Mohon tunggu...
ALYA ROSIANAWATI
ALYA ROSIANAWATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Sedang mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Parliamentary Threshold dalam Konteks Pseudo Democracy

27 April 2023   13:27 Diperbarui: 27 April 2023   13:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Meskipun ini menjadi angin segar bagi para pembuat kebijakan, implikasi Parliamentary Threshold tidak memberikan skala besar menyentuh angka penyederhanaan politik yang signifikan. Bahkan, berdasarkan track record praktik kebijakan Parliamentary Threshold, tidak menyulutkan antusiasme partai politik untuk bertumbuh dan bermain di dalam arena kontestasi elektoral.

Parliamentary Threshold : Pseudo Democracy?

Perbincangan mengenai kondisi demokrasi di Indonesia, Thomas Power, pengajar Universitas Sydney menilai situasi demokrasi di Indonesia melalui bukunya yang berjudul Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? sebagai dua opsi antara stagnan atau regresi. Tentunya. Thomas Power setidaknya mempunyai tiga alasan utama untuk memutuskan penilaiannya terhadap konstelasi demokrasi di Indonesia. Benar adanya, beliau mengungkapkan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia sejak buku tersebut diterbitkan, berada di tahap regresi.

Baginya, regresi menjadi fase yang terjadi sebagai bentuk respon terhadap aspek-aspek yang bersifat struktural dan ranah agensial. 

Thomas Power (2020) menekan perihal persoalan tuntutan di awal reformasi yang tak kunjung mendapat penanganan secara konkret dan masif, fenomena-fenomena baru yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi, serta permasalahan utama yang berhubungan langsung dengan regresi demokrasi. Namun, diantara tiga penekanan atau pertimbangan yang disampaikan oleh Power, di setiap poin beliau selalu berbicara tentang aspek hukum dan regulasi yang masih menjadi permainan para aktor politik, meminjam istilah dari Erving Goffman (1959) yang beliau sebut sebagai teori Dramaturgi.

Dimana terdapat ruang-ruang di belakang panggung utama, tempat para aktor merancang segala bentuk drama cerita sesuai dengan keinginan mereka untuk ditampilkan di hadapan publik. Perihal tersebut, disini dicoba mengaitkan kebijakan Parliamentary Threshold sebagai regulasi yang mengikat seluruh peserta pemilu dan produk politik pembuat kebijakan dengan tujuan-tujuan yang secara normatif memang baik bagi keberlangsungan pemerintahan terhadap penguatan nilai-nilai demokrasi secara murni. 

Berangkat dari kerangka berpikir bahwa hak politik sebagai fundamental rights Hak Asasi Manusia yang wajib dilindungi dan dijamin oleh negara, kebijakan Parliamentary Threshold berpotensi menghilangkan suara partai kecil yang tidak mampu memenuhi kualifikasi ambang batas perolehan suara yang telah ditetapkan. Mengutip pada Ginting dan Saragih (2018), pada pemilu 2009 terdapat 29 partai politik dan pemilu 2014 terdapat 2 partai politik yang suaranya menghilang karena tidak mampu memenuhi angka ambang batas. 

Tentunya ini bukan hanya berbicara perihal hilangnya suara partai politik kecil saja, tetapi juga suara rakyat yang merasa terwakili kepentingannya melalui eksistensi beberapa partai politik kecil di arena kontestasi elektoral. Padahal, Indonesia sebagai negara penganut sistem keterwakilan seharusnya mampu menafsirkan efek dari implementasi kebijakan Parliamentary Threshold dimana rakyat berhak untuk diwakili aspirasinya melalui keberadaan partai-partai politik yang mempunyai keselarasan pandangan ideologis terhadap preferensi rakyat. 

Selain itu, Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 menghendaki adanya sistem pemilu proporsional pada penyelenggaraan pemilu legislatif, tetapi dengan pemberian ambang batas perolehan suara bagi setiap partai politik, akan menyebabkan disproporsional alokasi kursi parlemen karena banyak suara partai politik kecil dan rakyat yang terbuang dan tidak dapat dikonversi menjadi kursi. Secara nyata, Parliamentary Threshold justru bertentangan dengan produk politik utama yang termuat dalam UUD 1945. 

Selanjutnya, menanggapi fenomena Parliamentary Threshold ini, koalisi antar partai politik akan menjadi satu-satunya cara guna menembus kualifikasi ambang batas yang telah ditetapkan. Efek dari proses koalisi ini adalah politik transaksi dan politik bagi-bagi jabatan yang berdasar atas kepentingan politis guna merlis kebijakan-kebijakan dan memaksimalkan kesempatan untuk melakukan kontrol serta pengaruh.

 Selain itu, dinamika check and balances tidak mampu berjalan karena koalisi yang terjalin mendukung adanya simbiosis antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses tarik-menarik kepentingan. Konversi suara didominasi oleh partai-partai yang ingin mempertahankan hegemoni dan kepentingannya untuk menggeser oposisi melalui pengeluaran produk hukum yang seolah-olah mendorong partisipasi bermakna dari masyarakat dan bersifat aspiratif. Namun, realita Parliamentary Threshold justru mengarahkan partisipasi masyarakat menjadi tidak bermakna karena dihilangkan secara paksa dengan ketentuan-ketentuan yang mengikat berbagai elemen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun