Sepertinya, dengan pengiriman surat permintaan maaf ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, banyak yang menganggap persoalan buku yang menyebut Pak Ganjar sebagai tokoh yang tidak pernah bersyukur dan tidak pernah salat terbitan Tiga Serangkai, kasus ini lantas menguap dan selesai begitu saja. Padahal, inti persoalannya tidak sesederhana itu.
Terus terang, semula saya hanya mengira kasus penyebutan Pak Ganjar itu hanya persoalan sepele. Tapi setelah melihat postingan-postingan yang berseliweran di media sosial terkait kasus itu, dalam hati saya berkata ini persoalan sangat serius.Â
Terutama setelah melihat unggahan bahwa salah satu pemilik Tiga Serangkai, Syamsu Hidayat adalah simpatisan atau pendukung organisasi yang hendak mengganti ideologi negara kita. Kejadian di salah satu PAUD di Jatim yang karnaval dengan menenteng replika senjata langsung menghantui pikiran saya. Pada tingkatan guru saja, yang secara perekonomian dan jaringan biasa-biasa saja tindakannya sudah senekat itu, apalagi pada tingkatan simpatisan atau pendukung yang ekonominya kuat, pengaruhnya besar serta jaringan yang luas.
Karena ingin tahu sebenarnya seberapa banyak sih buku pelajaran yang diterbitkan Tiga Serangkai, basa-basi saya mencoba searching dan kemudian menemukan laman berikut. Satu persatu saya pelototi penerbit-penerbit yang ada. Dan betapa kagetnya saya, ternyata Tiga Serangkai menjadi salah satu perusahaan yang paling banyak menerbitkan buku pelajaran yang dikonsumsi anak-anak kita.Â
Jumlahnya hampir mencapai seribu. Kondisi ini jelas sangat menyakitkan. Buku-buku itu dibeli menggunakan uang rakyat, tapi di sisi lain sangat terbuka kemungkinan keuntungannya itu justru diperuntukkan bagi pengembangan ideologi terlarang.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ternyata salah satu pondok pesantren terbesar di Jawa Tengah, yaitu Ponpes As Salam Solo, merupakan bagian tak terpisahkan dari Tiga Serangkai. Dengan ideologi yang diusung pemilik Tiga Serangkai itu, bukan hal mustahil pondok pesantren dengan 2.500 santri dan puluhan ribu alumni itu dijadikan ladang untuk memperkuat ajaran yang sesuai ideologi sang pemilik, yang notabene bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Sekali lagi, ini bukan sekadar pencantuman nama Ganjar, yang kebetulan dikonotasikan negatif, tapi lebih jauh dari itu. Ini adalah persoalan penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dengan memanfaatkan buku pelajaran dan pelajar, yang memanfaatkan keluasan jaringan dan ribuan karyawan, yang memanfaatkan ribuan serta puluhan ribu santri.Â
Maka sebenarnya kasus "buku Pak Ganjar" ini merupakan pintu masuk yang tepat bagi pihak berwajib untuk menyelidiki lebih dalam misi terselubung yang sedang diemban Tiga Serangkai, dan utamanya adalah misi pemiliknya, Syamsu Hidayat!
Kenapa persoalan "buku Pak Ganjar" sebagai pintu masuk? Karena kasus buku ini hanya perca kecil dari tumpukan gulungan sikap Tiga Serangkai selama ini terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
Ada tiga pertanyaan yang terbersit dalam benak saya. Apakah keterikatan sang pemilik Tiga Serangkai dengan organisasi terlarang itu jadi benang merah ke mana para karyawannya menentukan sikap? Atau apakah ada kaitannya, ke mana arah setiap buku yang mereka hasilkan serta ke mana keuntungan mereka selama ini dialirkan dengan ideologi yang didukung sang pemilik? Hanya pihak berwajib yang bisa menelisik.
Kita sebagai masyarakat awam, tentu tidak bisa bertindak sewenang-wenang, apalagi menghakimi seseorang. Namun tidak ada salahnya, jika kita menyodorkan semacam data kepada pihak berwenang sebagai pijakan awal untuk mereka bergerak. Karena kenyataan ini sangat meresahkan, bisa jadi anak-anak kita saat ini dijadikan sasaran misi terselubung pemilik Tiga Serangkai yang mendukung ideologi khilafah.Â