Mohon tunggu...
Aly Reza
Aly Reza Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Bisa Menulis

Asal Rembang, Jawa Tengah. Menulis sastra dan artikel ringan. Bisa disapa di Email: alyreza1601@gmail.com dan IG: @aly_reza16

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Golok dan Si Burung

23 Agustus 2020   00:31 Diperbarui: 23 Agustus 2020   16:53 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catur selalu merasa tercabik-cabik batinnya tiap kali melihat Windi, istrinya, menimang seorang bayi. Entah bayi saudara yang kebetulan bertandang, kadang juga bayi-bayi tetangga yang dia bawa ke rumah hampir seharian.

Windi akan dengan sangat telaten mengurus bayi-bayi "pinjaman" itu. Tapi Catur selalu merasa terluka tiap menyaksikannya. Pemandangan yang membuat rasa bersalahnya terhadap Windi kian menjadi-jadi.

Dan tidak jarang, ketika Catur sudah berada pada tapal batas keteguhannya, kepada istrinya yang berpipi gembul itu dia berujar setengah putus asa, "Sudah ku bilang, harusnya kita jangan pernah menikah."

Tapi dengan tegas dan penuh kasih Windi menimpali, "Aku sudah sangat bahagia, Mas." Jawaban yang, bagi Catur, jelas-jelas adalah pisau bermata dua. Satu sisi menghujam dalam batinnya, terkoyak, dan menanggung perih sepanjang waktu. Sementara sisi lain, dia yakin, sudah benar-benar membuat hati istrinya tersayat-sayat.

Catur tahu belaka, bahwa ketegaran dan senyum keceriaan yang ditampakkan Windi selama ini, tidak lebih hanyalah kamuflase untuk menyamarkan gurat wajah penuh ratap. Catur tahu belaka, bahwa dari dalam lubuk hati Windi yang paling dalam, ada lolongan kepedihan yang susah payah dia sembunyikan.

Hanya untuk menjaga perasaan Catur. Hanya agar dia tidak pernah tersinggung dengan kenyataan yang begini suram.

"Kita sudah tiga tahun menikah, Win," lirih suara Catur suatu malam, ketika keduanya tengah saling tindih di balik kamar. "Apakah kamu tidak ingin menyerah saja?"


"Bicaramu selalu soal itu-itu saja, Mas," protes Windi. "Seperti tidak ada topik lain yang bisa diobrolin."

"Tiga tahun yang sia-sia. Pun jika kita teruskan, kamu hanya akan makin menderita." Catur merebahkan tubuhnya di samping Windi, sambil menatap kosong langit-langit kamar yang dipenuhi sawang.

"Kamu tidak akan pernah punya anak dariku, Win."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun