Mohon tunggu...
Alyssa Diandra
Alyssa Diandra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Umum

Berbagi ilmu kesehatan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mari Mengenal Stigma

10 Januari 2024   18:24 Diperbarui: 11 Januari 2024   15:24 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (tuaindeed via KOMPAS.com)

Pernahkah mendengar orang terdekat atau diri sendiri merasa takut membagikan masalah kesehatan mental yang dialami? Alasannya bermacam-macam seperti takut akan dihakimi, tidak dipercaya dalam melakukan pekerjaan, dijauhi dari kelompok sosialnya, serta dianggap aneh atau gila.

Meskipun saat ini kesadaran akan masalah kesehatan mental terus meningkat berkat kemudahan informasi dari internet, stigma tetap menjadi penyebab utama orang enggan mencari pertolongan.

Stigma ini tidak hanya berdampak pada kesempatan mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan, namun pada aspek lainnya seperti sosial dan ekonomi.

Menurut Erving Goffman, stigma merupakan karakteristik yang membuat seseorang diremehkan, dianggap memalukan atau didiskreditkan. Stigma merupakan suatu pelabelan negatif. Stigma seringkali hadir dari ketakutan dan ketidaktahuan. Informasi dan penggambaran yang keliru tanpa sumber informasi yang akurat berperan dalam kesuburan stigma.

Jenis stigma 

Berbagai jenis stigma dan masing-masing memberikan dampak kurang baik terhadap perjalanan penyakit orang dengan gangguan jiwa. Berbagai jenis stigma tersebut yakni  

Stigma terhadap diri sendiri

Penolakan oleh sekitar, dianggap berbeda, diskriminasi membuat mereka merasa malu, terisolasi serta rendah diri. Perasaan malu, terisolasi, rendah diri ini akan memperburuk kondisi mental, gejala serta dapat meningkatkan risiko terjadinya bunuh diri.

Stigma oleh publik

Gambaran publik akan risiko bahaya dan kekerasan jika berinteraksi dengan orang dengan gangguan jiwa menyebabkan semakin dikucilkannya kelompok ini. Tak jarang didengar mereka dipasung, diikat dan dipukul oleh masyarakat sekitarnya. Ketakutan masyarakat memang beralasan. Gangguan jiwa dengan perilaku yang kacau, waham, atau halusinasi tertentu dapat meningkatkan risiko perilaku agresif ataupun kekerasan. Namun, risiko ini hanya meningkat pada gangguan yang tidak terkontrol atau tidak ditangani dengan tepat. 

Stigma oleh keluarga

Dianggap aib merupakan salah satu label yang harus diterima orang dengan gangguan jiwa. Ditinggalkan oleh keluarga, diisolasi bahkan dipasung masih sering terjadi. Dukungan dan pemahaman keluarga akan masalah gangguan jiwa yang dialami sangat penting bagi kesembuhan.

Masalah kesehatan mental merupakan masalah yang kompleks dari interaksi biologis, psikosial dan fisik. Tidak bijak menyalahkan orang dengan gangguan jiwa atas penyakitnya. Dukungan keluarga sebagai sistem dukungan utama memiliki peran penting dalam terkendalinya atau kesembuhan penyakit.

Stigma oleh tempat kerja

Orang dengan gangguan jiwa yang telah terkontrol dan sembuh sekalipun sering tetap kesulitan dalam mencari pekerjaan. Mereka dianggap kurang kompeten serta ada ketakutan akan kekambuhan saat bekerja.

Akhirnya, mereka sulit memiliki penghasilan hidup yang cukup karena keengganan orang untuk mempekerjakan mereka. Padahal, adanya pekerjaan juga berperan dalam terapi, selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

Stigma oleh institusi

Walaupun institusi kesehatan dianggap memahami dan dapat memberikan pelayanan tanpa diskriminasi, tak jarang hal ini tidak tercapai. Stigma ini tidak hanya dialami oleh penderita saja namun ke tenaga kesehatan pelayanan kesehatan jiwa.

Pendanaan terhadap penelitian yang masih minim serta sedikitnya pembiayaan yang menjamin masalah kesehatan mental masih menjadi pekerjaan rumah bagi institusi terkait.

Akibat dari stigma 

Stigma yang muncul dari berbagai pihak memiliki peran dalam proses pencarian pertolongan hingga kesembuhan penderita. Perilaku tidak menyenangkan dari sekitar, kehilangan kesempatan, kehilangan harapan, rasa rendah diri, isolasi atau penarikan diri yang muncul akibat stigma dapat membuat seseorang enggan mencari pertolongan dan memperburuk gejala yang muncul. Meskipun telah mendapatkan terapi, tanpa dukungan sekitar yang baik, risiko ketidakpatuhan atau putus terapi menjadi tinggi.

Seseorang yang telah sembuh dari gangguan jiwa, tetap tidak luput dari stigma. Mereka kesulitan kembali ke fungsi sehari-harinya. Banyak orang enggan menerima seseorang dengan riwayat gangguan jiwa bekerja.

Hal tersebut dapat menjadi sumber stres baru dan meningkatkan kekambuhan. Padahal tujuan akhir dari terapi gangguan jiwa adalah mereka dapat menjalankan fungsi sehari-hari dengan baik.

Cara mengurangi stigma  

Cara terbaik mengurangi stigma adalah meningkatkan pengetahuan dan berinteraksi dengan orang dengan masalah kesehatan mental.

Kemajuan teknologi dan informasi saat ini  telah membawa dampak positif di bidang kesehatan mental. Keterbukaan selebriti baik nasional dan internasional akan masalah kesehatan mental yang dialami membuat masyarakat awam mulai terpapar isu ini.

Keterbukaan ini membuktikan bahwa mereka dapat tetap menjalankan fungsi kehidupan sehari-hari dengan baik meskipun memiliki masalah kesehatan mental.

Saat ini informasi yang lebih akurat mengenai kesehatan mental mulai banyak ditemukan. Dari akun media sosial milik tenaga profesional, website dari organisasi kesehatan mental, dan sebagainya mulai aktif membahas masalah ini.

Stigma mungkin tetap ada meskipun usaha telah dilakukan. Keterbukaan untuk memahami, tidak menghakimi dan meningkatkan kepedulian terhadap orang dengan gangguan jiwa merupakan poin penting untuk mengurangi stigma.

Jika menemukan seseorang membutuhkan bantuan profesional, jangan ragu membantu mereka. Bantuan sederhana yang dilakukan dapat berdampak besar dan menyelamatkan mereka.

***

Referensi :

American Psychiatric Association. Stigma, Prejudice and Discrimination Against People with Mental Illness. Diakses dari  https://www.psychiatry.org/patients-families/stigma-and-discrimination

Hartini N, Fardana NA, Ariana AD, Wardana ND. Stigma toward people with mental health problems in Indonesia. Psychol Res Behav Manag. 2018 Oct 31;11:535-541. doi: 10.2147/PRBM.S175251. PMID: 30464658; PMCID: PMC6217178.

Subu, M.A., Wati, D.F., Netrida, N. et al. Types of stigma experienced by patients with mental illness and mental health nurses in Indonesia: a qualitative content analysis. Int J Ment Health Syst 15, 77 (2021). https://doi.org/10.1186/s13033-021-00502-x

Corrigan, P. W., Kerr, A., & Knudsen, L. (2005). The stigma of mental illness: Explanatory models and methods for change. Applied and Preventive Psychology, 11(3), 179--190. doi:10.1016/j.appsy.2005.07.001 10.10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun