Malam Pertama di Jogja
/1/
Untuk kali pertama aku menyimak bintang di langit Jogja. Menikmatinya di meja paling ujung sambil menyesap kopi hangat juga seseorang yang sedari tadi hanya diam menatapku: kamu. Rupanya ini kali pertama aku melihat pemandangan seperti ini. Banyak kata yang ingin keluar dari kepalaku. Namun satu-satunya yang terlintas adalah: kehilangan. Kapan aku merasa memiliki sampai aku merasa kehilangan?
Orang-orang kehilangan di banyak versi mereka masing-masing. Di antara kesekian kehilangan, kehilangan apa yang paling kau takutkan?
(Gadis Pluto; Menunggu jawaban)
/2/
Pertama, jika benar ini adalah malam pertamamu di Jogja, aku adalah makhluk bumi paling beruntung telah tanpa sengaja menyambutmu di sebuah kedai kopi saat malam kian jelaga. Ditingkahi dersik angin yang menyaru daun-daun juga selendangmu yang abu-abu, aku menikmati bola matamu yang seperti menyala tiap kali kau bicara.
Kedua, soal kehilangan itu bagiku adalah bahasa lain untuk siapapun yang tak menghendaki perpisahan. Seperti ketidaksiapanku mendengar kau berucap: aku pamit esok hari.
(Bocah Bumi; Bersenandika)
Mengeja Duka
/1/
Barangkali di satu titik yang entah, kau akan mengeja mataku. Ada binar yang tak bisa kau terjemahkan. Ada duka setenang malam. Lalu apa yang lebih sakit dari penolakan?
(Gadis Pluto; Memintamu Merenung)
/2/
Dalam kalimat pendekmu kau tahu, menyimpan ketidakpastian yang panjang. Merentang membentuk jurang antara aku yang berharap dengan lindap tanyamu yang merumpun menjelma ragu. Mendekatlah, biar ku bisikkan: kenyataannya, matamu berkali-kali gagal menyembunyikan sehimpun duka. Dan penolakan bagiku tidak lebih sakit dari kesaksian paling bisu seorang perempuan. Kini aku tahu, diam mu adalah bahasa luka paling senyap sekaligus pernyataan paling pahit yang harus diterima seorang lelaki.
(Bocah Bumi; Belum menyerah)
Simfoni Akhir Kata
/1/
Jangan terlalu sibuk menyalahkan orang lain atas perasaanmu sendiri. Kasihan, kasihan hati orang yang sedang kau harapkan. Dia sedang kebingungan mencari arah: ke mana sebenar-benarnya dia harus pulang?
Pada akhirnya, selamat tinggal. untuk kembali menjadi dua manusia asing. Hingga dua jarum jam mempertemukan kita. Dan saat kita menyadari bahwa kita hanya sebatas pernah. Maka saat hati kita sudah baik-baik saja, aku pamit.
(Gadis Pluto; Pamit)
/2/
Adakah yang lebih hening dari pamit yang kau sampaikan lewat diam? Adakah yang lebih kosong dari pergimu yang tak meninggalkan pelukan? Ku dengar langkah-langkah panjang kakimu menggema memenuhi setiap ruang dadaku, menyisakan rindu yang abadi.
(Bocah Bumi; Kalah)
/3/
Aku berpikir tentang bagaimana agar kata selesai tak terucap. Apa itu pemikiran yang salah? Sebelum kisah ambigu ini ada, aku sudah tahu bagaimana akhir dari kisah yang tak ada kata mulai di awalnya. Kita adalah hubungan yang berkali-kali dihentikan oleh ego. Haruskah kita merubah arah langkah kita?
(Gadis Pluto; Untuk yang terakhir kali)
/4/
Ada kalanya akan tiba masa di mana manusia harus mengakui setiap jengkal ketidakmampuannya. Seperti aku yang tak mampu berkata-kata lagi setelah ini, setelah pertemuan singkat untuk perpisahan paling panjang. Sehabis perbincangan paling permukaan untuk perasaan paling dalam tanpa kesimpulan.
(Bocah Bumi; Berdamai dengan elegi)
Bumi -- Pluto, Tahun Sekian
Aly Reza -- Ika Putri
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI