Mohon tunggu...
Alya Shafa Luqyana
Alya Shafa Luqyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengupas Kapitalisme dampaknya terhadap Indonesia dan solusi yang dibutuhkan

14 Desember 2024   16:42 Diperbarui: 14 Desember 2024   16:42 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kapitalisme telah menjadi sistem ekonomi yang utama di Indonesia sejak era Orde Baru, khususnya saat pemerintah mulai mengizinkan investasi asing dan privatisasi sektor-sektor strategis. Walaupun dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, sistem ini tetap mendapat kritik. Beberapa kelemahan kapitalisme di Indonesia dengan berdasarkan data, fakta, serta argumen.

1. Kesenjangan ekonomi yang semakin parah

Dalam sistem kapitalisme, individu dengan modal besar cenderung semakin kaya, sementara yang miskin semakin sulit untuk meningkatkan status sosial. Berdasarkan informasi dari Word Inequality Report 2022, sekitar 10% individu terkaya di Indonesia memiliki sekitar 77% dari total kekayaan negara. Sementara 50% individu terbawah hanya mendapatkan 1,8% dari keseluruhan kekayaan. Gini rasio Indonesia juga tetap di kisaran 0,38-0,40 selama beberapa tahun terakhir, hal ini menghasilkan ketidaksetaraan yang signifikan baik dalam hal pendapatan maupun akses terhadap sumber daya. Ketidakadilan ini semakin terlihat selama pandemi COVID-19. Sementara banyak masyarakat biasa yang kehilangan pekerjaan, dan masyarakat kaya justru meningkatkan kekayaan. Menurut Forbes, total kekayaan 15 individu terkaya di Indonesia tumbuh sekitar 21% pada tahun 2021 di tengah situasi krisis ekonomi. Sistem kapitalisme yang menitikberatkan pada pasar bebas sering kali memperkuat konsentrasi kekayaan ini, karena hanya segelintir orang yang dapat memanfaatkan peluang besar tersebut. Walaupun kapitalisme kerap dianggap menawarkan peluang yang setara, dalam kenyataanya menciptakan kondisi yang tidak adil. Orang-orang miskin yang tidak memiliki modal untuk bersaing, seperti pedagang kecil di pasar tradisional sering kali tidak bisa bersaing dengan ritel besar yang memiliki anggaran iklan besar.

2. Eksploitasi tenaga kerja

Kapitalisme juga sering mengorbankan pekerja demi efisiensi biaya produksi. Di Indonesia, rendahnya upah minimum dan banyakanya sistem kerja kontrak merupakan bukti yang jelas. Menurut data dari Trading Economics menunjukkan bahwa rata-rata gaji minimum di Indonesia pada tahun 2023 hanya sekitar Rp. 4 juta per bulan, sementara kebutuhan hidup di kota besar seperti Jakarta dapat mencapai Rp. 7 juta per bulan. Banyak karyawan harus mengambil pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Selain itu, fenomena outscourcing semakin meluas. Pekerja kontrak sering kali tidak menerima jaminan kesehatan, tunjangan atau pesangon yang menjadikan mereka rentan terhadao risiko finansial. Kapitalisme sering melihat tenaga kerja sebagai instrumen produksi, bukan sebagai individu dengan kebutuhan. Agar kondisi ini membaik, pemerintah perlu lebih tegas dalam menerapkan standar upah yang layak serta memberikan insentif kepada perusahaan yang memberikan kontrak kerja tetap kepada para karyawannya.

3. Dominasi asing dalam ekonomi nasional

Kapitalisme global sering menjadikan negara berkembang seperti Indonesia sebagai tempat eksploitasi oleh perusahaan multinasional. Banyak sektor penting yang dikuasai oleh investor luar negeri, mulai dari perbankan hingga sektor pertambangan. Sebagai contoh, Freeport-McMoRan sebuah perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat, telah mengendalikan tambang emas Grasberg di Papua selama bertahun-tahun sebelum pada 2018 pemerintah mengambil alih sebagian sahamnya. Namun, penguasaan asing tidak hanya pada sektor pertambangan, melainkan sektor perbankan. Menurut informasi dari Bank Indonesia hampir 50% aset perbankan nasional dikuasai oleh bank asing. Kapitalisme global kerap merugikan negara-negara berkembang karena sebagian besar keuntungan mengalir ke luar negeri. Pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam menerima investasi luar negeri, memastikan bahwa kolaborasi ini memberikan keuntungan optimal bagi perekonomian setempat.

4. Konsumerisme yang tidak sehat

Kapitalisme kerap kali memacu budaya konsumtif melalui promosi dan pemasaran. Di Indonesia, fenomena ini nampak jelas pada cara hidup generasi muda yang semakin terperangkap dalam sikluas konsumsi. Contohnya, popularitas sistem paylater dan cicilan tanpa bunga telah mendorong banyak orang untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Menurut data dari Bank Indonesia, sebanyak 87% generasi milenial di Indonesia memiliki utang konsumtif pada tahun 2022. Konsumerisme yang berlebihan tidak hanya berdampak negatif pada individu, tetapi juga pada perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah dan masyarakat harus mendorong gaya hidup hemat serta berinvestasi, contohnya dengan memberikan pembelajaran keuangan sejak awal di sekolah.

5. Minimnya investasi di sektor publik

Kapitalisme sering kali mengabaikan sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan karena dianggap tidak menguntungkan. Di Indonesia, hal ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran untuk layanan dasar. Pada tahun 2021, alokasi dana pemerintah untuk pendidikan hanya sekitar 3,6% dari PDB, hal ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Malaysia (4,9%). Sektor kesehatan hanya menerima alokasi 2,9% dari PDB, yang hasilnya menurunkan kualitas layanan kesehatan di berbagai daerah. Kapitalisme sering tidak berhasil memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Agar dapat mengatasinya, pemerintah harus meningkatkan alokasi dana untuk sektor publik dan memastikan bahwa layanan tersebut dapat diaskes oleh semua lapisan masyarakat.

6. Monopoli dan Oligopoli

Meskipun kapitalisme mengklaim mendukung pasar bebas, faktanya banyak bidang yang dikuasai oleh beberpa orang yang memiliki kepentingan besar. Hal ini menyebabkan persaingan menjadi tidak baik dan merugikan konsumen. Contohnya adalah sektor minyak goreng. Pada tahun 2022, KPPU menemukan tanda-tanda adanya kartel yang mengendalikan harga minyak goreng, yang melibatkan harga meningkat secara signifikan. Hal ini menujukkan bahwa kapitalisme yang tidak diawasi dapat menghasilkan monopoli. Pemerintah peru meningkatkan pengawasan terhadap praktik-praktik anti-persaingan. Sanksi yang tegas wajib dijatuhkan kepad perusahaan yang terbukti terlibat dalam praktik monopoli atau oligopoli.

7. Ketergantungan pada sektor non-produktif

Kapitalisme di Indonesia sering kali mendorong investasi besar pada sektor non-produktif seperti finansial dan propoerti, sedangkan sektor produktif seperti manufaktur dan pertanian mengalami perkembangan yang kurang. Sebagai contoh, banyak pengembang real estate membuat apartemen mewah yang hanya bisa diakses oleh golongan elit, sementara petani di desa tetap berjuang dengan keterbatasan dalam akses teknologi dan modal. Sektor pertanian menyumbang PDB yang turun dari 15,4% pada tahun 2010 menjadi haya 12,7% pada tahun 2022. Dengan ini pemerintah perlu mendorong penanaman modal di sektor produktif seperti pertanian dan industri melalui insentif pajak serta subsidi. Dengan cara ini, ekonomi Indonesia dapat menjadi lebih seimbang dan inklusif.

8. Kerusakan lingkungan yang sistemik

Kapitalisme sering mendorong eksploitasi besar-besaran sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Studi Murray Bookchin menyoroti bahwa logika kapitalisme mendorong degradasi lingkungan, termasuk deforestasi dan perubahan iklim, akibat obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi tanpa batas. Model reformasi seperti green capitalism dianggap tidak cukup, karena tetap mendukung mekanisme dasar kapitalisme yang eksploitatif. Alternatif seperti ekologi sosial, yang mengedepankan keadilan lingkungan dan keberlanjutan, menjadi solusi yang lebih progresif. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara tahun 2002 dan 2020, Indonesia kehilangan hampir 10 juta hektar hutan primer, sebagian besar akibat pengembangan perkebunan kelapa sakit. Hal ini tidak hanya membahayakan keanekaragaman hayati, tetapi juga merugikan masyarakar adat yang bergantung pada hutan untuk kehidupan. Disamping itu, penambangan seperti batu bara di Kalimantan juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar. Sungai-sungai terkontaminasi sampah, dan masyarakat setempat kehilangan akses terhadap air bersih.

Kapitalisme cenderung merugikan lingkungan untuk mendapatkan keuntungan. Solusinya adalah memperketat regulasi lingkungan dan memberikan hukuman berat kepada perusahaan yang tidak mematuhi aturan. Di sisi lain, pemerintah juga harus mendorong investasi dalam sektor energi yang dapat diperbaharui untuk mengurangi ketergantungan pada sumber data alam yang tidak terbarukan. Pemerintah perlu lebih aktif dalam mengelola distribusi kekayaan, melindungi pekerja, serta memastikan keberlanjutan lingkungan. Jika tidak, kapitalisme hanya akan bermanfaat untuk sedikit orang dan merugikan sebagian masyarakat. Reformasi yang melibatkan semua pihak adalah kunci untuk membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun