Pasal 218 ayat (2) mencantumkan, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Definisi kehormatan atau harkat dan martabat RI-1 dan RI-2 termaktub dalam bagian Penjelasan. Isinya adalah sebagai berikut: Yang dimaksud denganÂ
"menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri" pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Definisi kehormatan atau harkat dan martabat RI-1 dan RI-2 termaktub dalam bagian Penjelasan.Â
Isinya adalah sebagai berikut: Yang dimaksud dengan "menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri" pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah. Sementara itu, Pasal 219 mencantumkan pidana bagi pelaku penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat melalui medium komunikasi. Adapun Pasal 220 menegaskan pemidanaan penghina presiden atau wapres sebagai delik aduan.
Setelah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi aturan ini muncul Kembali, salah satu ancaman hukuman penjara satu tahun apabila penghinaan dilakukan di media sosial. Hal ini membuat masyarakat ramai berpendapat salah satunya adalah tentang penghinaan pada media sosial, karena banyak sekali masyarakat yang mempertanyakan adakah Batasan tertentu terhadap suatu penghinaan, dalam aturan pun tidak jelas bagaimana bentuk penghinaan tersebut. Aturan ini kemudian dikhawatirkan dapat menyerang masyarakat yang memang notabene tidak mengerti tentang literasi media dan berkomentar karena iseng.Â
Atas keterbatasan tersebut aturan ini kiranya dapat dikaji Kembali agar terciptanya masyarakat yang harmonis tetapi terlebih dahulu masyarakat pada umumnya harus mendapatkan edukasi yang baik tentang bagaimana cara yang bijak menggunakan media sosial. Dalam UU No.36 tahun 1999, UU No. 11 tahun 2008, dan UU No. 14 tahun 2008 tentang telekomunikasi pun telah diatur bagaimana telekomunikasi dan keterbukaan publik.Â
Karena luasnya media sosial aturan mungkin menjadi solusi untuk mengurai penghinaan atau hal -- hal negatif dalam sosial media namun perlu juga untuk turun langsung dan menyentuh sisi kemanusiaan dari masyarakat. Hal ini akan membantu membuat masyarakat sadar bahwa kebebasan berpendapat di media sosial memiliki cara yang baik tidak serta merta kebebasan berpendapat lalu memiliki hak untuk berkata apapun di media sosial walaupun itu menyebarkan kata -- kata yang mengandung unsur penghinaan sekalipun.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H