kemudian menurut hanafiyah boleh di nikahi seorang wanita hamil tersebut tetapi harus dengan pria yang menghamilinya.Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendaan pendapat, di antaranya :
1. Pernikahan tetap sah , baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak.
2. Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan.
3. Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan.
4. Â Â Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).
Kemudian adapun meni
4.
Tinjauan Sosiologis:
Secara sosiologis, pernikahan wanita hamil dapat dipahami sebagai fenomena sosial yang kompleks. Praktik ini mencerminkan norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk pandangan terhadap moralitas, keluarga, dan tanggung jawab. Pernikahan wanita hamil di luar nikah dapat memunculkan stigmatisasi dan penilaian moral dari masyarakat sekitar, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hubungan sosial dan identitas individu dalam masyarakat.
Tinjauan Religious:
Dari perspektif agama, pernikahan wanita hamil menimbulkan pertimbangan moral dan etika yang penting. Dalam Islam, praktik ini dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap norma-norma agama terkait dengan hubungan seksual di luar pernikahan. Namun, agama juga menekankan pentingnya belas kasihan, pengampunan, dan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, agama dapat memperbolehkan pernikahan untuk mengakui dan memberikan perlindungan bagi wanita hamil dan anak yang akan dilahirkan.