Mohon tunggu...
Alwi Yusran
Alwi Yusran Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lotere, PON dan Pembangunan di Indonesia

25 Maret 2018   12:10 Diperbarui: 25 Maret 2018   12:39 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik semaraknya perhelatan Pekan Olahraga Nasional yang dihelat empat tahun sekali. Tak banyak yang tahu dalam sejarahnya, lotere pernah berperan penting dalam kesuksesan acara PON. Bahkan lebih jauh dari itu secara langsung perjudian telah mengambil peranan penting dalam pembangunan Indonesia.

Jika melihat beberapa atau mungkin tak sampai sepuluh dekade ke belakang, PON pertama tahun 1948 mungkin bisa disepakati sebagai yang paling berkesan dan bersejarah. Karena, yang pertama sewajaranya selalu paling berkesan. Kedua, karena dilaksanakan saat perang kemerdekaan berlangung. Dan ketiga, sebagaimana yang pertama di negeri ini, semuanya segala terbatas, tidak ada medali apalagi piala, bahkan perencanaannya pun hanya 45 hari sebelum hari H. Kala itu, acara dilaksanakan di Solo.

Surabaya pun tak ketinggalan membuat memorabilia yang pertama di rezim Orde Baru. Pada awal rezim orba, kondisi ekonomi dan poltik belum sepenuhnya stabil. Membuat pemerintah Surabaya menjadikan lotere sebagai perjudian resmi , program itu  dinamakan LOTTO (Lotere Totalisator).

Selalu menarik bahwa perjudian kini selalu dilabeli dengan stigma negatif. Tentu seperti itu, karena hal ini pastinya bertentangan dengan KUHP, agama juga budaya. Namun siapa sangka, perjudian memang benar telah ikut andil dalam pembangunan negeri. Dalam waktu hanya 8 bulan terhitung sejak LOTTO berjalan, sebuah stadium dapat berdiri megah di tanah Kecamatan Tambaksari, Surabaya. Stadium itu  dinamakan Stadium Tambaksari yang sekarang kita kenal pula dengan nama Stadium Gelora 10 November. Tak sampai disitu, dana LOTTO pun digunakan untuk memperlebar Jalan Raya Darmo menjadi jalan protokol dengan menghilangkan jalan trem kota.  

Surabaya dengan LOTTO-nya, bukanlah satu-satunya yang melegalkan perjudian. Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, acapkali, sering atau mungkin lebih dikenal dengan kebijakan kontroversial-nya. Demi membangun Jakarta lebih baik dan didasari anggaran Pemda yang tak memungkinkan, Bang Ali berani melabrak nilai-nilai moral kemasyarakatan dan agama.  

Di bawah payung kekuasaannya dilakukan pengembangan hiburan malam , pembangunan Kompleks Kramat Tunggak sebagai lokalisasi pelacuran, juga penarikan pajak perjudian untuk pembangunan kota. Namun, di bawah pemerintahannya patut di garis bawahi pula bahwa Jakarta harus berterimakasih dengan percepatan pembangunan infrastukur. Hasilnya tentu luar biasa, anggaran pembangunan DKI yang semula 66 juta melonjak tajam hingga lebih dari 89 miliar dalam 10 tahun. Sekolah, puskesmas, jalan, pasar dan infrastukur lainnya dibangun tak lain dari hasil perjudian. Pertanyannya, masihkah mungkin perjudian dilegalkan?

"Ya! Saya tahu judi itu haram. Tapi kita harus memikirkan masyarakat kecil. Demi judi, saya rela masuk neraka. Tapi saya yakin Allah mengerti apa yang saya perbuat. Saya jengkel dengan orang-orang yang mengaku Islam itu. Mereka merasa dirinya malaikat. Mereka masih berpikir seperti abad ke-15" kata Bang Ali dalam salah satu wawancaranya dengan Tempo.

Di lain sisi juga di lain tahun, seorang Suyud dan Liem Dat kui, pedagang sayur, pada 2006 divonis 4 bulan satu minggu dibui karena tertangkap berjudi di pasar dengan barang bukti hanya 58 ribu. Liem Dat Kui berdalih, sebagai Tionghoa, berjudi merupakan bagian dari tradisi dan semestinya mendapatkan perlindungan hukum. Begitupula etnis Batak, Manado dan Ambon yang meyakini berjudi adalah bagian dari tradisi.

Farhat Abbas, yang menjadi pengacara kasus tersebut, pada akhirnya mengajukan judical review. Mahkamah Konstitusi diminta mencabut larangan berjudi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang tentang Penertiban Perjudian. Sebab, larangan itu dinilai diskriminatif karena Undang-undang Dasar 1945 menjamin persamaan dan kesempatan bagi tiap warga negara.

Dalam UU Penertiban Perjudian No 7/1974 yang terdiri atas 5 pasal, disebutkan perjudian adalah bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Namun, menurut Farhat Abbas, belum ada riset yang menyimpulkan bahwa perjudian bisa mengakibatkan ambruknya mental, budaya, dan perekonomian bangsa. Sebaliknya, negara yang melegalkan perjudian justru terbukti meningkatkan popularitas, perekonomian, devisa, pariwisata, dan membuka lapangan kerja.

Ketika kepentingan tradisi, agama, ideologi dan kepentingan pembangunan tumpang tindih dan inheren satu sama lain, tentunya akan memunculkan polemik baru ke mana birokrasi akan dituju. Tentu, pengambilan pajak dari perjudian adalah sebuah langkah progresif menuju percepatan pembangunan. Bukan pula tujuan pembangunan nasional (menurut GBHN 2009-2014) adalah tak lain untuk melindungi hak asasi manusia? Namun perlu juga diingat bahwa Indonesia sebagaimana yang kita tahu bukanlah negara sekuler.Di lain sisi, Pancasila hadir sebagai ideologi bangsa. Pertanyaannya, sekali lagi, apakah judi perlu dilegalkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun