Mohon tunggu...
Alya Assyifa Sagala
Alya Assyifa Sagala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga-21107030039

Be free. Be True. Be You.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Seni Mendengarkan", Memahami yang Tak Tersampaikan

19 Mei 2022   12:07 Diperbarui: 19 Mei 2022   12:12 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi)

"Seni Mendengarkan" adalah sebuah buku dengan ketebalan berjumlah 149 halaman yang ditulis oleh seorang wanita yang lahir di Semarang, bernama Muthia Sayekti. Terdiri dari 15 judul besar, buku ini bukanlah jenis buku yang berisi panduan praktis atau sistematis untuk melakukan sesuatu. Buku ini lebih masuk ke dalam kategori buku yang berisi kisah-kisah yang mengajak dan memberikan ruang kepada pembacanya untuk berdiskusi dan merefleksikan diri.

Dalam bagian pertama "Arti Penting Mendengarkan", Muthia Sayekti mengajak pembaca bukunya untuk memahami lebih jauh dan melihat "Mendengarkan" dari perspektif yang berbeda. Dalam hal ini, Muthia mengkorelasikan "Mendengar" dengan "Membaca", dimana keduanya bukan sekedar dibunyikan dan ditulis untuk didengar dan dibaca, namun juga untuk dipahami.

(Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi)
(Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi)

Dalam judul kedua, banyak menyangkut terhadap pola pikir anak dan anak muda sekarang, yang salah mengartikan independent menjadi kebebasan. Padahal makna sebenarnya dari independent adalah merdeka, dimana manusia berjalan bersama tanggung jawab yang banyak, berat, dan pastinya tidak mudah.

Kemudian dalam bagian/judul ketiga "Mendengarkan dan Konsep Pemikiran Tradisional", Muthia menjabarkan berbagai defenisi dasar dari mendengarkan, yang kemudian setelahnya Muthia mengajak pembacanya untuk memahami dan merefleksikan diri dari dua kisah yang diangkat, yang inti dari keduanya adalah untuk bisa melihat dan memahami kemungkinan-kemungkinan lainnya dari apa yang tidak didengar dan untuk tidak terpaku pada sesuatu yang hanya didengar. 

Seperti salah satunya, kisah berjudul "Kasih Berbalas Kesah" yang menceritakan tentang konflik batin antara ayah yang mementingkan pendidikan dengan anak perempuan berusia 25 tahun yang ingin segera menikah. 

Dimana dalam kisah ini, si ayah tidak menyampaikan seluruh maksud hatinya yang sebenarnya ingin sekali anaknya menyelesaikan terlebih dahulu pendidikannya selagi masih ada waktu dan kesempatan, sebab jika sudah menikah akan banyak hambatan yang pasti akan menghampiri. 

Sementara si anak hanya tahu bahwa ayahnya ingin dia melanjutkan pendidikannya, itu saja. Alhasil, karena si ayah tidak mengkomunikasikan maksudnya yang sebenarnya, dan si anak tidak ingin atau tidak mampu melihat maksud lainnya dari si ayah, dan hanya terpaku pada satu hal, akhirnya terjadi kebekuan dan kerenggangan antara hubungan ayah dan anak tersebut.

Dalam bagian ke tiga belas "Salah Paham", Muthia mengajak pembacanya untuk memahami dan menyadari potensi dari kegagalan dalam mendengarkan, yang mampu menghadirkan kesalahpahaman dan ketidaknyamanan. Muthia juga mengajak pembacanya untuk merefleksikan diri yang sering menunda-nunda menyelesaikan masalah dan ogah melihat pesan-pesan tersirat yang ada, karena keegoisan dan rasa tidak enakan. 

Padahal sejatinya, mendengarkan bukanlah proses yang sebercanda itu, tapi bukan juga sesuatu yang harus dibawa terlalu serius. Mendengarkan itu ada proses fleksibel. Seperti dalam kalimat terakhir bagian ini:

"Kontekstual, situasional, dan belajar bernegosiasi dengan keadaan, supaya "suara-suara sumbang" di sekeliling kita tetap terdengar merdu lagi syahdu."

Bagian ke empat belas "Ruang, waktu, dan kepercayaan", merupakan bagian yang paling berbeda dari bagian lainnya, karena bagian ini berisi pengalaman pribadi penulisnya, Muthia Sayekti. 

Dalam bagian ini, penulis mengajak pembacanya untuk memahami bahwa menjadi pendengar yang baik bukan soal menyiapkan diri dengan telinga, hati, dan pikiran yang siap untuk menyimak. 

Lebih dari itu, menjadi pendengar yang baik artinya juga memberi keleluasaan bagi si pembicara untuk menentukan waktu dan pilihan kata yang tepat. Karena setiap informasi memiliki wewenang untuk disampaikan, didengarkan, dan didiskusikan pada ruang dan waktu tertentu. 

Bagian ini juga mengajak pembacanya yang sering menjadi tempat curhat/"tong sampah"/pendengar keluh kesah orang lain, untuk menyadari tanggungjawabnya sebagai pendengar dan seseorang yang dipercaya untuk mengetahui sesuatu, sehingga mampu menahan diri untuk tidak balik mengeluh kepada pembicaranya atau untuk tidak mengumbar keluh kesah orang lain kepada khalayak. 

Pembaca diajak untuk menyadari nilai dari kepercayaan itu sangatlah besar, dan untuk mempertahankannya juga butuh usaha dan kesadaran yang besar pula.

Bagian ke lima belas "Semacam Coretan Senja". Menjadi bagian terakhir dari buku ini, bagian ini berisi ungkapan hati atau mungkin ungkapan rasional penulisnya. Dalam bagian ini, penulis mengungkapkan beberapa pemikiran dan pendapatnya. 

Salah satunya adalah bagaimana kini ia meyakini bahwa tidak ada solusi yang praktis di dunia ini. Sebab segala sesuatu yang berurusan dengan manusia tidak bisa disamakan dengan permasalahan yang terjadi pada sebuah mesin atau robot yang tersistem. 

Mesin yang diberi pesan, akan menyampaikan pesan yang serupa pula, sedangkan manusia tentu saja tidak sesederhana itu. Penulis buku ini juga menyampaikan bahwa untuk menjadi pendengar yang baik, dibutuhkan proses yang tentu saja tidak instan dan pasti sangat jauh dari sifat praktis. Karena, mendengarkan tidak sebercanda itu.

Secara tidak sadar, pembaca buku ini telah melakukan salah satu proses menjadi pendengar yang baik. Sebab hasil akhir dari buku ini adalah menyadari bahwasanya mendengar tidaklah sesederhana dan sebercanda yang kita lakukan selama ini. 

Lebih dari itu, mendengarkan bukan hanya kata-kata yang ada bunyinya dan mampu di tangkap oleh indra pendengaran, akan tetapi memahami apa yang sebenarnya tersirat dari semua itu. Dan dengan mendengarkan orang lain, kita bisa menjadi lebih bijak dalam bersikap. 

Sebab sejatinya setiap manusia memiliki ego yang dengannya kita menjadi sosok egois yang enggan memahami apa yang dikatakan orang lain, atau dengannya kita menjadi manusia yang berkonflik dengan diri sendiri dan memendam dendam karena terlalu memenangkan ego orang lain untuk menghindari konflik. Dan dalam proses mendengarkan, kita harus menyelaraskan indra kita yang lain untuk diam sejenak, karena hanya dengan itu kita dapat memahami yang tak tersampaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun