Prasangka seringkali didasarkan pada informasi yang kurang akurat. Ketika informasi ini menyebar luas, masyarakat menjadi salah paham pada suatu isu sehingga juga terbawa arus sosial yang menciptakan suatu fenomena seperti FOMO.
Solusi untuk Mengurangi Prejudice di Twitter
Dengan adanya dampak-dampak prejudice diatas. Pastinya kita tidak mau terjerumus pada asumsi-asumsi yang tidak benar. Oleh karena itu, kita sebagai pengguna Twitter haruslah berpikir kritis serta mengecek kembali seluruh informasi yang ada serta fakta yang ada dan memberikan suatu opini yang berlandaskan fakta dan kenyataannya contohnya mulai dari mencari informasi dari sumber yang terpercaya, bersikap netral, berpikir kritis, dan tidak main hakim sendiri.Â
Kesimpulan
Twitter memiliki potensi besar untuk menjadi ruang diskusi yang positif dan inklusif. Namun, penggunaannya yang tidak bijaksana sering kali menjadikannya sebagai media prejudice yang memecah belah masyarakat. Penting bagi kita semua, baik sebagai individu maupun komunitas, untuk menggunakan platform ini dengan lebih kritis dan bertanggung jawab. Dengan demikian, Twitter dapat kembali menjadi ruang untuk berbagi informasi, belajar, dan bertukar pandangan secara sehat.
Referensi
Berikut merupakan referensi-referensi terkait artikel ini: Â
Flores, R. (2020) 'What Makes Prejudice Trend on Twitter?', Sociological Images. Available at: https://thesocietypages.org (Accessed: 12 December 2024).
Anon (n.d.) 'Prevalence of Prejudice-Denoting Words in News Media Discourse', Academia. Available at: https://www.academia.edu (Accessed: 12 December 2024).
Anon (n.d.) 'The Politics of Twitter: Emotions and the Power of Social Media', Oxford Academic. Available at: https://academic.oup.com (Accessed: 12 December 2024).
Ditulis oleh Alya Kanahaya Widyatmanto dari jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga