Mohon tunggu...
Alya Wahdani
Alya Wahdani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Metode Penyebaran Islam di Nusantara Melalui Kesenian

15 Desember 2023   21:25 Diperbarui: 15 Desember 2023   21:49 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Terdapat beberapa jalur masuknya islam ke Nusantara, diantaranya melalui jalur kesenian, lantas apa saja kesenian yang menjadi jalur masuknya islam ke Indonesia?

Pertama adalah Permainan Debus: Permainan Debus adalah bukti akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam di bidang kesenian. Ada beberapa pendapat mengenai makna kata Debus, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata debus atau dabus bermakna sebagai suatu permainan (pertunjukan) kekebalan terhadap senjata tajam atau api dengan menyiksa diri (Pusat Bahasa, 2008).

Kesenian debus dipercaya berhubungan dengan tarikat Rifaiyah yang dibawa Nuruddin Ar-Raniri ke Aceh pada abad ke-16, Para pengikut tarikat ini ketika dalam kondisi kegembiraan karena merasa bertatap muka dengan Tuhan yakin bahwa atas izin Allah maka benda-benda tajam tidak akan melukai mereka. 

Awalnya, debus berfungsi untuk menyebarkan ajaran Islam. Saat penjajahan Belanda, pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa permainan debus dimainkan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat Banten dalam melawan Belanda. Pada zaman sekarang, permainan debus hanya sebagai sarana hiburan (An-Nabiri, 2008).

Kesenian debus tumbuh dan berakar dari masyarakat biasa yaitu masyarakat pedesaan, di mana dalam kesenian tersebut mempunyai fungsi memanifestasikan suatu kekebalan pada seseorang terhadap berbagai senjata tajam. Kekebalan tersebut diperoleh dengan suatu cara yang mana di dalam meletakkan dasar-dasar kekebalan tersebut adalah dari ajaran agama yaitu agama Islam (Hadiningrat, 1982).

Menurut Isman dalam permaianan ritual debus ada tiga pokok yang harus diperhatikan dan tidak terpisahkan, yaitu shalawat, dzikir dan permainan debus. Begitu pentingnya, jika salah satu hilang maka debus sebagai suatu permainan akan kehilangan maknanya (Nasution, 1995).

 Bentuk-bentuk tarian yang diperankan oleh pemian debus diiringi oleh permainan musik sebagai pelengkap dan daya tarik permianan itu sendiri, selain itu juga, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, dzikir, shalawat dan pembacaan wawacan Syeikh atau hikayat Syeikh yang dibacakan oleh seorang pemimpin (Syamsu, 2003).

Adapun nilai-nilai islam yang terkandung dalam kesenian debus meliputi: Nilai Akidah, Yakni mencakup nilai keimanan yang meliputi, Iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada Rasul, iman kepada hari akhir atau kiamat dan iman kepada qada dan qadar. Nilai syari'ah, Yakni Nilai syari'ah meliputi syahadat, shalat, membayar zakat, puasa, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, do'a, taubat, bersyukur, berdzikir dan pernikahan. Nilai Akhlak, Yakni mencakup akhlak kepada khalik dan akhlak kepada makhluk. Nilai Ibadah, Yakni semua aspek kebaikan yang dijalankan oleh manusia maka menjadi nilai ibadah untuknya (Anwar, 2008).

Selanjutnya ada Tari Seudati: Timbulnya tradisi tari sedati dalam masayarakat Aceh belum ada sebuah data yang akurat. Namun dari sejumlah tulisan seudati ada beberapa pandangan tentang timbulnya sedati ini. Timbulnya sedati pada mulanya di sebuah desa gigieng, kecamatan simpang tiga, kabupaten pidie (Hermaliza dkk, 2014), Tarian seudati dibawa oleh seorang Syekh yang Bernama Syekh Tam (Zulfarauyani, 2019).

               Tari ini mengusung tema dan makna terkait keteguhan, semangat dan juga jiwa kepahlawanan dari seorang pria Aceh. Awal perkembangan tari ini, dulu hanya dijadikan sebagai sarana penyebaran dakwah Agama Islam yang dilakukan di tanah rencong. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya syair di dalam tarian Seudati yang menceritakan tentang ajaran dan juga nilai-nilai Islam. Dalam tari Seudati para penari menyanyikan lagu tertentu yang berupa shalawat (Ahsan dan Sumiyati, 2017).

               Adapun Bentuk dakwah yang disampaikan dalam syair seudati adalah: penyampaikan pesan dakwah dalam bentuk nasehat, penyampaian dakwah dalam bentuk nasehat menghormati orang tua dan guru. pesan yang disampaikan berupa dakwah Ibadah, pesan mengenai Hubbul Wathon tentang pemuda yang mencintai negerinya (Zulfarauyani, 2019).

Selanjutnya ada kesenian Wayang: Wayang diperkirakan sudah ada sejak 1500 SM yang berfungsi sebagai medium untuk mendatangkan arwah leluhur yang disebut hyang atau dahyang. Ketika agama Hindu dari India masuk ke nusantara, wayang berkembang mengambil cerita dari kitab Mahabharata dan Ramayana. Sedangkan pada perkembangan budaya Islam, di Jawa wayang digunakan sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan ajaran agama Islam (Wiyono, 2019).

Wayang digunakan sebagai pendekatan media dakwah karena merupakan kesenian tradisional yang paling disukai dan digemari oleh masyarakat. Selain itu juga mempunyai peranan sebagai alat pendidikan serta komunikasi langsung dengan masyarakat yang dipandang efektif dapat dimanfaatkan untuk penyiaran agama Islam (Setiawan, 2020).

Pada abad 17 ditanah Jawa, di kenal walisongo sebagai penyebar agama Islam. Para walisongo ini merupakan intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai apek kebudayaan, yang menarik dari kiprah para walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan Islam di nusantara tidaklah dengan armada militer, tidak juga dengan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya, Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana, seperti halnya Islam yang mengajarkan kehalusan tanpa kekerasan. Mereka tidak langsung menentang adat kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat, namun menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah (Setiawan, 2020).

Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang. Para wali melakukan berbagai penyesuaian dengan adat setempat agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayang pun diubah yang mulanya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau. (Setiawan, 2020)

Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral keIslaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Arjuna. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia (Setiawan, 2020).

DAFTAR PUSTAKA 

Ahmad Ihsan Syarifuddin, Armiya Nur Lailatul Izzah. 2021. “Transformasi Dinamika Sastra Dan Seni Dalam Masyarakat Muslim Indonesia.” Al-Mabsut 15 (2).

Ahsan Muhamad, Sumiyati, & Mustahdi. 2017. Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti Menelusuri Tradisi Islam Di Nusantara. jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

An-Nabiri, Fahrul Bahri. 2008. Meniti Jalan Dakwah (Bekal Perjuangan Da’i). 1st ed. Jakarta: Amzah.

Anwar, Rosihon. 2008. Akidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.

Asy’ari, M. 2007. “Islam Dan Seni.” Jurnal Hunafa 4 (2).

Bahasa, Pusat. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka utama.

Essi Hermaliza, Harfina, Nurmila Khaira, Ahmad Syai. 2014. Seudati Di Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai budaya.

Hadiningrat, K. 1982. Kesenian Tradisional Debus. Jakarta: Media Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hudaidah, Intan Permatasari dan. 2021. “Proses Islamisasi Dan Penyebaran Islam Di Nusantara.” Humanitas 8 (1): 2–5.

Nasution, Isman Pratama. 1995. “Debus, Islam Dan Kiai, Studi Kasus Di Desa Tegalsari Kecamatan Walantaka, Kab Serang.” Universitas Indonesia.

Setiawan, Eko. 2020. “Makna Nilai Filosofi Wayang Kulit Sebagi Media Dakwah.” Al-Hikmah 1 (1): 51.

Sulistiono, Budi. 2005. “Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Nusantara.”

Syamsu, Nauval. 2003. “Kesenian Debus Banten.” Tsaqofah 1 (2).

Undung Wiyono. 2019. “Media Komunikasi Dan Inspirasi Jendela Pendidikan Dan Kebudayaan,” 2019.

Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi Dan Keadilan. yogyakarta: Pilar Media.

Zulfarauyani. 2019. “Pesan Dakwah Islam Dalam Syair Tari Seudati.” Uin Syarif Hidayatullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun