Mohon tunggu...
Alya NurfakhiraZahra
Alya NurfakhiraZahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Journalism Student

Undergraduated Journalism Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Wisata Bencana di Tengah Trauma: Masih Pantaskah?

31 Desember 2022   16:52 Diperbarui: 31 Desember 2022   17:03 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Dilansir Kompas.com gempa bumi berskala 5,6 M mengguncang Cianjur pada Selasa (22/11/22) dan meninggalkan trauma mendalam bagi korban. Terdapat 329 orang meninggal, 11 orang masih dalam tahap pencarian hingga Jumat (2/12/22). Bantuan demi bantuan terus berdatangan guna menolong masyarakat Cianjur yang terdampak. Namun, di tengah suasana duka ada satu tulisan sederhana, tapi terkesan tegas yang mencuri perhatian masyarakat di sekitarnya.

Ini bukan wisata bencana!

Kalimat pendek tersebut terukir jelas di sebuah papan kayu yang berdiri di sisi Jalan Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Bagaimana bisa di tengah trauma mendalam yang membekas di ingatan korban, masih ada oknum yang memanfaatkannya sebagai konten di media sosial? Menukar kesedihan dan trauma korban dengan keuntungan pribadi. Tentu saja, hal tersebut bukanlah tindakan etis karena bagaimanapun korban masih belum pulih dari  luka pasca gempa. Belum lagi, beberapa di antaranya baru saja kehilangan keluarga dan tempat tinggal.

Masyarakat dari berbagai daerah berdatangan ke lokasi bencana Cianjur dengan dalih membantu para korban padahal ada udang di balik batu. Mereka tidak memiliki niat tulus untuk membantu korban, melainkan hanya ingin mencari pengakuan di sosial media dari aksi heroik yang dilakukannya. Hal ini meninggalkan kesan buruk bagi relawan yang memang tulus membantu korban. Mobilitas turut terganggu akibat masyarakat yang terus berdatangan setiap harinya. Alhasil bantuan jadi terhambat dan mempersulit proses evakuasi akibat kemacetan.    

WISATA BENCANA TIDAK SELALU BERAKHIR BURUK

Wisata bencana yang terjadi di Cianjur bukanlah pertama kali karena sebelumnya beberapa daerah bekas bencana di Indonesia juga kerap dijadikan wisata bencana, salah satunya rumah peninggalan Mbah Maridjan selaku juru kunci Gunung Merapi. 

Vacation Ideas (2012) mengatakan bahwa wisata bencana masih berkaitan dengan dark tourism, yaitu kegiatan pariwisata yang pernah dilakukan di tempat-tempat yang pernah terjadi bencana alam, korban perang, bencana buatan, situs peninggalan dan memiliki fungsi pembelajaran dari masa lalu untuk menghindari kejadian serupa di masa mendatang. Sebuah studi yang dilakukan Korstanje dan Tarlow (2013) mengungkapkan bahwa bencana ditransformasikan ke dalam sebuah mediator simbolis dan produk untuk dikonsumsi sehingga dapat membantu pendapatan warga sekitar.

Contohnya dalam Wisata Bencana: Sebuah Studi Kasus Lava Tour Gunung Merapi (2017) yang diterbitkan oleh Zein Mufarrih Mukraf

menjelaskan bahwa wisata bencana di lereng Gunung Merapi dapat mengembalikan ekonomi masyarakat di Dukuh Pangukrejo usai erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Namun, apabila dikaitkan dengan bencana alam gempa bumi di Cianjur yang masih baru saja terjadi, tentu saja wisata bencana dalam waktu dekat bukanlah hal yang etis, tetapi seiring berjalan waktu apabila pemerintah setempat membangun museum khusus memperingati peristiwa tersebut dan bertujuan memberikan edukasi terkait bencana gempa bumi. Ini bisa membantu mengembalikan perekonomian warga Cianjur sekaligus mengenang para korban yang harus kehilangan nyawa akibat peristiwa tersebut.

Dengan demikian, wisata bencana masih menuai pro dan kontra. Sesuai pendapat Ghotam (2015) yang menilai bahwa wisata bencana terkesan eksploitasi, tidak sensitif, dan menjadikan kesusahan orang lain sebagai kenikmatan pribadi, tetapi di sisi lain juga bisa dijadikan sebagai kritik, seperti permukiman warga Cianjur yang tidak tahan gempa.

Alhasil pemerintah membangun rumah para korban dengan menggunakan beton untuk mencegah banyak kerusakan ketika terjadi gempa kembali. Selain itu, juga bisa menarik empati dengan bentuk donasi ataupun dukungan publik.

Jadi, wisata bencana tidak selalu berakhir buruk, tetapi isi dan waktu dalam wisata bencana harus diperhatikan. Kita tidak boleh menjual kisah sedih korban, melainkan memberikan edukasi kepada masyarakat guna mencegah hal serupa di masa mendatang. Waktu yang dipilih juga bukan saat korban masih berduka, tetapi setelah sembuh dan pemerintah melakukan revitalisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun