Mohon tunggu...
Alya nur Hikmah
Alya nur Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Perkembangan Sosial-Emosional Menurut Erik Erikson

1 Juni 2024   12:13 Diperbarui: 1 Juni 2024   12:19 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan sosial mengacu pada kemampuan anak dalam berinteraksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan masyarakat luas agar berhasil beradaptasi dengan harapan negara dan bangsa. Perkembangan sosial ini mengikuti  pola perilaku sosial. Pola ini berlaku untuk semua anak  dalam suatu kelompok budaya.

Perkembangan ini dimulai ketika bayi sudah mampu berinteraksi dengan anggota keluarga. Pengalaman sosial sejak dini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kepribadian anak di masa depan.

Pembangunan sosial ini menyangkut dua aspek penting, yaitu kompetisi sosial (kemampuan anak beradaptasi  secara efektif terhadap lingkungan) dan tanggung jawab sosial (komitmen anak terhadap tantangan, menghargai perbedaan individu, dan perhatian terhadap lingkungan).

Emosi adalah emosi yang ada dalam diri manusia, seperti senang atau sedih,  baik atau buruk. Menurut E. Mulyasa (2012) dalam Ginawati (2017), emosi adalah  keadaan atau perasaan yang berfluktuasi dalam diri seseorang, diwujudkan dan diungkapkan melalui wajah dan tindakan, serta sebagai adaptasi internal (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan kerjanya. Mencapai kebahagiaan dan keamanan pribadi.

Menurut Shapiro (1999), Putra dan Duilstari (2013: 50) mengajarkan kecerdasan emosional  sejak dini agar anak tumbuh menjadi orang yang dewasa, bertanggung jawab, dan mampu memecahkan masalah. Selain itu, anak dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dapat lebih bahagia, lebih percaya diri, dan berprestasi lebih baik di sekolah.

Kecerdasan emosional memainkan dua peran penting bagi anak (Putra dan Dwilestari, 2013: 50-51). Pertama, hal ini mempunyai peran penting dalam cara kita memanusiakan anak-anak dan kehidupan mereka. Kedua, peran fungsional berkaitan dengan bagaimana menggunakan kecerdasan emosional di kehidupan sehari-hari.

Perkembangan sosial emosional erat kaitannya dengan interaksi atau interaksi dengan objek lain. Tanpa adanya interaksi yang baik maka tumbuh kembang anak tidak akan optimal, dan kebanyakan orang tua kurang memperhatikan hal ini kepada anaknya, padahal perkembangan sosial dan emosional setiap anak berbeda-beda. Dalam hal ini, peran pendidik dalam memahami perkembangan sosial dan emosional anak serta membantunya berhasil mengembangkan keterampilannya sangatlah penting.

Teori Perkembangan Sosial Erik Erikson. Erik Erikson lahir di Frankfurt pada tahun 1902. Ia adalah pengikut aliran psikoanalisis Sigmund Freud, yang kemudian menjadi teori Neo-Freudian (psikoanalisis berdasarkan hubungan sosial). Ia percaya bahwa setiap orang memiliki masalah dalam menemukan identitasnya di setiap tahap kehidupan. Sebab jati diri berarti pengertian dan penerimaan, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat.

Menurut Erikson, masyarakat memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan psikososial  individu. Peran ini dimulai dari pola pengasuhan hingga aturan dan budaya masyarakat. Dibawah ini adalah tahapan perkembangan psikososial seseorang :

1. Kepercayaan dan ketidakpercayaan (0-1 tahun).

Pada tahap ini, orang lain, misalnya anak, harus belajar membangun kepercayaan pada ibu. Jika ada yang tidak beres pada tahap ini, anak akan tumbuh menjadi mudah cemas.

2. Malu dan ragu-ragu (1-3 tahun).

Pada tahap ini, anak mulai belajar kemandirian (otonomi), seperti makan dan minum sendiri. Jika anak tidak berhasil pada tahap ini, ia akan mengembangkan kepribadian pemalu dan selalu ragu-ragu dalam melakukan apa pun, karena ia akan selalu mendapat teguran keras dalam proses belajar.

3. Spontanitas dan rasa bersalah (usia 3-6).

Pada tahap ini anak mulai mengembangkan gagasan (inisiatif) dalam bentuk gagasan sederhana. Jika gagal pada tahap ini, anak akan terus merasa bersalah dan tidak bisa mengekspresikan diri.

4. Bekerja keras dan merasa rendah diri (usia 6-12 tahun).

Pada tahap ini, anak mulai bekerja keras agar berhasil menyelesaikan tugasnya. Jika Anda tidak berhasil pada tahap ini, Anda akan berakhir menjadi pribadi yang rendah diri (inferioritas) dan tidak mampu menjadi pemimpin di masa depan.

5. Kebingungan Identitas vs. Identitas (usia 12-19).

Pada tahap ini, individu mencari identitas aslinya. Jika Anda gagal pada tahap ini, Anda akan merasa tidak lengkap.

6. Keintiman vs. Isolasi (usia 20-25).

Jika dia gagal pada tahap ini, dia akan merasa hampa dan kesepian.

7. Generativitas vs. Stagnasi (usia 26-64).

Jika ia tidak berhasil pada tahap ini, ia akan bosan dan tidak dapat berkembang lebih jauh.

8. Integritas dan tekad (65+).

Pada tahap ini, individu merefleksikan segala sesuatu yang telah mereka lakukan dan capai dalam hidup mereka.

Keberhasilan pada tahap ini  akan menghasilkan kejujuran (penerimaan terhadap kekurangan, kisah hidup, dan kebijaksanaan), sedangkan kegagalan akan menghasilkan penyesalan atas apa yang terjadi dalam hidup seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun