Mohon tunggu...
Alyssa Diandra
Alyssa Diandra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Umum

Berbagi ilmu kesehatan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ayo Berumah Tangga yang Sehat, Bebas dari Kekerasan

16 Agustus 2024   22:19 Diperbarui: 16 Agustus 2024   22:22 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi hangat diperbincangkan setelah salah satu korban memberanikan diri untuk mencari pertolongan melalui dunia maya. Suatu perbuatan yang patut diapresiasi mengingat betapa banyak korban di luar sana yang enggan terbuka karena takut atau mendapat tekanan dari pelaku atau lingkungan sekitar.  

Tidak jarang publik dibuat terkejut dengan pengungkapan pelaku yang tidak disangka sebelumnya. Pelaku tidak jarang orang yang terkenal baik di lingkungan sekitarnya, punya prestasi yang baik, sehingga mempengaruhi respon masyarakat yang muncul. Berbagai reaksi dan respon muncul di masyarakat, baik yang berempati maupun pernyataan yang kurang mengenakkan seperti “Kok korbannya mau diperlakukan seperti itu?” “Mungkin dia diperlakukan seperti itu ada penyebabnya.” Pernyataan seperti ini seringkali memojokkan korban dan tak jarang terkesan menormalisasikan hal tersebut selama ada penyebabnya. Padahal, apapun penyebabnya, kekerasan tidak diperbolehkan.

Sebenarnya, apa yang menyebabkan terjadinya berbagai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga belakangan ini? Apakah benar semua dipicu oleh korban dan reaksi pelaku sudah tepat? Lalu bagaimana menghadapinya?

Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga  

Definisi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berdasarkan UU no 23 tahun 2004 yang mengatur tentang penghapusan KDRT sebagai “perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Data Komnas Perempuan tahun 2020 juga menyebutkan bahwa 59% kasus kekerasan pada wanita disebabkan oleh KDRT. KDRT sendiri tidak hanya mengenai kekerasan yang dilakukan oleh suami ke istri saja, namun dapat sebaliknya (istri ke suami), anak, orang tua serta dalam UU penghapusan KDRT juga menyebutkan pekerja rumah tangga.

Menurut WHO, ada 6 jenis kekerasan dalam rumah tangga yang perlu diketahui

  • Kekerasan fisik

Jenis kekerasan ini merupakan jenis yang sering ditemui dan lebih mudah diidentifikasi, contohnya pemukulan, mencekik, menggigit, membakar, memaksa melalui todongan senjata, atau pengusiran. Biasanya, akibat yang ditimbulkan lebih mudah diidentifikasi dalam bentuk fisik. Korban kekerasan fisik juga dipayungi dalam UU penghapusan KDRT

  • Kekerasan seksual

Kekerasan seksual dalam rumah tangga juga dapat terjadi dimana hubungan seksual yang dilakukan tidak disetujui oleh korban atau ada unsur paksaan dalam melakukan hubungan seksual. Metode yang digunakan bermacam-macam, dari mengancam, menggunakan kekerasan fisik, senjata, pemaksaan meskipun pasangan lelah ataupun sakit. Korban jenis kekerasan ini juga dilindungi dalam UU penghapusan KDRT.  

  • Kekerasan emosional

Merupakan segala bentuk kekerasan yang memberikan dampak terhadap pandangan korban terhadap dirinya. Akibat dari kekerasan ini, seorang korban merasa bahwa dirinya tidak berharga, dikecilkan sehingga menjadi rendah diri. Gaslighting, mengabaikan perasaan korban, mengecilkan pendapatnya, memanipulasi korban sehingga korban merasa bersalah merupakan beberapa contoh bentuk kekerasan ini.

  • Kekerasan secara ekonomi

Pelarangan korban untuk berkarya seperti melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan serta membatasi atau menahan korban dalam memakai uang merupakan bentuk dari kekerasan jenis ini. Tujuannya membuat korban bergantung terhadap pelaku sehingga pelaku lebih mudah mengontrol korban.  

  • Kekerasan psikologis

Melakukan isolasi sosial pada korban sehingga jauh dari akses pendukung seperti keluarga, teman serta pekerjaannya seringkali dilakukan pelaku untuk membuat korban merasa tidak berdaya. Selain itu tak jarang pelaku mengancam korban berupa ancaman akan menyakiti orang terdekat  korban, jika korban melapor. Hal ini lama kelamaan akan menimbulkan rasa tidak berdaya dan takut pada korban sehingga korban percaya bahwa tidak ada yang mereka dapat lakukan selain bergantung dan mengikuti keinginan pelaku.  

  • Penguntitan

Mengawasi aktivitas korban seperti memeriksa media sosial, jaringan komunikasi seperti telepon, email, kemudian menghubungi korban terus menerus merupakan contoh penguntitan untuk merampas kebebasan korban. Korban akan merasa pergerakannya diawasi sehingga tidak nyaman dan dapat membahayakan keamanan korban.

Faktor risiko menjadi pelaku KDRT 

Tidak ada satu penyebab tunggal seseorang melakukan kekerasan. Berbagai faktor saling berinteraksi yang dapat meningkatkan risiko seseorang menjadi pelaku kekerasan. Beberapa faktor yang dapat  menjadi faktor risiko seseorang menjadi pelaku kekerasan yakni

  • Faktor individu

Harga diri yang rendah (low self-esteem), penggunaan alkohol atau obat terlarang, gangguan kepribadian dan menjadi saksi atau korban dari kekerasan yang terjadi pada orang tuanya saat masih kecil merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya KDRT. Sedapat mungkin orang tua tidak bertengkar di depan anak karena anak dapat mempersepsikan hal tersebut berbeda dengan apa yang mungkin sebenarnya terjadi.

Selain itu, jika sejak kecil sudah menjadi saksi dari kekerasan pada orang tuanya (misalnya dari ayah ke ibunya), seorang anak dapat berpikir bahwa kekerasan dari ayah ke ibu adalah wajar sehingga seorang anak laki-laki memiliki berisiko melakukan hal yang serupa dengan ayahnya, atau pada anak perempuan berisiko memiliki pemikiran bahwa memang wajar perempuan menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu, apresiasi terhadap korban yang mau melaporkan kekerasan dalam rumah tangganya harus diapresiasi agar dapat memberikan pengertian pada anak bahwa kekerasan tersebut tidak diperbolehkan.

Kemudian, kondisi rumah yang penuh kekerasan juga dapat menjadi faktor risiko anak mengalami masalah mental terutama jika karena kekerasan tersebut membuat perhatian kepada anak menjadi kurang. Kebiasaan melihat kekerasan dalam kehidupannya sejak masih kecil dapat membuat anak mencontoh dan berpikir bahwa kekerasan merupakan cara penyelesaian masalah sehingga cenderung menjadi ringan tangan.

  • Faktor relasi

Ketidakpuasan dalam hubungan, adanya perselingkuhan oleh pelaku, dominasi pria dalam pernikahan, adanya kesenjangan ekonomi antar pasangan (terutama penghasilan istri yang lebih tinggi) disebut menjadi risiko terjadinya kekerasan. Ini tidak berarti bahwa istri tidak boleh memiliki penghasilan yang lebih tinggi, namun, jika kepribadian pasangan merupakan orang yang tidak mau mengalah atau cenderung menyelesaikan segala masalah dengan kekerasan, mungkin perlu dipertimbangkan kembali dalam pemilihan pasangan.

  • Faktor komunitas dan sosial

Adanya ketidaksetaraan gender, penegakkan atau aturan hukum yang lemah, status ekonomi dan sosial pada perempuan yang rendah, lingkungan dengan tingkat kekerasan yang tinggi menjadi faktor yang dapat menyumbangkan tingginya kasus KDRT. Ketidaksetaraan gender berupa kepercayaan bahwa peran wanita sebagai istri yang melayani dan memuaskan suami, wanita pantas diberi kekerasan sebagai bentuk pelajaran seringkali menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan pada wanita.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang kompleks. Seringkali korban sudah berusaha untuk kabur dari pelaku namun kembali lagi karena berbagai pertimbangan seperti memikirkan masa depan anak, takut akan pembalasan dari pelaku, tidak memiliki dukungan keluarga, teman, maupun ekonomi yang cukup, stigma serta masih berharap bahwa pasangan akan berubah. Selain itu, riwayat menjadi korban kekerasan atau menjadi saksi dalam kekerasan antar orang tua menyebabkan pemahaman pada korban bahwa mungkin dia pantas menjadi korban kekerasan. Rasa tidak berdaya akibat manipulasi dari pelaku dalam jangka panjang dapat membuat korban merasa bahwa tidak ada gunanya melawan, hingga akhirnya memilih bertahan bahkan justru menjadi membutuhkan dan ikut membenarkan tindakan pelaku.

Keinginan pelaku untuk memiliki kendali atas korbannya merupakan bagian penting dari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku seringkali menggunakan mengintimidasi, memanipulasi sehingga membenarkan tindakannya dan membuat korban merasa dia memang pantas menjadi korban, memutus hubungan korban dengan dunia luar, menggunakan anak sebagai alasan, mengancam serta menggunakan pengaruhnya untuk memastikan korban tidak dapat melawan dan akhirnya mengikuti keinginannya.

Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga 

Dampak dari praktik KDRT tidak hanya dirasakan oleh korban saja, namun juga pada anak. Beberapa aspek yang terdampak dari praktik KDRT ini yakni

  • Masalah kesehatan fisik

Adanya luka fisik, lebam, hingga adanya patah tulang merupakan luka yang nampak dari fisik. Namun tidak terbatas pada hal tersebut saja, masalah stres yang dipendam dapat memunculkan berbagai keluhan fisik tidak spesifik hingga masalah kesehatan seperti irritable bowel syndrome, fibromyalgia, hingga asma.  

  • Masalah kesehatan mental

Harga diri menjadi rendah (low self-esteem), gangguan tidur, depresi, penyalahgunaan alkohol dan zat, gangguan stres paska trauma hingga bunuh diri merupakan berbagai akibat yang dapat muncul akibat menjadi korban kekerasan. Selain itu, risiko korban dibunuh oleh pelaku juga tinggi terutama jika terjadi peningkatan tingkat bahaya dari kekerasan tersebut misalnya melakukan pembakaran, pencekikan atau pemukulan dengan benda tertentu terutama hingga mengenai bagian tubuh yang vital.

  • Masalah kesehatan seksual dan reproduksi

Kesehatan seksual dan reproduksi dapat terganggu dimana dapat meningkatkan risiko penularan HIV, penyakit infeksi menular seksual terutama jika ada perilaku seks bebas atau seks yang tidak sehat. Selain itu, jika kekerasan dilakukan pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko keguguran, pertumbuhan janin terhambat hingga kelahiran prematur.

  • Dampak pada anak

Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dirasakan oleh korban namun dapat memberi efek yang tidak baik pada anak. Jika anak juga menjadi korban, dapat terjadi luka fisik bahkan hingga kematian. Selain itu, dapat menyebabkan masalah mental seperti cemas, depresi, gangguan tumbuh kembang yang dapat menganggu performa anak sehari-hari dan di sekolah. Kemudian anak juga dapat lebih rentan terhadap penyakit dan seringkali kesehatannya tidak diperhatikan sehingga tidak mendapatkan imunisasi. Anak juga memiliki risiko menjadi pelaku atau korban kekerasan pada saat berelasi dengan sekitarnya.

Apa yang dapat dilakukan?  

Tentunya dalam menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga membutuhkan kerjasama lintas sektor dan dukungan dari segala pihak baik pemerintah hingga masyarakat itu sendiri. Adanya peraturan yang tegas saja tidak cukup jika penindakannya masih dirasa kurang. Evaluasi psikologis terhadap pelaku, korban serta orang terdampak lainnya seperti anak perlu dilakukan untuk memastikan semuanya mendapatkan penanganan yang sesuai oleh tenaga professional jika dibutuhkan. Namun, hal tersebut tidak serta merta mengurangi hukuman pelaku, karena kekerasan apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Alur pelaporan yang lebih mudah juga dibutuhkan untuk memudahkan pelaporan serta dibutuhkan pula petugas yang lebih sigap dalam menindak laporan korban. Seringkali korban sudah mencoba mengadu ke pihak berwenang, namun stigma, lambannya tindak lanjut, bahkan kecendrungan membela pelaku,  membuat korban urung melapor. Dukungan segala pihak dan menyingkirkan stigma amatlah penting.

Pendidikan untuk setiap orang baik wanita maupun pria mengenai hubungan interpersonal penting untuk membantu mereka, terutama berusia muda dan produktif, agar memiliki hubungan yang lebih sehat. Mengurangi stigma dan kepercayaan tertentu terutama ketidaksetaraan gender sangat penting agar wanita lebih berani dalam mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Pemberian edukasi mengenai dampak dan pencegahan kekerasan dalam berbagai media baik media elektronik maupun dalam organisasi masyarakat sangat penting untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat akan bahaya kekerasan dalam rumah tangga.

Akhirnya, bagi mereka di luar sana yang sedang mengalami kekerasan, ingat bahwa diri anda penting dan tidak ada yang boleh mengatakan sebaliknya. Anda memiliki hak untuk hidup bahagia dan ayo cari pertolongan untuk diri (dan anak) anda.  Bagi anda yang mengetahui ada orang terdekat anda mengalami kekerasan, mari bantu mereka untuk mendapatkan akses pertolongan. Seringkali korban karena traumanya, memiliki fungsi otak yang terganggu sehingga kurang dapat menganalisa dan mengambil keputusan dengan benar. Oleh karena itu, mereka butuh kita. Para tenaga kesehatan yang seringkali menjadi tempat pertama korban datangi, mari kita lebih waspada dan fasilitasi korban agar mendapat akses pelaporan yang lebih mudah.

Kekerasan butuh dihadapi bersama. Jangan salahkan korbannya, tapi salahkan pelakunya. Cari pertolongan professional terutama jika kesedihan yang amat sangat hingga mengganggu aktivitas, tidak bisa tidur, cemas, takut apalagi hingga menyakiti diri atau ingin bunuh diri. Ingat setiap kita berharga.

Referensi : 

1. WHO. Understanding and addressing violence against women: Intimate Partner Violence. 

2. Huecker MR, King KC, Jordan GA, et al. Domestic Violence. [Updated 2023 Apr 9]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499891/ 

3. WHO. What Is Domestic Abuse?

4. Centers for Disease Control and Prevention. Fast facts: Preventing intimate partner violence.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun