Mohon tunggu...
Alya Kanahaya Widyatmanto
Alya Kanahaya Widyatmanto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Airlangga jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggunaan Aplikasi Twitter sebagai Media Prejudice di Kalangan Netizen

14 Desember 2024   15:50 Diperbarui: 14 Desember 2024   16:48 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://wallpapers.com/wallpapers/twitter-social-media-app-yqb7un8mfddm3lbg.html

Twitter merupakan salah satu platform media sosial terbesar di dunia, yang telah menjadi tempat untuk mengekspresikan opini, berbagi informasi, hingga membangun komunitas digital. Tetapi, di sisi lain, platform ini juga sering kali menjadi media prejudice ataupun prasangka negatif yang sering kali tidak berdasarkan pada fakta yang ada. Fenomena ini semakin mencuat di tengah kebebasan berbicara yang dilandaskan oleh Twitter, yang sering kali melewati batas etika sosial.

Apa Itu Prejudice?

Prejudice merupakan suatu sikap maupun opini yang terbentuk sebelum mengetahui fakta atau kenyataannya. Di Twitter sendiri, prejudice dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari stereotip terhadap kelompok tertentu, komentar sinis terhadap isu tertentu, hingga penghinaan atau yang biasa disebut cyber-bullying terhadap individu berdasarkan gender, ras, agama, atau ideologi politik.

Twitter sebagai Ruang Prejudice

Twitter di zaman sekarang selain menjadi media informasi, juga berfungsi sebagai tempat masyarakat beropini. Opini-opini tersampaikan dikarenakan Twitter sangat mendukung kebebasan beropini, hal ini memicu dampak positif dan negatif. Positifnya adalah pengguna Twitter dapat beropini sebebasnya tanpa harus berpikir mengenai dampaknya ke kehidupan pengguna lain dengan fitur anonimitasnya. Tetapi hal itu juga membuat maraknya sikap prejudice terhadap suatu fenomena sosial tanpa dukungan dari fakta-fakta yang ada. Oleh sebab itu mari kita bahas apa saja dampak-dampak penggunaan Twitter sebagai media prejudice.  

Polarisasi Sosial


Prejudice yang menyebar di Twitter dapat memicu perpecahan di masyarakat atau yang biasa disebut polarisasi sosial. Polarisasi sosial merupakan suatu fenomena dimana suatu masyarakat terpecah menjadi suatu kelompok-kelompok kecil dikarenakan suatu pandangan yang berbeda. Oleh sebab itu adanya fenomena ini dapat membuat semakin memperburuk situasi dan tidak tercapainya kebenaran, karena prasangka-prasangka yang terus bermunculan hingga berakhir pada main hakim sendiri ataupun tawuran.

Dampak Psikologis


Korban yang terkena prejudice oleh masyarakat netizen di Twitter akan mengalami tekanan mental seperti kecemasan, depresi, atau bahkan trauma akibat serangan verbal yang mereka terima. Hal-hal tersebut bisa saja mengarah pada munculnya rasa dendam dari korban yang menciptakan kriminalitas dan yang terburuk seperti bunuh diri.

Penyebaran Informasi Keliru atau Hoax


Prasangka seringkali didasarkan pada informasi yang kurang akurat. Ketika informasi ini menyebar luas, masyarakat menjadi salah paham pada suatu isu sehingga juga terbawa arus sosial yang menciptakan suatu fenomena seperti FOMO.

Solusi untuk Mengurangi Prejudice di Twitter

Dengan adanya dampak-dampak prejudice diatas. Pastinya kita tidak mau terjerumus pada asumsi-asumsi yang tidak benar. Oleh karena itu, kita sebagai pengguna Twitter haruslah berpikir kritis serta mengecek kembali seluruh informasi yang ada serta fakta yang ada dan memberikan suatu opini yang berlandaskan fakta dan kenyataannya contohnya mulai dari mencari informasi dari sumber yang terpercaya, bersikap netral, berpikir kritis, dan tidak main hakim sendiri. 

Kesimpulan

Twitter memiliki potensi besar untuk menjadi ruang diskusi yang positif dan inklusif. Namun, penggunaannya yang tidak bijaksana sering kali menjadikannya sebagai media prejudice yang memecah belah masyarakat. Penting bagi kita semua, baik sebagai individu maupun komunitas, untuk menggunakan platform ini dengan lebih kritis dan bertanggung jawab. Dengan demikian, Twitter dapat kembali menjadi ruang untuk berbagi informasi, belajar, dan bertukar pandangan secara sehat.

Referensi

Berikut merupakan referensi-referensi terkait artikel ini:  

  1. Flores, R. (2020) 'What Makes Prejudice Trend on Twitter?', Sociological Images. Available at: https://thesocietypages.org (Accessed: 12 December 2024).

  2. Anon (n.d.) 'Prevalence of Prejudice-Denoting Words in News Media Discourse', Academia. Available at: https://www.academia.edu (Accessed: 12 December 2024).

  3. Anon (n.d.) 'The Politics of Twitter: Emotions and the Power of Social Media', Oxford Academic. Available at: https://academic.oup.com (Accessed: 12 December 2024).

Ditulis oleh Alya Kanahaya Widyatmanto dari jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun