Umat Islam pertama kali membangun kalender Islam pada tahun 17 H atau 638 M yang dikembangkan zaman kekhalifahan Umar Bin Khattab atas usul Gubernur Irak Abu Musa Al-Asy'ari, untuk memperbaiki sistem administrasi dan politik kenegaraan.Â
Kalender itu dinamakan kalender Urf (tradisi) yang dibangun tidak berdasarkan perhitungan astronomis yang kokoh karena pengetahuan tentang sistem tata surya heliosentris baru diperkenalkan Nicolaus Copernicus pada tahun 1542 M atau sekitar 900 tahun kemudian.Â
Karena itu, kalender Urf kerap berbeda dari kenyataan astronomis, sehingga kemunculan hilal sebagai penanda awal bulan hijriah sering berbeda dengan perhitungan. Diperkirakan kalender Urf hanya bertahan sekitar 100-200 tahun saja.Â
Sekitar 1200 tahun terakhir umat Islam kemudian menggunakan kalender Gregorian, kalender syamsiah warisan dua penguasa Romawi Julius Caesar dan August Caesar yang dimodifikasi gereja Romawi untuk urusan muamalah: pendidikan, ekonomi, politik, dan lain-lain.Â
Sedangkan untuk keperluan ibadah, umat Islam kemudian kembali menggunakan metode rukyatul hilal yang terkadang sering keliru dan tidak cocok dengan kaidah-kaidah saintifik astronomi modern.
Dampak Ekonomi
Kalender Gregorian memiliki 365 hari sementara kalender Islam 354 hari. Perbedaan keduanya sekitar 11,5 hari per tahun. Ini mengakibatkan kesalahan serius jika kalender Gregorian digunakan sebagai pengganti kalender Islam untuk keperluan bisnis dalam waktu yang panjang.Â
Jika sebuah entitas bisnis Muslim menetapkan haul (tutup buku laporan keuangan dan pembagian keuntungan) berdasarkan Kalender Gregorian, maka perbedaan yang 11,5 hari tersebut tidak terzakati. Dalam Theory of Error perbedaan 11,5 hari ini disebut kesalahan sistematis (systematic error) yang menumpuk.Â
Misal, sebuah entitas bisnis Muslim telah beroperasi selama 1200 tahun secara terus menerus, maka zakat terhutangnya telah menumpuk menjadi (11,5x1200/354) sekitar 40 tahun. Dengan demikian, hutang zakat bisnisnya kira-kira sama dengan 2.5% x 40 tahun = 100%.Â
Artinya, berapapun aset perusahaan ini, sebetulnya, bisnis ini telah muflis (bangkrut) karena hutang zakatnya sama dengan nilai total asetnya. Dengan kata lain, semua aset entitas bisnis tersebut sebetulnya tinggal milik para ashnaf. Pertanyaannya, bagaimana jika semua bisnis Muslim di dunia telah melakukan kesalahan yang sama akibat tidak adanya sistem haul yang benar?