Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas (Bab 11)

5 Juni 2019   07:14 Diperbarui: 5 Juni 2019   08:03 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sinar matahari pagi mulai menyinari kamar Melani melalui celah jendela yang tertutup tirai. Berkas-berkas cahayanya menyorot wajah Ari yang masih terlelap di atas kasur. Lama kelamaan, Ari terjaga dari tidurnya. Ia membuka kedua kelopak matanya.

Mata Ari langsung memicing melihat sinar mentari pagi yang menyinari wajahnya. Ari menghalaunya sesaat. Ia berbalik ke kanan ingin mengucapkan selamat pagi pada Melani.

Namun ternyata Ari tak menemukan Melani di sana. Ia hanya melihat jaket hitam milik Yandi yang Ari pinjamkan kepada Melani terlipat rapi di atas kasur. Ari mengecek ke sisi kirinya. Melani juga tidak ada. Ari pun tersadar bahwa dirinya terbaring di atas kasur seorang diri.

Ari bangkit dari posisi tidurnya. Ia memandang ke seisi kamar. Dirinya tak menemukan Melani di sana.

Ari bergegas memakai baju serta celananya yang diletakkan di bawah kasur. Ia turun dari atas kasur lalu berjalan menuju bilik kamar mandi. Ari membuka pintu kamar mandi.

"Melani?"

Ternyata Melani juga tidak ada di sana.

Ari mulai bingung. Ia kembali mengamati ke sekeliling ruangan. Kamar itu terlihat bersih dan rapi. Koper merah milik Melani pun tidak ada. Ari segera mengecek ke dalam lemari. Kosong.

Pikiran Ari mulai kacau. Ia keluar dari kamar. Ari menjelajahi seisi penginapan untuk mencari Melani. Ia tak henti-hentinya memanggil nama Melani. Namun hasilnya nihil. Ia tidak menemukan Melani dalam penginapan tersebut.

Dengan pakaian seadanya, Ari keluar dari gedung penginapan. Ia berdiri di atas trotoar yang ramai oleh pejalan kaki. Jalanan pun ramai akan kendaraan bermotor.

Di tengah kerumunan orang-orang yang lalu lalang melewatinya, Ari nampak kebingungan. Raut wajahnya cemas. Ia tak dapat menemukan Melani dimana-mana. Apakah ia pergi?

Ari menjambak rambutnya sendiri. Tidak. Tidak. Ia tak mungkin pergi. Ia sudah berjanji untuk tetap tinggal. Ari semakin hilang. Pandangannya kacau. Ia melihat orang-orang memandangi dirinya dengan tatapan aneh. Ari merasa pusing.

Di tengah ketidakpastian itu, Ari memegangi kepalanya. Ia merendah lalu bersimpuh di atas trotoar. Ari semakin mendengar suara bisik-bisik orang yang mengganggu. Ia tak tahan. Ia benar-benar tak tahan.

---

Pintu kamar penginapan Melani terbuka kembali. Ari melangkah masuk dengan gerakan yang gontai. Wajahnya kusut. Ia seperti kehilangan semangat hidup.

Ari kembali duduk di tepi kasur. Ia termenung. Memikirkan kemana perginya Melani. Apakah Melani benar-benar meninggalkan Ari?

Di belakangnya, Ari melirik jaket Yandi berwarna hitam yang terlipat rapi di atas kasur. Ari ingat. Dirinya lah yang meminjamkan jaket tersebut kepada Melani agar selama berada di Artapuri, Melani selalu mengenakan jaket itu.

Ari meraih jaket tersebut. Ia menggenggamnya erat. Ari mencium jaket itu. Ia merasakan aroma tubuh Melani masih menempel di sana. Tanpa sadar, Ari menitikkan air matanya.

Ari merasa sedih sesedih-sedihnya. Ia pikir, ia telah menemukan seseorang yang tepat untuk berbagi penderitaan hidupnya. Namun ketika tinggal selangkah lagi, orang itu pergi meninggalkannya tanpa kepastian.

Hati Ari hancur lebur. Ia semakin memeluk erat jaket tersebut. Ia sungguh berharap Melani kembali. Ia ingin menjalani hidupnya dengan wanita itu. Cuma Melani yang Ari mau.

Harapan Ari untuk hidup bersama Melani pupus sudah. Rencana yang ia katakan padanya untuk membuka bar di Bali buyar sudah. Menyisakan serpihan-serpihan kerinduan yang menyakitkan bila Ari ingat kembali.

Mengapa? Mengapa? Ari masih terus bertanya dalam hati. Kalau memang Melani tak ingin bersama Ari, mengapa ia memberi Ari harapan?

Kalau memang semua itu karena suaminya yang abusif, seharusnya Melani berani mengambil langkah tegas untuk meninggalkannya. Ari yakin ia bisa menjadi lelaki yang lebih baik dari suaminya. Ia bisa menjadi ayah yang baik bagi anak kembar Melani. Namun mengapa Melani tak memberikan kesempatan untuk membuktikan hal itu?

Ari menangis tersedu-sedu. Ia seperti diberi harapan tinggi lalu dihempaskan begitu saja. Ari sangat terpukul atas kepergian Melani. Ia membenamkan wajahnya ke atas kain jaket lalu memekik pilu sekencang-kencangnya.

---

Kucuran air shower membasahi tiap jengkal tubuh Ari. Tetes demi tetesnya mengalir di atas kulit Ari yang licin.

Ari berdiri mematung. Tatapan matanya benar-benar kosong. Ia merasa seperti ada yang hilang dalam hidupnya. Mungkin separuh jiwanya yang baru ia temukan kembali pergi.

Padahal Ari sempat berpikir bahwa dirinya akan bisa berubah. Bersama Melani, Ari menjadi percaya diri. Ia membangkitkan semangat Ari yang sempat padam.

Namun kini Melani telah pergi. Apakah Ari akan kembali menjadi Ari yang dahulu? Yang selalu bermuram durja dan tidak memiliki semangat hidup?

Ari masih belum dapat menjawab pertanyaan itu.

---

Tepat di depan cermin meja rias di kamar penginapan Melani, Ari memandangi tubuhnya yang telanjang bulat. Ari mengamati tiap detil bagian tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Ari mencari jawaban kemanakah ia akan membawa tubuhnya setelah ini? Apakah ia akan kembali masuk ke dalam jurang kesedihan, atau justru bangkit dan mencoba berjalan ke tempat yang baru?

Dari bayangan yang terpantul di cermin, Ari memandangi wajahnya yang basah kuyub. Sedetik kemudian ia tersenyum lebar. Sedetik kemudian, senyum berubah menjadi datar kembali. Sedetik lagi, Ari memasang wajah sedih, Tak lama kemudian ia kembali mendatarkan ekspresinya.

Telah banyak ekspresi wajah yang Ari rasakan selama sepekan belakangan ini. Senang, sedih, marah. Manis, pahit, asam. Ari merasa hidupnya lebih berwarna. Ia melupakan hidupnya yang monoton dan membosankan yang ia jalani selama hampir 3 tahun terakhir ini. Dan Ari menyukai itu.

Ari tak dapat memungkiri bahwa Melani telah mengembalikan hidupnya yang sempat terenggut. Permasalahannya sekarang adalah dengan perginya Melani, apakah hidup Ari juga akan ikut pergi? Ari pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan saat kehilangan orang tuanya. Kini, apakah ia akan melakukan hal yang sama setelah kehilangan Melani?

Sekali lagi Ari memperhatikan tubuhnya. Inikah yang Ari inginkan? Menyiksa tubuh ini lebih dalam lagi?

Tidak. Ari tidak mau lagi. Ia tidak mau kembali ke bab-bab sedih dalam hidupnya. Ia harus melangkah maju. Bukankah itu yang ia katakan pada Melani sewaktu mereka bertengkar soal makam ayahnya?

Tekad Ari sudah bulat. Ia bukan lagi Ari yang dulu. Yang dengan mudah terpatahkan. Ia adalah sosok yang berbeda sekarang. Berkat bantuan dari Melani, Ari kembali menemukan kepercayaan dirinya.

Ari percaya bahwa Melani hadir dalan hidupnya untuk menyalakan kembali api kehidupan dalam dirinya. Jika ia kembali bersedih setelah Melani pergi, maka kehadiran Melani akan menjadi sia-sia. Ari tak mau itu. Ia tetap harus menjalani hidup.

Tatapan mata Ari menyorot tajam ke arah mata bayangannya yang terpantul di cermin. Ia telah membuat keputusan. Setelah ini, ia akan mengatur hidupnya kembali. Sebelum itu, ada satu hal yang harus Ari selesaikan terlebih dahulu.

---

Pintu rumah terbuka perlahan. Ari masuk ke dalam dengan pelan-pelan. Suasana ruang tamu rumah nampak sepi. Mungkin karena ini Hari Minggu jadi Tomas dan Rita tidak berangkat kerja.

Setelah menutup pintu, Ari berjalan menuju tangga. Ketika melewati pintu ruang makan yang terbuka, Ari menoleh. Ia mendapati Rita masih terlelap di atas kursi meja makan.

Terlihat oleh Ari wajah Rita yang sembab. Kantung matanya membesar. Sepertinya Rita menangis semalaman. Menangisi siapa lagi kalau bukan Ari?

Hati Ari tergerak. Ia berjalan menuju Rita. Ari menepuk pundak Rita pelan.

Rita pun terjaga dari mimpinya. Ia langsung menoleh ke arah Ari. Seketika hati Rita meleleh memandangi wajah keponakannya. Tangis Rita langsung pecah. Ia berdiri lalu memeluk tubuh Ari.

"Ari!!!" seru Rita.

Ari membalas pelukan tubuh Rita. Seketika ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasanya seperti.... Ari memeluk ibunya sendiri! Ari sampai tak mampu berkata-kata.

Rita tak henti-hentinya menangis, begitu pula Ari. Ia turut menumpahkan air matanya. Mereka terus berpelukan erat.

"Maaf... Maaf..."

Tak banyak yang dapat Ari ungkapkan selain kata maaf bagi Rita. Mereka berdua membisu dalam tangis. Hanya butiran air mata mereka yang mampu menjelaskan perasaan mereka saat ini.

---

Jari telunjuk Ari menekan sebuah tuts piano. Disambung dengan kelingkingnya yang menekan tuts berbeda. Dua not tersebut mengawali serangkaian intro lagu bernada jazz ballad.

Di baris kedua, sang pemain gitar akustik mulai memetik gitar. Suaranya berpadu dengan dentingan piano Ari. Harmonisasi keduanya terasa tenang dan menyejukkan.

Dalam tiga hentakan, sang penyanyi wanita mulai melantunkan suara emasnya menyanyikan sebuah lagu.

"Wajahmu kupandang dengan gemas

Mengapa air mata slalu ada di pipimu

Hai nona manis biarkanlah bumi berputar

Menurut kehendak yang kuasa"

Para pengunjung bar melambaikan tangan mereka mengikuti irama lagu ke kanan dan kiri. Sang gitaris kembali memetik senar dengan penuh penghayatan. Begitu pula dengan Ari yang terlihat menikmati musik yang ia bawakan.

"Apakah artinya sebuah derita

Bila kau yakin itu pasti akan berlalu

Hai nona manis biarkanlah bumi berputar

Menurut kehendak yang kuasa"

Senyum di wajah Ari mengembang. Tak ada lagi beban dalam hatinya. Ari seperti sudah mengikhlaskan semuanya. Ia pun sudah tahu mau dibawa kemana hidupnya sekarang.

"Tuhan pun tau hidup ini sangat berat

Tapi takdir pun tak mungkin slalu sama

Coba-coba lah tinggalkan sejenak anganmu

Esok kan masih ada... uuu... esok kan masih ada"

Suara saxophone masuk setelah si penyanyi jeda. Nada-nada yang tercipta terdengar sangat berkelas dan mahal. Mendayu-dayu seperti mengajak pendengarnya berenang di antara sungai yang mengalir jernih. Sang saksofonis benar-benar mempertunjukkan keahliannya dalam meniup alat musik tersebut.

Selanjutnya giliran sang gitaris yang unjuk gigi. Diiringi oleh latar suara piano Ari, ia melakukan typing yang rumit. Petikan demi petikan terdengar syahdu. Gitaris tersebut melangkah ke arah Ari yang masih bermain piano. Mereka berdua berkolaborasi bersama.

"Apakah artinya sebuah derita

Bila kau yakin itu pasti akan berlalu

Hai nona manis biarkanlah bumi berputar

Menurut kehendak yang kuasa"

Penyanyi itu kembali mendendangkan lirik lagu. Suaranya yang merdu seakan menghipnotis para pengunjung bar. Ari pun turut larut dalam lagu. Tak henti-hentinya ia tersenyum bahagia.

"Tuhan pun tau hidup ini sangat berat

Tapi takdir pun tak mungkin slalu sama

Coba-coba lah tinggalkan sejenak anganmu

Esok kan masih ada.. uuuu... esok kan masih ada"

Untuk menutup lagu, Ari dan sang gitaris melakukan freestyle. Keduanya memainkan piano dan gitar dengan sangat cantik sampai not terakhir berbunyi. Semua pengunjung pun bertepuk tangan.

Ari memandangi kerumunan pengunjung Royale Bar. Seperti biasa, mereka terhibur dengan penampilan Ari dan rekan. Di sudut meja bartender pun, Yandi turut bertepuk tangan lalu bersiul menyoraki Ari. Senyum Ari tambah lebar.

Ketika personel lainnya satu per satu mulai turum panggung, Ari menatap sebuah stand mic tertinggal di sana. Ari berpikir sejenak. Ya. Mungkin ia harus melakukan ini. Ari mengangguk. Ia tersenyum sekali lagi lalu berjalan ke arah mikrofon tersebut. Ia pun menggenggam benda itu dengan kedua tangannya.

"Cek... Selamat malam semuanya." kata Ari.

Beberapa pengunjung menjawab sapaan Ari. Yandi di tempatnya merasa ganjil dengan tingkah Ari. Apa yang akan anak itu lakukan?

"Malam, para pengunjung Royale Bar. Sebelumnya perkenalkan, nama saya Ari Pratama. Mungkin kalau kalian sudah sering datang kemari, sering juga melihat wajah saya." kata Ari lalu tertawa kecil. Beberapa pengunjung pun turut tertawa mendengar celotehan Ari.

Ari melepas mikrofon dari tiangnya. Ia menggenggam erat benda tersebut dengan tangan kanannya.

"Saya berterima kasih kepada Yandi karena selama ini saya diperbolehkan main di tempatnya. Dan juga beberapa minuman yang belum kubayar.." Ari menunjuk Yandi. Yandi hanya tertawa renyah, begitu pula dengan pengunjung. "Dan yang paling penting adalah aku belum membayar ongkos bersih-bersih kalau aku mabuk lalu muntah di lantai barnya."

Pengunjung Royale Bar kembali tertawa mendengar lelucon Ari. Yandi hanya menggeleng. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya, Ari memiliki selera humor yang receh. Mungkin semua itu adalah ajaran dari Tomas.

"Dan aku juga berterima kasih kepada kalian semua. Terima kasih sudah menyukai musik yang kubawakan. Aku tahu, tak semuanya bagus. Tapi aku selalu menampilkan yang terbaik untuk menghibur kalian."

Sekali lagi Ari mendapat sambutan tepuk tangan yang hangat yang didahului oleh Yandi. Ari tersenyum. Ia semakin percaya diri melanjutkan pidatonya.

"Terima kasih sekali lagi atas kesempatannya. Penampilan hari ini adalah penampilan terakhir saya di Royale Bar. Karena setelah ini, saya akan fokus untuk mengejar mimpi saya menjadi seorang pianis handal."

Seketika suasana bar hening. Mereka terhenyak saat Ari mengucap kata perpisahan. Begitu pula dengan Yandi. Ia berusaha tersenyum meski dalam hati sedih akan kehilangan pianis terbaik di Kota Artapuri sekaligus temannya.

"Kalau boleh cerita sedikit.. Saya mungkin memiliki perjalanan hidup yang tak mudah untuk dilalui. Yandi tahu semua." Ari menunjuk Yandi kembali. Yandi mengangguk. "Saya kehilangan orang tua saya 3 tahun lalu, selama itu pula saya tidak bisa meneruskan hidup saya. Sampai suatu hari datang lah wanita ini."

Ari memperhatikan wajah para pengunjung yang mulai perhatian dengan kisah yang ia ceritakan. Mungkin ini akan menjadi sedikit kontroversi, khususnya bagi warga Artapuri. Namun Ari merasa harus mengatakannya. Ia ingin orang-orang membuka pikiran mereka. Ia ingin meluruskan hal yang selama ini dianggap tabu di Artapuri.

"Wanita keturunan Tiong Hoa."

Mendengar Ari mengucap kata itu, para pengunjung mulai berdesas desus tak jelas. Namun Ari tetap melanjutkan ucapannya.

"Wanita ini yang membantu saya untuk membuka hati dan pikiran saya untuk mencari arti kehidupan yang sesungguhnya. Hidup tidak hanya berdiam pada satu titik. Tapi makna hidup adalah berpindah dari satu titik ke banyak titik. Dengan begitu kita bisa memiliki banyak sudut pandang akan hidup." Ari maju selangkah. "Saya tidak akan mengubah pemikiran kalian. Saya tahu ada banyak hal mengapa kita sulit untuk menerima orang yang berbeda dengan kita. Namun percayalah, kalau kita mau membuka diri, maka pilihan-pilihan baru akan datang kepada kita. Dan mungkin, di antara pilihan-pilihan tersebut ada yang akan membuat hidup kita menjadi lebih baik."

Suara bisik-bisik di antara pengunjung terdengar lebih kencang.

"Dalam hal ini, saya telah membuktikannya. Tak pernah terbesit dalam pikiran saya bahwa saya akan jatuh hati pada wanita Tiong Hoa ini. Ya, saya mencintainya. Ia telah mengembalikan kehidupan saya yang sempat gelap menjadi terang kembali." Orang-orang mulai gusar dengan kata-kata Ari yang masih sangat sensitif di telinga mereka. Ari melirik Yandi. Yandi hanya mengangguk memberi kode untuk melanjutkan. "Sekali lagi, saya tidak ada niatan untuk mengajari atau menggurui kalian. Saya hanya sekedar sharing cerita yang saya alami. Bahwa kalau kita mau membuka hati kita pada orang yang selama ini kita anggap sebelah mata, kita tak pernah tahu keajaiban apa yang akan menghampiri kita. Kita semua ini sama. Manusia. Kita adalah warga Indonesia. Kita adalah satu keluarga. Keluarga sejati tidak akan menyakiti keluarganya sendiri."

Yandi memberi tepuk tangan paling pertama. Sebagian kecil pengunjung mengikuti aksi Yandi. Mereka salut pada Ari yang berani membicarakan hal seperti ini di depan publik. Sayangnya, beberapa orang yang masih tak terima segera pergi meninggalkan Royale Bar.

Ari memandangi satu per satu pengunjung pergi. Ia menoleh ke arah Yandi. Yandi hanya tersenyum sambil terus bertepuk tangan, seolah tak mempermasalahkan banyak pelanggannya yang pergi. Hingga tersisa beberapa orang yang memang memiliki rasa toleransi yang tinggi.

Ari puas dengan apa yang ia lakukan. Semua yang ia lakukan ini semata untuk Melani dan semua orang yang mendapat diskriminasi di kota ini. Ari ingin masalah rasial di Artapuri cepat selesai. Ia tak ingin ada orang yang menderita lagi seperti yang dirasakan Melani dan keluarganya, atau pun Rita dan Tomas.

Ari telah menyulut semangat perjuangan persamaan hak. Kini ia tinggal melihat bagaimana api akan berkobar. Siapa yang akan terbakar nantinya?

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun