Bayangkan sebuah desa pesisir kecil di Indonesia, mata pencaharian nelayan setempat telah diwariskan secara turun-temurun. Selama berabad-abad, mereka mengandalkan hasil laut untuk menafkahi keluarga mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, iklim menjadi semakin tidak menentu, dan mata pencaharian mereka pun terancam. Suatu hari, sekelompok pengusaha muda datang ke desa tersebut dengan membawa solusi inovatif. Mereka memperkenalkan proyek energi berkelanjutan yang berfokus pada pemanfaatan kekuatan dinar matahari dan laut. Panel surya dipasang di atap-atap rumah warga, dan ladang angin kecil didirikan di sepanjang pantai. Teknologi ini tidak hanya menyediakan listrik ke desa, tetapi juga membantu menggerakkan pabrik di desa yang mengubah air laut menjadi air tawar untuk minum dan irigasi.
Dampaknya sangat transformatif. Penduduk desa tidak lagi harus bergantung pada bahan bakar fosil yang mahal dan merusak lingkungan. Dengan akses terhadap energi yang bersih dan berkelanjutan, warga desa kini dapat mendinginkan hasil tangkapan mereka, memperpanjang masa simpan produk dan mengurangi limbah makanan. Kelebihan energi yang dihasilkan dijual kembali ke jaringan listrik, memberikan sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat. Seiring dengan tersebarnya kisah sukses ini, desa-desa tetangga mulai mengadopsi praktik energi berkelanjutan yang serupa. Seiring berjalannya waktu, seluruh wilayah pesisir mengalami penurunan jejak karbon, dan para nelayan menjadi lebih siap untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Anekdot ini menggambarkan bagaimana solusi energi berkelanjutan tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif bagi masyarakat, terutama di daerah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini menggarisbawahi potensi energi berkelanjutan untuk mendorong perubahan positif dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Indonesia.
Di era perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan populasi global yang terus bertambah menjadikan peran industri energi berada di persimpangan antara kebutuhan dan tanggung jawab. Namun, praktik-praktik konvensionalnya, yang sering kali bergantung pada bahan bakar fosil, telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap degradasi lingkungan dan menimbulkan tantangan besar bagi ekosistem dunia. Dengan momok perubahan iklim yang semakin membayangi setiap tahunnya, seruan untuk melakukan perubahan transformasional dalam industri ini semakin gencar diserukan.
Kondisi Industri Energi Saat Ini
Selama dua tahun terakhir, Indonesia mengalami kenaikan konsumsi energi. Di tahun 2021, total konsumsi energi Indonesia mencapai 909,24 juta BOE dan meningkat pada tahun 2022 menjadi sebesar 1.185,56 juta BOE (Cahyono Adi & Lasnawatin, 2021). Perbedaan konsumsi energi terlihat dari pergeseran besaran konsumsi energi pada sektor transportasi dan sektor industri. Sektor transportasi menjadi sektor dengan konsumsi energi terbesar pada tahun 2021 yaitu sebesar 388,42 juta BOE, tetapi pada tahun 2022, sektor industri menjadi sektor terbesar pengonsumsi energi yaitu sebesar 534,75 juta BOE. Pertanyaannya adalah, dari meningkatnya konsumsi energi ini, energi primer manakah yang memberikan suplai energi terbesar?
Sejalan dengan besarnya konsumsi pada tahun 2022, suplai energi Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu sebesar 1.793 juta BOE. Kenaikan ini merupakan kenaikan tertinggi sejak tahun 2012. Akan tetapi, bauran energi baru dan terbarukan (EBT) hanya menyentuh angka 12,30%. Bauran energi primer batu bara masih mendominasi dengan persentase sebesar 42,38%, diikuti minyak bumi sebesar 31,40%, dan gas 13,92%. Angka bauran Energi Baru dan Terbarukan cenderung turun jika dibandingkan tahun 2021 yang menyentuh angka sebesar 12,32%, turun 0,02%. Di tahun 2022, cadangan batu bara Indonesia mencapai 34.711,01 million ton. (Ministry of Energy and Mineral Resources, 2022)
Tingginya bauran energi batu bara tidak terlepas dari melimpahnya cadangan batu bara. Hal ini pun menjadi salah satu alasan lambatnya transformasi energi Indonesia. Perlu diingat bahwa batu bara tidak akan selamanya tersedia. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2020-2024, diperkirakan persediaan energi domestik hanya mampu memenuhi 75% permintaan energi nasional pada tahun 2030 dan angka tersebut akan terus menurun hingga tahun 2045 sebesar 28% (Bappenas, 2019). Padahal, jika kita lihat kembali konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun. Ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan energi dapat mengakibatkan penurunan produktivitas masyarakat, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi.
Urgensi Keberlanjutan
Melambungnya harga minyak dunia dan batu bara hingga membawa pada tingginya tingkat inflasi dunia menandakan bahwa adanya ketidaksesuaian antara jumlah energi yang diminta dengan jumlah yang terserdia. Padahal, energi menjadi hal yang penting bagi manusia. Energi memerankan peran penting dalam proses pembangunan yang mendukung perekonomian. Seiring berjalannya waktu, permintaan energi akan semakin meningkat seiring berjalannya pertumbuhan populasi manusia di dunia. Oleh karena itu, keberadaan energi keberlanjutan penting untuk mempertahankan pembangunan yang berkelanjutan.