulu. Melakukan pencegahan terhadap sebuah perkawinan yang akan dilangsungkan bisa saja dilakukan apabila melanggar syarat-syarat perkawinan sebagamana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. 

Pencegahan ini bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang ternyata perkawinan itu hakikatnya dilarang. Oleh karenanyam sebelum perkawinan itu terjadi, sebaiknya dicegah terlebih dahulu. Pihak yang dapat melakukan pencegahan pada prinsipnya adalah keluarga dari mempelai.

Selain itu, pencegahan perkawinan juga bertujuan untuk menegakkan rukun dan syarat yang ada pada perkawinan yang hakikatnya sebuah perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal abadi. Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan saling berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan, dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah (PPN).

Suatu perkawinan haruslah dicatatkan dan sah dilakukan didepan pegawai pencatat nikah (PPN) atau kepala KUA guna untuk mendapatkan buku nikah dan memiliki kekuatan hukun. Pencatatan perkawinan ini bertujuan untuk  menjalankan kehadiran Negara atau pemerintah untuk mengatur dalam mengelola seluruh warga negaranya untuk tertib dalam administrasian. Selain pencatatan perkawinan juga guna untuk memberikan jaminan hak-hak tertentu setiap warga negaranya yang ingin membentuk  rumah tangga. 

Memberikan perlindungan terhadap status perkawinan yang sah, memberikan kepastian hukum kepada suami,istri, dan anak. Selain itu pencatatan juga memberikan perlindungan hukum terhadap akibat dari perkawinan. Negara mengatur pencatatan pernikahan ini dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 tentang Perkawinan. Yaitu perkawinan yang sah ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum dan kepercayaan masing-masing, serta setiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 

Dampak dari tidak dicatatkannya perkawinan tentu mengakibatkan dampak terhadap masyarakat, agama, dan Negara. Dampak yang muncul seperti stigma negative kepada para pasangan yang belum menikah secara Negara karena belum mengetahui pernikahan terebut. Kerugian yang didapat oleh perempuan yaitu  tidak diakuinya ha katas nafkah dan warisan karena tidak memiliki kepastian hukum. Akibat terhadap anak yang lahir dari pernnikahan yang tidak dicatat karena tidak dapat diproses kepastian hukumnya atas kedua orang tuanya.

Problematika yang muncul dalam perkawinan salah satunya yaitu adanya perkawinan wanita yang sedang hamil. 

Perkawinan seorang wanita yang sedang hamil ini memiliki berbagai pendapat menurut para ulama. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan ini sah tetapi ada juga yang menyatakan bahwa perkawinan seorang wanita sedang hamil itu diharamkan karena dianggap zina. Menurut ulama Sayyid Sabiq menikahi wanita hamil itu hukum boleh asalkan wanita tersebut sudah taubat nasuha dan menyesal atas perbuatannya. Menurut ulama Abu Hanifah dan imam Syafi'I berpendapat bahwa menikahi wanita hamil tidak menunggu masa iddah  boleh akad nikah meskipun keadaan hamil karena tidak adanya keharaman yang dijelaskan dalam surah an-Nisa ayat 3 .

Menurut Quraish Shihab berpendapat bahwa menikahi wanita yang telah dizinai hukumnya sah-sah saja. Menurut Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah menikahnya wanita yang telah berbuat zina, baik dengan laki-laki yang mezinainya maupun dengan orang lain sebelum habis masa iddahnya dan bertaubat. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan wanita hamil atau disebut wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran anak yang ada dalam kandungannya terlebih dahulu. Artinya perkawinan wanita hamil itu sah dilakukan ,pada saat wanita itu sedang hamil.

Problematika atau permasalahan lain dalam perkawinan salah satunya yaitu perceraian. Perceraian itu boleh dilakukan tetapi pada hakikatnya perceraian itu adalah perbuatan yang tidak disukai oleh Allah. Alasan adanya perceraian biasanya terjadi lantaran suami ataupun istri tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai seorang pasangan suami istri, maka jalan yang bisa dilakukan itu dengan perceraian. Maka perceraian ini sah dilakukan menurut agama dan Negara.  

Serta tidak menimbulkna dosa diantara keduanya atas perceraian tersebut. Menurut saya, yang dapat dilakukan untuk menghindari perceraian yaitu dengan memenuhi hak dan kewajiban sebagai seorang suami maupun istri. Disamping memenuhi hak dan kewajiban suami istri wajib menghindari anggapan bahwa perceraian itu diperbolehkan sehingga dapat menganggap bahwa perceraian itu merupakan jalan terakhir yang diambil. 

Selain itu dengan memupuk rasa kasih saying, menjaga perasaan, bersabar dihadapan pasangan juga dapat dilakukan untuk menghindari adanya pertengkaran dalam rumah tangga sehingga tidak terjadi perceraian. Menghormati. Pemenuhan nafkah lahir dan batin antara suami dan istri.

Buku yang saya review dalam tugas book-review adalah buku karya dari salah satu dosen fakultas syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, bapak Seno Aris Sasmito, S.H.I., M.H yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia" ini merupakan jenis buku daras/buku ajar. Dimana setiap tahunnya Fakultas Syariah selalu membuat program pencetakan buku jenis ini. Ditahun 2020, Fakultas Syariah bekerja sama dengan penerbit PRENADAMEDIA Group.

Buku ini secara umum sangat penting dalam pengembangan keilmuan terutama di bidang hukum perkawinan. Dalam buku ini membahas secara umum aspek hukum perkawinan nasional, yang kemudian dilanjutkan membahas mengenai hak dan kewajiban suami istri, putusnya perkawinan, hukum perceraian, dan diakhir membahas berbagai aspek dan problematika dalam hukum perkawinan di Indonesia. Buku ini didesain untuk dijadikan modul perkuliahan/ buku ajar yang dapat memudahkan pembacanya memahami isi materi yang disampaikan. 

Yang menarik dari buku ini adalah adanya pembahasan awal tentang tujuan pembelajaran. Tujuannya adalah guna membantu pembacanya untuk mengetahui kompetensi apa yang akan dibahas melalui penjelasan pendek. Meski buku ini diperuntukkan kepada mahasiswa untuk pembelajaran kuliah. Namun, siapa saja yang membacanya dapat mempelajari tentang hukum perkawinan Islam di Indonesia dan berbagai hal yang berkaitan dengan rumah tangga. 

Di dalam buku ini dapat dipahami mengenai pengertian perkawinan menurut Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam, dan menurut Fikih Islam. Juga membahas mengenai syarat dan rukun perkawinan, larangan-larangan perkawinan, dan persetujuan perjanjian perkawinan. Dibab kedua buku ini membahas tentang hak-hak dan kewajiban seorang suami dan istri dimana suami dan istri wajib untuk menghormati satu sama lain. Pemenuhan nafkah secara lahir dan batin. 

Pemenuhan nafkah juga dibahas sendiri dalam buku ini. Seperti nafkah tempat tinggal, nafkah istri dan anak, nafkah kebutuhan sehari-hari. Meskipun nafkah itu wajib diberikan tetapi istri boleh memberikan kesempatan untuk tidak diberikan oleh suami apabila terdapat hal-hal yang mengakibatannya. Dalam buku inin juga membahas tentang putusnya perkawinan yang dalam fikih disebut dengan istilah talak. Dalam KHI talak disebutkan dalam 7 jenis.

Sementara itu, menurut Undang- undang disebut dengan cerai yaitu cerai gugat dan cerai talak. Namun dalam buku ini juga memberikan penjelasan terhadap akibat yang ditimbulkan dari adanya perceraian. Diakhir pembahasan buku inin membahas tentang problematika yang timbul dalam perkawinan. Seperti adanya perkawinan campuran, antara perkawinan dengan warga Negara asing dan akibat yang ditimbulkan. Pernikahan siri yaitu pernikahan yang tidak sah menurut perundang undangan karena tidak dicatatkan dan tidak dilakukan didepan pegawai pencatat nikah. 

Nikah siri ini juga sering dikenal dengan istilah pernikahan bawah tangan. Pernikahan ini marak terjadi di masyarakat yang sangat disayangkan, karena akibt dari pernnikahan ini hak nafkah dan warisan perempuan tidak dapat digugatkan. 

Selanjutnya yaitu membahas mengenai itsbat nikah. Itsbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam ajaran agama Islam. Sudah terpenuhi semua rukun dan syarat-syarat nikah, tetapi pernikahan yang terjadi ini belum tercatatkan oleh pejabat pencatat nikah atau kepala KUA . itsbat atau penetapan merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama guna mendapatkan kekuatan hukum oleh pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun