"The meaning of life is to find your gift. The purpose of life is to give it away." -- Pablo Picasso, merupakan kutipan dalam sinopsis film ini di situs Cinema 21. Kutipan ini menarik perhatian saya, yang artinya makna kehidupan adalah menemukan karuniamu. Tujuan kehidupan adalah untuk memberikan karunia tersebut, looks... menarik khan?Â
Yang menarik selanjutnya dari film "The Gift" adalah Reza Rahadian, aktor yang berperan sebagai Harun, seorang tuna netra yang memilih menutup diri dari dunia luar dan menikmati kesendiriannya.  Reza termasuk aktor favorit saya. Tidak terlalu berlebihan mengapa saya menjadikannya salah satu  aktor Indonesia favorit saya, sudah dua piala citra didapatkannya. Beberapa filmnya, saya mendapatkan feel dari akting yang diperankannya.
Lawan main Reza dalam "The Gift" adalah Ayushita Nugraha, salah satu pemain di film Kartini (2017). Ayushita memerankan Tiana, seorang novelis "nyentrik" dan memiliki seorang sahabat bernama Bona. Ia kontrak di rumah Harun, di Yogyakarta untuk menyelesaikan tulisannya. Saya tidak tahu mengapa dia terpilih menjadi lawan main Reza Rahadian dalam film ini. Chemistry mereka masuk dalam katagori bagus.Â
Selain, dua tokoh sentral tersebut ada sineas film Indonesia yang menghasilkan film-film yang bermutu, menurut saya. Ia seringkali berhasil menuangkan eksplorasi rasa dalam suguhan visual, dia adalah Hanung Bramantyo. Sehingga, saya seperti diyakinkan untuk menonton film ini.
Ada apa sampai dua pemain ini dipertemukan dan disutradarai oleh seorang Hanung Bramantyo? Pertanyaan itu bergelayut dalam pikiran saya saat memasuki gedung bioskop. Saya baru tahu kalau film ini adalah penuturan jujur dari seorang Hanung Bramantyo, setelah saya menontonnya dan membaca beberapa berita di media sosial.Â
Ok, fine! Saya akan memberikan tiga hal penting yang saya dapatkan dari Film ini, tanpa harus menjadi spoiler... Semoga!Â
First of all, saya memang pribadi yang tidak ingin mengkotak-kotakan film yang saya tonton, meskipun memang ada kata "genre" yang mewakili setiap film. Saya melihat film ini sebagai sebuah film yang menuturkan tentang bagaimana seseorang dengan proses dan usahanya untuk berkawan karib dengan masa lalunya. Masa lalu pahit seperti menghadirkan warna hitam dan putih. Ini warna yang dimiliki Tiana dalam menapaki kehidupannya.Â
Bagaimana dia berusaha membuat hidup dan dunianya sendiri, karena sulitnya menemukan hal tersebut di masa kecilnya. Kedua orang tuanya seperti tidak mampu memberinya cukup ruang untuk menikmati dunia yang indah, sehingga dia menemukannya di balik lemarinya. Hingga satu titik kehidupannya, dia benar-benar kehilangan keindahan itu.
Alih-alih untuk mengatasi hal tersebut, Tiana memiliki sahabat yang bernama Bona, yang selalu mengerti dan menerimanya apa adanya. Kejujuran ini tertuang dalam novel yang dituliskannya, sehingga dia menjadi seorang novelist, sebagai bentuk ekspresi dari dunia yang diciptakannya dengan Bona, sahabatnya. Serpihan masa lalu Tiana ini sangat menentukan siapa Tiana dan setiap keputusan yang dibuatnya.Â
Second, film ini menyuguhkan realitas kehidupan yang kental. Tiana dengan serpihan masa lalu yang pahit, sampai tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Bona, Ibu Suud (Christine Hakim) dan Arie (Dion Wiyoko). Ada Harun, pemuda tuna netra, yang satir dan sinis terhadap kehidupannya.
Harun pun masih cukup beruntung dengan hidupnya, dengan keluarga yang berada, namun dia memilih untuk tumbuh menjadi pemuda yang memberontak karena tidak cukup puas dengan kehidupan dan keluarganya, khususnya ayahnya. Sampai dia harus kehilangan penglihatannya.Â
Ini tidak membuatnya merasa lebih baik, namun membuatnya menjadi pribadi yang keras, sinis dan menutup dirinya. Hubungan dengan ayahnya juga tidak membaik dan semakin buruk, meskipun ayahnya telah berusaha untuk menolongnya dan berusaha berdamai dengan dirinya. Sehingga, Harun hanya tinggal di sebuah rumah tua dengan tiga pembantunya. Rumah inilah yang pada akhirnya mempertemukan antara Harun dan Tiana.
Third, pertemuan Harun dan Tiana, adalah sebuah pertemuan dua serpihan masa lalu yang sama-sama menyayat hati mereka masing-masing. Mereka mencoba untuk membuka hati untuk masing-masing bisa menerima, namun masa lalu begitu pekat menutupi mata dan hati mereka. Harung memang lebih beruntung karena dia tidak bisa melihat namun tersayat hatinya oleh kehadiran Tiana.Â
Tiana dapat melihat namun dia dengan dunianya sudah begitu pekat, sehingga meskipun dia dapat melihat namun mata dan hatinya hanya gelap yang nyata. Saat-saat canggung dan kata-kata sinis mewarnai setiap percakapan dan pertemuan mereka. Mereka mencoba melepaskan beban mereka dan mencoba untuk bergandeng tangan menapaki hidup mereka selanjutnya, namun itu tidak mudah bagi mereka. Yang ada adalah rasa sakit dan menyakiti.Â
Proses untuk menapaki dan menjadi memahami antar satu dengan yang lainnya, menjadi kabur kembali saat Arie, teman masa kecil Tiana kembali untuk menunjukkan bahwa dia adalah lelaki yang bisa memenuhi janji dan memberikan warna pada hidup Tiana. Harun meradang, Tiana diperhadapkan pada pilihan yang sulit, apalagi Bona seperti diam dan membiarkan Tiana sendiri dengan segala kegalauanya.Â
Tiana mengambil keputusan, setelah menemukan masa lalunya (ayahnya), meskipun belum seutuhnya dapat menerimanya. Hatinya telah tercuri oleh Harun, namun dia tidak cukup berani untuk menyakiti Arie. Sampai pada satu titik di akhir film ini, saya baru mendapatkan jawaban dari pernyataan Pablo Picaso diawal ulasan saya ini.
Serpihan masa lalu akan menjadi bagian setiap kita untuk menentukan siapa dan setiap keputusan kita. Awalnya, saya hampir kecewa karena saya seperti melihat pola yang sama, namun saya kembali memberikan thumb up saya pada Hanung, dalam usahanya untuk eksplorasi serpihan masa lalu, dan menyelesaikan film ini dengan bermutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H