Mohon tunggu...
ALYA RYANTI
ALYA RYANTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang.

Mahasiswi S1 Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Roller Coaster IHSG Sebelum dan Sesudah Covid-19

12 Desember 2023   19:46 Diperbarui: 12 Desember 2023   20:11 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels.com/Anna Nekrashevich 

Pandemi Covid-19 memberikan dampak tidak hanya pada kesehatan saja, tetapi memberi dampak yang signifikan bagi pasar uang dan pasar modal. Hal ini dapat tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat menyentuh rekor terendahnya pada Maret 2020 sebesar 3,911.72.

Apabila dibandingkan dengan akhir tahun 2019 dengan kapitalisasi pasar Rp7.265,02 triliun, kapitalisasi pasar akhir tahun 2020 berkurang Rp278,08 triliun atau secara presentase berkurang 3,83 persen.

IHSG tahun 2020 jelas berapor merah, tetapi bagaimana dengan IHSG sebelum Covid-19 terjadi dan setelah Covid-19? Jika dilihat dari rata-rata IHSG pada saat sebelum covid-19 dan sesudah covid-19, terjadi kenaikan yang cukup pesat dari rata-rata IHSG pada tahun 2022 dari sebelumnya pada tahun 2021 sebesar 6,186.02 menjadi 7,006.80. Dilihat dari standar deviasi IHSG yang mencerminkan volatilitas saham, volatilitas tertinggi berada pada tahun 2018 dan tahun 2021 sebesar 262.40 dan 260.78. Tahun 2018 perekonomian global tidak stabil karena adanya ketegangan antara China dan AS, sedangkan tahun 2021, dunia masih dilanda pandemi Covid-19, sehingga terjadi fluktuasi harga saham. Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan mengenai kondisi IHSG sebelum dan sesudah Covid-19.

SEBELUM COVID-19

Pada tahun 2018, rata-rata IHSG berada pada angka 6,098.58 dan menguat pada tahun 2019 menjadi 6,324.66. Meskipun demikian, sepanjang tahun 2018 IHSG cenderung menurun dari bulan Januari -- Juni, lalu mengalami kenaikan kembali pada bulan Agustus dan terus mengalami fluktuasi hingga ditutup di bulan Desember pada angka 6,194.50. IHSG minus 2,54% sejak awal Januari hingga Desember 2018. Penurunan IHSG selama tahun 2018 tak bisa dilepaskan dari sejumlah katalis negatif baik dari dalam negeri seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum beranjak dari 5%, depresiasi nilai tukar rupiah, hingga sentiment perang dagang China-AS.

Pada tahun 2019, IHSG diawali pada angka 6,532.97 dan ditutup pada angka 6,299.54. IHSG berhasil mengantarkan 55 perusahaan melakukan perdagangan saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) sepanjang tahun ini. Kinerja IHSG yang baik hanya terjadi pada bulan Januari -- Maret dan setelah itu IHSG cenderung menurun hingga terjadi kenaikan kembali pada bulan Desember. Berikut adalah beberapa penyebab dari turunnya IHSG pada tahun 2018 serta mengapa pada tahun 2019 hanya ada penguatan yang tipis dari IHSG.

  • Jatuhnya Wall Street hingga 2%

Gejolak dalam pasar saham Wall Street tidak terlepas dari ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Adanya perseteruan dagang ini membuat indeks-indeks di bursa efek Wall Street dan indeks shanghai anjlok. Tidak bisa dipungkiri bahwa pasar keuangan global saling terkait, sehingga adanya pergerakan pasar di suatu negara dapat memengaruhi pasar di negara lainnya. Saat pasar saham di Wall Street mengalami penurunan, hal ini dapat menciptakan sentimen negatif secara global, termasuk di Indonesia. Adanya sentiment negatif membuat investor cenderung mencari asset yang dianggap lebih aman dan melakukan penarikan investasi dari aset beresiko seperti saham.

  • Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,17%

Peertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 3 tahun 2018 berada di bawah asumsi pada APBN yaitu sebesar 5,40%. Pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari yang diharapkan menciptakan sentimen negatif di kalangan investor. Investor menjadi lebih hati-hati dalam menempatkan dan mempertahankan investasi mereka karena kekhawatiran akan kinerja perusahaan yang melemah.

  • Depresiasi Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar Rupiah pada 2018 secara rerata melemah 6.05% (yoy) menjadi Rp 14,246/dolar AS dari Rp 13,285 dolar AS pada 2017. Secara point-to-point (ptp), nilai tukar Rupiah melemah 5.65% dan ditutup di level Rp 14,380/dolar AS pada akhir 2018. Depresiasi nilai tukar rupiah membuat investor panik terhadap ketidakpastian ekonomi dalam negeri yang berdampak pada kinerja emiten di pasar modal. Akibatnya, investor yang khawatir akan pelemahan nilai tukar rupiah yang berkelanjutan melakukan penarikan dana keluar.

  • Penurunan Suku Bunga Acuan BI7DRR

Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan (BI 7 DRR) sebanyak 4 kali (100bps), menjadi sebesar 5% (per November 2019). Keputusan bank sentral tersebut direspon positif oleh bursa, hal ini dapat dilihat dari menguatnya nilai IHSG pada tahun 2019 jika dibandingkan dengan tahun 2018.

  • Kenaikan Cukai Rokok tahun 2020

Berdasarkan data BEI, sejak awal tahun 2019 harga saham HMSP (Sampoerna) jatuh 42,6% dengan kapitalisai pasar kini mencapai Rp 248 triliun. Dengan koreksi harga yang dalam, ditambah kapitalisasi pasar yang tidak kecil, HMSP memberatkan pergerakan IHSG hingga 160,5 poin. Sementara itu, GGRM (Gudang Garam) menyumbang penurunan 51 poin ke IHSG. Adapun harga saham GGRM terkoreksi hingga 36,3% sejak awal tahun, dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 102 triliun. Adanya isu rencana kenaikan cukai rokok membuat investor menilai penjualan rokok akan menurun, sehingga banyak investor yang menarik dananya.

SETELAH COVID-19

Pada tahun 2021, rata-rata IHSG yang berada pada angka 6,186.02 terjadi penurunan dibandingkan tahun 2019 yaitu 6,324.66. Meskipun begitu, IHSG tahun 2021 mencapai posisi 6.581,5 atau naik 10,1% (yoy), setelah mengalami penurunan pada masa pandemi tahun 2020. BEI mampu mencatatkan 54 Perusahaan Tercatat Baru dengan fund raised mencapai Rp 62,61 triliun.

Di tahun selanjutnya, terjadi peningkatan rata-rata IHSG yang berada pada angka 7,006.80. Penurunan rata-rata pada tahun 2023 menjadi 6,827.24 mungkin disebabkan karena data yang digunakan hanya sampai bulan Oktober 2023. Oleh karena itu, masih belum bisa dipastikan apakah terjadi penurunan atau kenaikan rata-rata IHSG pada tahun 2023. Meskipun demikian, di tahun 2021 hingga Oktober 2023, IHSG masih terus berfluktuasi, berikut beberapa penyebab dari fluktuasi IHSG:

  • Neraca Perdagangan Indonesia

Neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 masih mengalami defisit sebesar US$ 3,2 miliar atau Rp 43,8 triliun. Akan tetapi, defisitnya lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai US$ 8,7 miliar sama dengan Rp 119,2 triliun. Defisit neraca perdagangan berarti tingginya impor dibandingkan dengan ekspor. Defisit ini dapat menyebabkan tekanan pada nilai tukar mata uang. Oleh karena itu, investor menjadi khawatir mengenai stabilitas mata uang. Penurunan nilai tukar juga dapat berdampak pada perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang asing. Dengan begitu, hal ini dapat memengaruhi harga saham perusahaan-perusahaan tersebut.

  • Melandainya Kasus Covid-19

Penurunan kasus aktif ini konsisten sejak 28 Februari 2022. Hal ini memberikan sentimen positif kepada para investor. Investor optimis bahwa kinerja fundamental perusahaan-perusahaan akan terlihat positif, sehingga adanya peningkatan IHSG pada tahun 2021 -- 2022.

  • Meningkatnya Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering (IPO)

Pada tahun 2021, tercatat ada 54 perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO), 59 perusahaan pada tahun 2022 dan pada tahun 2023 hingga bulan September, sudah ada 65 perusahaan baru yang melakukan Initial Public Offering (IPO). Saat perusahaan-perusahaan baru meluncurkan IPO, saham-saham mereka diperdagangkan di pasar saham, Hal ini dapat menambah likuiditas di pasar, karena adanya saham-saham baru yang bisa diperjualbelikan. Penambahan likuiditas dapat meningkatkan aktivitas perdagangan dan mempengaruhi IHSG. Hal ini tercermin dari peningkatan rata-rata IHSG tahun 2021-2022.

  • Penguatan Nilai Tukar

Nilai tukar rupiah di pasar spot pada Jumat, 24 November 2023 diperdagangkan Rp 15.591 per dolar AS. Nilai tukar ini menguat 0,27% dibanding penutupan hari sebelumnya yang diperdagangkan Rp 15.633,40 per dolar AS. Penguatan nilai tukar memberikan sentimen positif investor terhadap pasar.

  • Kebijakan Suku Bunga the Fed

Pada Januari 2022, tercatat suku bunga The Fed sebesar 0-0,25% dan mengalami lonjakan yang signifikan hingga pada September 2023 berada di posisi 5,25-5,50%. Dampaknya, surat utang keluaran Pemerintah AS menjadi lebih menarik karena menawarkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Bisa jadi, ada perputaran arus investasi, dari negara berkembang yang berisiko lebih tinggi ke aset investasi di AS. Secara historis, pasar saham AS tetap menguat setelah The Fed melakukan pemangkasan belanja asetnya. Hanya saja, harga saham akan lebih berfluktuasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun