Mohon tunggu...
ALYA RYANTI
ALYA RYANTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang.

Mahasiswi S1 Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Roller Coaster IHSG Sebelum dan Sesudah Covid-19

12 Desember 2023   19:46 Diperbarui: 12 Desember 2023   20:11 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data BEI, sejak awal tahun 2019 harga saham HMSP (Sampoerna) jatuh 42,6% dengan kapitalisai pasar kini mencapai Rp 248 triliun. Dengan koreksi harga yang dalam, ditambah kapitalisasi pasar yang tidak kecil, HMSP memberatkan pergerakan IHSG hingga 160,5 poin. Sementara itu, GGRM (Gudang Garam) menyumbang penurunan 51 poin ke IHSG. Adapun harga saham GGRM terkoreksi hingga 36,3% sejak awal tahun, dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 102 triliun. Adanya isu rencana kenaikan cukai rokok membuat investor menilai penjualan rokok akan menurun, sehingga banyak investor yang menarik dananya.

SETELAH COVID-19

Pada tahun 2021, rata-rata IHSG yang berada pada angka 6,186.02 terjadi penurunan dibandingkan tahun 2019 yaitu 6,324.66. Meskipun begitu, IHSG tahun 2021 mencapai posisi 6.581,5 atau naik 10,1% (yoy), setelah mengalami penurunan pada masa pandemi tahun 2020. BEI mampu mencatatkan 54 Perusahaan Tercatat Baru dengan fund raised mencapai Rp 62,61 triliun.

Di tahun selanjutnya, terjadi peningkatan rata-rata IHSG yang berada pada angka 7,006.80. Penurunan rata-rata pada tahun 2023 menjadi 6,827.24 mungkin disebabkan karena data yang digunakan hanya sampai bulan Oktober 2023. Oleh karena itu, masih belum bisa dipastikan apakah terjadi penurunan atau kenaikan rata-rata IHSG pada tahun 2023. Meskipun demikian, di tahun 2021 hingga Oktober 2023, IHSG masih terus berfluktuasi, berikut beberapa penyebab dari fluktuasi IHSG:

  • Neraca Perdagangan Indonesia

Neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 masih mengalami defisit sebesar US$ 3,2 miliar atau Rp 43,8 triliun. Akan tetapi, defisitnya lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai US$ 8,7 miliar sama dengan Rp 119,2 triliun. Defisit neraca perdagangan berarti tingginya impor dibandingkan dengan ekspor. Defisit ini dapat menyebabkan tekanan pada nilai tukar mata uang. Oleh karena itu, investor menjadi khawatir mengenai stabilitas mata uang. Penurunan nilai tukar juga dapat berdampak pada perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang asing. Dengan begitu, hal ini dapat memengaruhi harga saham perusahaan-perusahaan tersebut.

  • Melandainya Kasus Covid-19

Penurunan kasus aktif ini konsisten sejak 28 Februari 2022. Hal ini memberikan sentimen positif kepada para investor. Investor optimis bahwa kinerja fundamental perusahaan-perusahaan akan terlihat positif, sehingga adanya peningkatan IHSG pada tahun 2021 -- 2022.

  • Meningkatnya Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO)

Pada tahun 2021, tercatat ada 54 perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO), 59 perusahaan pada tahun 2022 dan pada tahun 2023 hingga bulan September, sudah ada 65 perusahaan baru yang melakukan Initial Public Offering (IPO). Saat perusahaan-perusahaan baru meluncurkan IPO, saham-saham mereka diperdagangkan di pasar saham, Hal ini dapat menambah likuiditas di pasar, karena adanya saham-saham baru yang bisa diperjualbelikan. Penambahan likuiditas dapat meningkatkan aktivitas perdagangan dan mempengaruhi IHSG. Hal ini tercermin dari peningkatan rata-rata IHSG tahun 2021-2022.

  • Penguatan Nilai Tukar

Nilai tukar rupiah di pasar spot pada Jumat, 24 November 2023 diperdagangkan Rp 15.591 per dolar AS. Nilai tukar ini menguat 0,27% dibanding penutupan hari sebelumnya yang diperdagangkan Rp 15.633,40 per dolar AS. Penguatan nilai tukar memberikan sentimen positif investor terhadap pasar.

  • Kebijakan Suku Bunga the Fed

Pada Januari 2022, tercatat suku bunga The Fed sebesar 0-0,25% dan mengalami lonjakan yang signifikan hingga pada September 2023 berada di posisi 5,25-5,50%. Dampaknya, surat utang keluaran Pemerintah AS menjadi lebih menarik karena menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Bisa jadi, ada perputaran arus investasi, dari negara berkembang yang berisiko lebih tinggi ke aset investasi di AS. Secara historis, pasar saham AS tetap menguat setelah The Fed melakukan pemangkasan belanja asetnya. Hanya saja, harga saham akan lebih berfluktuasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun