Pentingnya Green Investment
Indonesia ikut andil dalam penandatanganan Paris Agreement, di mana Pembangunan Rendah Karbon dijalankan melalui upaya penurunan jumlah dan intensitas emisi di berbagai bidang. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030. Hal tersebut tertuang dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Industri energi sebagai penyedia energi bagi industri lainnya memainkan peran yang krusial dalam mewujudkan keberlanjutan. Jika Indonesia sudah mampu menyediakan energi baru dan terbarukan secara efektif dan efisien, pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dan berimbas pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dikutip dari Kementerian ESDM, proses transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi yang besar, angkanya bisa mencapai USD 1 trilun di tahun 2060. Oleh karena itu, perlu kolaborasi antara perusahaan privat maupun publik. Blended finance tentunya perlu didorong. Pembiayaan tidak hanya bersumber dari pemerintah saja, tetapi pihak swasta perlu ikut campur dalam investasi energi baru dan terbarukan. Di samping itu, pembiayaan hijau pun terus dikembangkan pemerintah melalui kerja sama dengan lembaga internasional. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartato menyampaikan bahwa sudah ada beberapa program energi baru terbarukan yang mendapatkan pembiayaan dari Development Finance Institutions (DFI) dan Export Credit Agency (ECA).
Meskipun begitu, masih terdapat tantangan dalam pembiayaan projek energi baru dan terbarukan ini. Sebagian besar dari Green Energy Project merupakan projek jangka panjang seperti pada hydro-power atau large solar farms yang membutuhkan pembiayaan jangka panjang. Jika dilihat pada struktur pasar keuangan di beberapa negara Asia, Bank masih mendominasi sistem keuangan di Asia. Sumber daya bank didominasi deposito, dan deposito berjangka waktu pendek hingga menengah. Di sisi lain, proyek-proyek infrastruktur dan proyek-proyek energi bersifat jangka panjang. Ketidaksesuaian jatuh tempo muncul jika sumber daya bank dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek jangka panjang. Di samping itu, banyak sekali risiko yang terkandung pada Green Energy Project. Seperti kemungkinan gagal dan besarnya ketergantungan projek ini pada cuaca. Tidak terduganya cuaca akan memberikan efek negatif terhadap produksi energi dan akan ada pertanyaan yang muncul tentang layak kah Green Energy Project ini? Mengingat penggunaan teknologi tingkat tinggi yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain itu, kurangnya akses ke sumber pembiayaan meningkatkan biaya utang (suku bunga pinjaman). Teknologi hijau yang baru dan mahal serta akses ke utang yang mahal membuat mengurangi tingkat pengembalian dalam proyek-proyek hijau dibandingkan dengan proyek-proyek bahan bakar fosil. (Taghizadeh-Hesary & Yoshino, 2020)
Next Step?
Dari segi regulasi, Indonesia telah menunjukkan dukungannya untuk mempercepat perkembangan energi baru dan terbarukan melalui penerapan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang EBT disusun sebagai langkah penting dalam menciptakan kerangka regulasi yang komprehensif, yang bertujuan untuk memelihara ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan.
Namun, meskipun pemerintah telah memberikan dukungannya, peran aktif dari pelaku bisnis, terutama di sektor energi baru terbarukan, menjadi sangat penting. Salah satu tantangan utama dalam transformasi energi adalah dana, dan oleh karena itu, kolaborasi erat antara pemerintah dan pelaku usaha untuk mendukung investasi dalam transformasi energi sangatlah krusial. Jika kita kembali pada permasalahan, Green Energy Project memerlukan pembiayaan jangka panjang. Maka, perlu adanya ketersediaan pembiayaan jangka panjang bagi projek hijau ini. PFI, atau lembaga keuangan yang dibentuk dan/atau dimandatkan oleh publik yang dibentuk dan/atau dimandatkan oleh pemerintah, dapat menjadi entitas penting untuk mengisi kesenjangan pembiayaan di sektor hijau.
Selain itu, mengurangi risiko menjadi hal selanjutnya yang perlu diperhatikan. Ada beberapa tool yang bisa digunakan dalam mengurangi risiko dalam Green Investment yaitu skema penjaminan kredit hijau, penghapusan risiko keuangan, penghapusan risiko kebijakan, keuangan terstruktur, dan kerja sama pemerintah-swasta. Menjadikan Green Energy Project sebagai projek yang layak harus dilakukan untuk meningkatkan tingkat pengembalian yaitu dengan memanfaatkan efek spillover dalam bentuk pengembalian pajak kepada investor swasta. Di samping itu, perlu adanya langkah konkrit untuk meningkatkan kapasitas Green Energy Project, sehingga investor akan merasa bahwa Green Investment layak bagi pengembangan projek tersebut. Peningkatan kapasitas ditujukan untuk membantu pengembangan proyek dan engurangi risiko proyek dengan cara memberikan bantuan teknis, mengembangkan kapasitas, dan memberikan alat bantu informasi (misalnya, pelacakan sertifikat energi, dll.).
Di sisi lain, bagi masyarakat umum, kesadaran akan pentingnya penghematan energi serta penggunaan produk ramah lingkungan dan produk yang diproduksi oleh perusahaan berwawasan lingkungan sangat perlu ditingkatkan. Dengan kerja sama yang solid antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat, kita dapat mempercepat proses transformasi menuju energi baru dan terbarukan. Melalui langkah-langkah bersama ini, kita dapat memastikan bahwa Indonesia berhasil mencapai tujuan energi berkelanjutan dengan lebih cepat dan efektif.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2019). RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL 2020-2024.
Cahyono Adi, A., & Lasnawatin, F. (2021). Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2021.