"Kontekstual, situasional, dan belajar bernegosiasi dengan keadaan, supaya "suara-suara sumbang" di sekeliling kita tetap terdengar merdu lagi syahdu."
Bagian ke empat belas "Ruang, waktu, dan kepercayaan", merupakan bagian yang paling berbeda dari bagian lainnya, karena bagian ini berisi pengalaman pribadi penulisnya, Muthia Sayekti.Â
Dalam bagian ini, penulis mengajak pembacanya untuk memahami bahwa menjadi pendengar yang baik bukan soal menyiapkan diri dengan telinga, hati, dan pikiran yang siap untuk menyimak.Â
Lebih dari itu, menjadi pendengar yang baik artinya juga memberi keleluasaan bagi si pembicara untuk menentukan waktu dan pilihan kata yang tepat. Karena setiap informasi memiliki wewenang untuk disampaikan, didengarkan, dan didiskusikan pada ruang dan waktu tertentu.Â
Bagian ini juga mengajak pembacanya yang sering menjadi tempat curhat/"tong sampah"/pendengar keluh kesah orang lain, untuk menyadari tanggungjawabnya sebagai pendengar dan seseorang yang dipercaya untuk mengetahui sesuatu, sehingga mampu menahan diri untuk tidak balik mengeluh kepada pembicaranya atau untuk tidak mengumbar keluh kesah orang lain kepada khalayak.Â
Pembaca diajak untuk menyadari nilai dari kepercayaan itu sangatlah besar, dan untuk mempertahankannya juga butuh usaha dan kesadaran yang besar pula.
Bagian ke lima belas "Semacam Coretan Senja". Menjadi bagian terakhir dari buku ini, bagian ini berisi ungkapan hati atau mungkin ungkapan rasional penulisnya. Dalam bagian ini, penulis mengungkapkan beberapa pemikiran dan pendapatnya.Â
Salah satunya adalah bagaimana kini ia meyakini bahwa tidak ada solusi yang praktis di dunia ini. Sebab segala sesuatu yang berurusan dengan manusia tidak bisa disamakan dengan permasalahan yang terjadi pada sebuah mesin atau robot yang tersistem.Â
Mesin yang diberi pesan, akan menyampaikan pesan yang serupa pula, sedangkan manusia tentu saja tidak sesederhana itu. Penulis buku ini juga menyampaikan bahwa untuk menjadi pendengar yang baik, dibutuhkan proses yang tentu saja tidak instan dan pasti sangat jauh dari sifat praktis. Karena, mendengarkan tidak sebercanda itu.
Secara tidak sadar, pembaca buku ini telah melakukan salah satu proses menjadi pendengar yang baik. Sebab hasil akhir dari buku ini adalah menyadari bahwasanya mendengar tidaklah sesederhana dan sebercanda yang kita lakukan selama ini.Â
Lebih dari itu, mendengarkan bukan hanya kata-kata yang ada bunyinya dan mampu di tangkap oleh indra pendengaran, akan tetapi memahami apa yang sebenarnya tersirat dari semua itu. Dan dengan mendengarkan orang lain, kita bisa menjadi lebih bijak dalam bersikap.Â