Mohon tunggu...
ALYA ROSIANAWATI
ALYA ROSIANAWATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Sedang mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tinjauan Dinamika Komunikasi Politik: Refleksi Efektivitas Pola Komunikasi Politik Wakil terhadap Penyerapan Aspirasi Konstituen

23 Desember 2022   12:51 Diperbarui: 23 Desember 2022   12:54 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang 

Eksistensi lembaga perwakilan kini menjadi bentuk gambaran pelaksanaan praktik demokratisasi di tengah konstelasi tingginya tingkat intensitas penduduk dan luasnya wilayah teritorial suatu negara, terutama Indonesia. Visualisasi praktik penyampaian gagasan atau pemikiran yang terjadi sebagaimana di zaman yunani kuno melalui sistem direct democracy tidak lagi relevan untuk diimplementasikan di era kontemporer saat ini. Secara sederhana, sistem indirect democracy menjadi basis awal yang pada akhirnya menjawab berbagai keresahan terkait kebutuhan masyarakat di tengah dilema kendala pelaksanaan praktik direct democracy. Oleh karena itu, perlu dihadirkan suatu lembaga perwakilan yang independen dan mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat yang telah memberikan kepercayaannya terkait otoritas untuk mengatur tata kelola dalam mengartikulasikan kepentingan dalam bentuk kebijakan publik. Dalam konteks indirect democracy atau sistem perwakilan politik, terdapat dua kelompok yang akan saling berkaitan secara timbal balik, yaitu wakil dan terwakil. Wakil menjadi wajah yang merepresentasikan aspirasi masyarakat dan mendapat kepercayaan untuk memperjuangkan akomodasi kebutuhan di tingkat pusat. Sedangkan terwakil merupakan konstituen atau masyarakat itu sendiri yang memberikan otoritas kepada salah satu representasi yang bertindak atas nama terwakil dalam kapasitas jumlah yang besar. Sebagaimana yang disampaikan oleh Alfred de Grazia bahwa perwakilan dimaknai sebagai hubungan dua pihak, yaitu wakil dan terwakil dengan wakil berfungsi untuk memegang kewenangan dalam mewujudkan berbagai tindakan sesuai dengan kesepakatan bersama terwakil. 

Gagasan mengenai praktik sistem perwakilan telah hadir sejak zaman abad pertengahan oleh para filsuf di Eropa berbasis pada keruntuhan demokrasi langsung di Yunani Kuno. Salah satunya adalah konsep pemikiran sistem perwakilan politik Montesquieu di dalam bukunya yang berjudul Del L'esprit Des Lois. Bagi Montesquieu, eksistensi kekuasaan berfungsi untuk menampung, mengakomodasi, dan memperjuangkan kepentingan keterwakilan rakyat banyak serta merumuskan tata regulasi sebagai sumber hukum melalui lembaga legislatif. Lembaga legislatif disini diharapkan mampu menjadi wadah untuk menerima aspirasi secara komprehensif tanpa harus berupaya untuk saling mendominasi antara kepentingan kaum minoritas dan mayoritas. Lebih lanjut Montesquieu menyampaikan bahwa lembaga legislatif harus mampu menjadi mediator antara rakyat dan penguasa serta sebagai komunikator dan agregator yang baik dalam dinamika penyerapan aspirasi masyarakat. Tentunya hal ini menjadi aspek krusial karena seorang wakil harus mampu menentukan efektivitas pola komunikasi politik secara interaktif kepada terwakil agar proses penyerapan aspirasi yang dilakukan mampu berjalan dengan optimal. Asumsinya, wakil sebagai seorang mandat yang mempunyai keahlian dan kapabilitas yang baik untuk mampu merepresentasikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat maka perlu adanya mekanisme penjaringan aspirasi yang tepat dan relevan terhadap kultur sosial konstituen. 

Dengan demikian, dalam kerangka hubungan antara wakil dan terwakil diperlukan pondasi jalinan relasi yang kuat dan secara timbal balik untuk menginternalisasikan trust secara berjenjang dan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, komunikasi politik menjadi kunci untuk menjaga inklusivitas hubungan yang terjalin diantara kedua pihak yang saling sepakat terhadap tujuan kepentingan yang ingin diperjuangkan. Terkait bagaimana merumuskan pola komunikasi politik yang baik, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh wakil agar tujuan atau pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan jelas. Berbicara mengenai komunikasi politik, dalam kerangka fungsi perwakilan politik, dipahami sebagai proses dimana informasi yang relevan didistribusikan dari suatu bagian sistem politik ke sistem lainnya, dan diantara bagian sistem-sistem sosial dengan sistem politik (Rush & Althoff, 1997). Oleh karena itu, dalam prosesnya, efektivitas komunikasi politik memerlukan medium sistem pemerintahan yang demokratis berbasis freedom of the speech (kebebasan berbicara) dan freedom of the press (kebebasan pers) (Budiarjo, 2017). Fungsi-fungsi yang berkaitan dan saling mempengaruhi harus mampu berlaku secara timbal balik dalam memainkan komunikasi politik di sebuah sistem, dalam hal ini, Susanto menyampaikan definisi komunikasi politik sebagai bentuk komunikasi yang ditujukan terhadap timbulnya sebuah pengaruh sedemikian rupa sehingga berbagai persoalan yang menjadi pokok pembahasan dalam proses komunikasi dapat memberikan rasa mengikat semua warganya melalui sanksi yang disepakati bersama. 

Pada hakikatnya, komunikasi politik merupakan dua bidang kajian ilmu yang berbeda dan memerlukan perumusan secara spesifik untuk menemukan pemaknaan yang tepat sesuai dengan konteks pembahasan yang direlevansikan. Namun, sisi positifnya adalah kedua disiplin ilmu ini sama-sama bersifat interdisipliner yang bertendensi terbuka terhadap kecenderungan untuk berikatan dengan disiplin ilmu lainnya. Dalam konteks komunikasi politik, kerangka keilmuan yang disumbangkan oleh Ilmu Komunikasi terhadap komunikasi politik selaras terhadap Paradigma Lasswell, yaitu (Syarbaini, Nur, and Anom, 2021) dalam Teori, Media, dan Strategi Komunikasi Politik menyatakan bahwa Paradigma Lasswell 'mengatakan apa, dengan saluran apa , kepada siapa dan dengan akibat apa'. Unsur-unsur tersebut memainkan peran dan berlaku dalam setiap proses komunikasi dan inheren terhadap komunikasi politik. Tentunya paradigma ini diperkuat oleh argumen Almond dan Powell yang tertuang dalam model sistem politiknya bahwa komunikasi politik merupakan menjadi bagian krusial dalam sistem yang berperan dalam fungsi agregasi, artikulasi, sosialisasi, dan rekrutmen politik.

Mengacu terhadap sistem politik Almond dan Powell, komunikasi politik menjadi fungsi yang akan membantu dalam dinamika keseimbangan sistem berjalan untuk menghasilkan output dan feedback yang akan diolah menjadi input baru dalam sistem. Hal ini juga termasuk kedalam bagian dalam mekanisme yang harus dilalui dalam hubungan terwakil dengan wakil. Di dalam konstelasi untuk memenuhi kondisi keseimbangan sistem, wakil harus mampu melakukan manajemen sistem penyerapan aspirasi dengan efektif melalui strategi komunikasi politik yang disesuaikan dengan beberapa kondisi tertentu. Bagaimanapun juga, komunikasi politik menjadi prasyarat untuk optimalisasi fungsi-fungsi lain dalam sistem politik dan menjaga hubungan secara figur politik, sebagai seorang wakil dan terwakil. Oleh karena itu, penulis berupaya mengamati pola komunikasi lembaga perwakilan politik di Indonesia melalui beberapa fenomena tertentu dan menilai efektivitas terhadap strategi komunikasi politik oleh para wakil.

Pembahasan 

Klaim legitimasi demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia, memberikan konsekuensi terkait dinamika lembaga representasi politik untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman, terutama dalam upaya mempertahankan relevansi eksistensi lembaga perwakilan politik di era kontemporer dan menjaga relasi kepercayaan dengan terwakil. Dewasa ini fungsi legislasi badan legislatif disebut mengalami penurunan karena hampir 90% usulan rancangan undang-undang secara keseluruhan berasal dari lembaga eksekutif. (Hague, dkk,:192) menyebutkan bahwa badan legislatif kini lebih menempatkan posisinya sebagai badan yang membahas usulan rancangan yang diajukan oleh lembaga eksekutif dibandingkan merumuskannya secara langsung. Berdasarkan fakta tersebut, mayoritas ahli mempertanyakan terkait masa depan lembaga legislatif terhadap relevansi keberadaannya di parlemen, dimana di Indonesia sendiri menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu terdapat dua lembaga yang mewakili fungsi representasi yang telah diterapkan seiring berjalannya Pasca Reformasi 1998 dan Amandemen UUD NRI 1945.

Dalam konstelasi yang sedemikian rupa, menjadikan tantangan tersendiri bagi lembaga perwakilan politik dalam meningkatkan kepercayaan publik, terutama konstituen wakil yang telah memberikan mandat untuk memperjuangkan kepentingannya. Berangkat dari model sistem politik Gabriel Almond, komunikasi politik menjadi aspek yang akan menyeimbangkan dan menyelaraskan fungsi-fungsi lain dalam sistem tersebut. Almond dalam (Siagian, 2015) menyampaikan, "All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication, are performed by means of communication". Dengan kata lain, komunikasi politik akan menjadi fungsi yang selalu hadir dalam setiap sistem politik karena prosesnya berorientasi terhadap penyampaian pesan-pesan yang terjadi saat keenam fungsi lainnya dalam sistem sedang berjalan. Proses penyampain pesan-pesan dalam sistem politik tersebut yang menjadi stimulus dan penekan dalam komunikasi politik, (Ibid., p. 11) dalam (McNair, 2011) "The crucial factor that makes communication 'political' is not the source of a message [or, we might add, referring back to their earlier emphasis on 'public discussion', its form], but its content and purpose". 

Dalam hasil temuan jurnal penelitian yang berjudul Gaya Komunikasi Politik Pimpinan DPRD Provinsi Jawa Tengah Pada Saat Reses 2010, proses komunikasi politik dalam keadaan reses terjalin secara langsung atau  face to face kepada terwakil daerah pilihannya masing-masing. Dalam hasil temuan tersebut, dideskripsikan pula terkait respon masyarakat ketika wakil melaksanakan reses atau kunjungan untuk mengembalikan momentum kebersamaan dan serap aspirasi yang telah lama tidak dilakukan karena aktivitas wakil sebagai representasi rakyat di tingkat daerah maupun pusat. Berdasarkan data temuan, masyarakat pada tahun 2010 cenderung belum memahami esensi fungsi seorang wakil ketika melakukan kunjungan atau berada di fase reses. Di fase reses, seorang wakil diharapkan mampu menciptakan sense of belonging dengan terwakil dan menjalankan fungsi komunikasi politik yang tepat dalam mekanisme penjaringan aspirasi. Keberhasilan dalam penyerapan aspirasi terhadap terwakil dan memperjuangkan aspirasi tersebut menjadi parameter yang menunjukkan tingkat kualitas seorang wakil.  Namun, fakta lapangan yang terjadi adalah mayoritas masyarakat justru berharap adanya bantuan dari wakil dibandingkan memanfaatkan momentum reses untuk menyampaikan keluh kesah, pengaduan, maupun keinginan. 

Sedangkan dalam hasil temuan jurnal penelitian yang berjudul Strategi Komunikasi Politik Anggota DPRD Dalam Melakukan Reses Di Daerah Pemilihan 3 Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat yang dipublikasikan pada tahun 2022, gaya komunikasi politik yang dilakukan cenderung lebih bervariatif dan intens dengan memanfaatkan teknologi serta sosial media. Selain melakukan kunjungan secara langsung ke daerah pilihan masing-masing, para wakil juga mengembangkan jaringan aspirasi dengan menggunakan platform sosial media, seperti facebook dan membangun personal branding melalui postingan-postingan aktivitas selama reses. Dalam hasil temuan tersebut, penulis menyampaikan bahwa terdapat beberapa kendala komunikasi politik kepada terwakil dalam beberapa agenda yang dirancang dalam reses di daerah pilihannya masing-masing. 

Mengamati dua perbandingan gaya komunikasi politik para wakil dari rentang periode waktu yang berbeda, komunikasi politik para wakil bertendensi dalam dua bentuk pola, yaitu secara langsung dan melalui pemanfaatan media massa. Berdasarkan dua pola yang terbentuk tersebut, mayoritas kendala hadir ketika para wakil melakukan penjaringan aspirasi secara langsung melalui reses. Kendala utama dalam pelaksanaannya adalah konstituen itu sendiri, dimana mereka belum memahami esensi dari penyelenggaraan reses yang dilakukan oleh para wakil yang mereka pilih untuk memperjuangkan kepentingannya. Aspek ini yang pada akhirnya harus menjadi tantangan oleh para wakil dalam mencari dan menentukan strategi komunikasi politik yang tepat untuk menekankan kepada terwakil agar memanfaatkan momentum yang telah dihadirkan sebagai sebuah kesempatan untuk menyampaikan keluhan, kebutuhan, dan berbagai bentuk suara yang patut diperjuangkan. Selain itu pula, banyak masyarakat di daerah pilihan masing-masing wakil belum memahami esensi dari program kerja yang dihadirkan oleh wakil yang mereka pilih sendiri. Keterbatasan pendidikan dan akses politik untuk membangun sinergitas check and balances antara wakil dan terwakil pada akhirnya menjadi salah satu persoalan yang harus ditemukan alternatifnya karena akan menjadi hal yang sangat disayangkan apabila konstituen dari wakil tidak memahami esensi dari program kerja yang dibawa. 

Selain itu, tantangan dalam melakukan komunikasi politik secara langsung adalah keterbatasan anggaran yang tersedia bagi para wakil apabila ingin memberikan bantuan bagi konstituennya secara merata. Dalam hasil temuan jurnal penelitian yang pertama, perlu adanya mekanisme dan struktur birokrasi yang harus dilalui untuk mendapatkan persetujuan dari tingkat provinsi terkait anggaran. Tentunya selama masa reses, banyak agenda kegiatan yang telah dirancang oleh para wakil di daerah pilihan masing-masing dan diupayakan untuk disesuaikan dengan kebutuhan sekaligus strategi politik yang tepat. Perlu adanya perencanaan anggaran yang lebih besar untuk mendorong partisipasi masyarakat secara lebih intens selama proses pelaksanaan reses. Tidak hanya itu, eksistensi dari lembaga perwakilan politik di tingkat kota, provinsi, dan pusat menyebabkan konstituen belum mampu membedakan persoalan-persoalan dalam bidang tertentu yang memang menjadi naungan masing-masing wakil di tingkat tertentu. Berdasarkan hasil penelitian wawancara kepada DPRD Jawa Barat Bapak Yosa Octora Santono, beliau menyampaikan bahwa salah satu kendala ketika melakukan reses adalah ketidaktepatan pengaduan oleh warga masyarakat di daerah pilihan. Persoalan-persoalan yang seharusnya diselesaikan dalam tingkat DPRD Kota Bandung, tetapi disampaikan kepada beliau selaku DPRD Provinsi Jawa Barat. 

Namun, dari beberapa kendala terhadap pola komunikasi politik secara langsung, seperti reses, bentuk komunikasi ini memberikan aspek positif baik antara wakil dan terwakil. Terlepas dari sasaran aspirasi dari terwakil terhadap wakil, keduanya mempunyai peluang untuk membangun sense of belonging dan kebersamaan yang belum mampu terjalin secara intensif. Momentum tersebut menjadi salah satu kesempatan untuk menumbuhkan saling percaya baik diantara keduanya karena trust menjadi aspek yang akan menunjukkan kualitas seorang wakil dalam akuntabilitasnya terhadap terwakil selaku pemberi mandat dan kepercayaan. Selain itu, dari sisi wakil, keadaan lapangan yang menjadi gambaran terhadap apa yang dirasakan oleh konstituennya mampu menjadi sumber data valid yang akan mempermudah dalam proses memperjuangkan kepentingan konstituen di tingkat pusat. Hal tersebut mampu dimanfaatkan oleh wakil untuk menggali dan memperoleh data sedalam mungkin terkait aspek-aspek sosial politik daerah pilihan yang perlu mendapatkan akomodasi dari pemerintah secara advokatif. 

Pola komunikasi politik yang kedua, yaitu melalui pemanfaat platform sosial media. Dalam prosesnya, penggunaan sosial media sebagai sarana dalam menjalin komunikasi politik antara wakil dan terwakil merupakan bagian dari sebuah strategi dan inovasi. Akan tetapi, untuk menjadikan platform sosial media sebagai sasaran komunikasi politik yang utama, bukan menjadi metode yang efektif. Tentunya hal ini berkaitan dengan diversitas kultur di Indonesia yang menyebabkan tidak semua masyarakat mengamini dan memahami penggunaan teknologi secara masif dan signifikan. Masih menjadi tantangan besar bagi masyarakat sekitar untuk kemudian mampu beradaptasi dan bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, penggunaan platform media sosial sebagai sarana aduan dianggap kurang tepat karena sulit untuk menjadi data validasi terhadap data lapangan yang sebenarnya terjadi. Perlu adanya tindakan lanjutan terkait data lapangan yang sebenarnya terjadi dan disesuaikan terhadap aduan yang masuk. Dalam dinamikanya, platform media sosial lebih efektif sebagai sarana pelengkap terhadap fungsi reses atau kegiatan jaringan aspirasi lainnya berbasis face to face dan sebagai penyalur informasi sekaligus branding program politik.  

Pada hakikatnya, bagaimanapun gaya atau model komunikasi politik yang digunakan oleh para aktor politik, dalam hal ini adalah lembaga perwakilan, pertama dan yang paling penting adalah pesan yang disampaikan mampu diterima dan dipahami dengan baik oleh desired audience. McNair tahun 2011, "... -- and potential for communicative effectiveness -- only to the extent that they are reported and received as messages by the media audience". Apabila berbasis pembahasan sebelumnya terkait kendala atau tantangan masing-masing komunikasi politik yang dilakukan oleh wakil adalah pemahaman konstituen terhadap informasi yang ingin disampaikan, hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi komunikasi politik wakil belum mampu berjalan dengan baik dan seimbang. Bagaimanapun pula, tujuan adanya fungsi komunikasi politik dalam sistem adalah mengupayakan setiap pesan yang ditransfer dapat sampai sesuai dengan relevansi pesan yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, pemahaman konstituen perlu menjadi pertimbangan bagi para wakil untuk menentukan strategi komunikasi politik yang tepat dan disesuaikan dengan faktor-faktor pengiring dalam kultur masyarakat tersebut, seperti strategi dakwah Sunan Kalijaga dengan memanfaatkan pertunjukan wayang sebagai sarana yang mudah dan disukai oleh masyarakat awam. 

Kesimpulan 

Dengan beberapa model komunikasi politik, lembaga perwakilan politik harus mampu menentukan strategi yang tepat agar pesan atau informasi mampu diterima dan dipahami oleh audiens sasaran atau terwakil. Efektivitas komunikasi politik menentukan keberlangsungan jalinan relasi antara wakil dan terwakil. Melalui perkembangan kecanggihan sains dan teknologi, strategi komunikasi politik dapat dilakukan lebih variatif dan interaktif agar pusat informasi dengan mudah didistribusikan baik secara top down maupun bottom up. Selain itu, pemahaman wakil dalam mengenali kultur setiap konstituennya juga mampu menjadi salah satu metode untuk menciptakan komunikasi politik yang mudah dipahami dengan asumsi kultur merupakan sebuah kebiasaan secara terus-menerus dilakukan. Dengan demikian, proses inovasi komunikasi politik menjadi tantangan yang harus senantiasa dilakukan oleh wakil karena fungsi komunikasi ini pula yang akan menentukan kelayakan suatu wakil terhadap akuntabilitasnya terhadap terwakil. 

Referensi

Afib, R. (2011). Gaya Komunikasi Politik Pimpinan Dprd Provinsi Jawa Tengah Pada Saat Reses Tahun 2010 (Doctoral dissertation, Master Program in Communication Science).

Budiardjo, M. (2007). Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama.

FIRMANSYAH, R. (2022). STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK ANGGOTA DPRD DALAM MELAKUKAN RESES DI DAERAH PEMILIHAN 3 KABUPATEN LIMA PULUH KOTA PROVINSI SUMATERA BARAT (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Fitriyah, Astuti, P., Erowati, D., Herawati, N. R., & Harsasto, P. (2020). MENJADIKAN PEMILIH PEREMPUAN KOTA SEMARANG YANG CERDAS MEMILIH DALAM PEMILU SERENTAK 2019. JURNAL PENGABDIAN VOKASI, 1(3).

Haboddin, M. (2015). Menghadirkan Pemilih Pemula Cerdas Pada Pemilu 2014. Jurnal Transformative, 1(1).

Hery, P. (2015). STRATEGI TELEVISI LOKAL, MEMBENTUK OPINI PEMILIH PEMULA DENGAN CERDAS. JURNAL INTERAKSI, 4(1).

Mcnair, B. (2018). An introduction to political communication. Routledge, Cop.

Samosir, O. (2021). SISTEM PERWAKILAN POLITIK DI ERA MODERN. UKI Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun