Mohon tunggu...
ALVYNA ROHMATIKA
ALVYNA ROHMATIKA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sebagai penulis, saya adalah kreator berbakat yang menggabungkan kepekaan artistik dengan kecerdasan kata untuk menghidupkan ide-ide menjadi kisah-kisah yang mendalam. Melalui kata-kata, saya membentuk dunia imajinatif yang mengajak pembaca untuk merenung, merasakan, dan terhubung dengan berbagai emosi. Setiap tulisan saya mencerminkan dedikasi pada keindahan bahasa dan kekuatan narasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warna Gulita

4 Januari 2024   18:56 Diperbarui: 4 Januari 2024   18:59 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WARNA GULITA

Karya : Alvyna Rohmatika

           Merah, sebuah warna yang memancarkan keberanian dan kekuatan. Ketika melihatnya, seringkali kita teringat akan konsep kekerasan, api, bahkan peperangan. Namun, tak seharusnya kita terjebak hanya pada aspek gelapnya. Merah memiliki dimensi yang lebih luas, merangkul segala nuansa yang hidup di dalamnya. Ini bukan hanya sekadar warna, tetapi sebuah energi yang menari di antara gairah dan cinta. Merah mengajak kita untuk merayakan semangat hidup, memberikan kehangatan seperti nyala api yang membara. Saat kita melihatnya, kita dihadapkan pada dualitas yang memikat, mempertemukan keberanian dan gairah, menciptakan keseluruhan yang tak terpisahkan. Inilah keindahan merah, dalam keberanian dan kehangatan, serta dalam gairah dan cinta yang meluap-luap.
           Malam semakin larut, suara hujan sangat baik untuk momen malam ini. Rintiknya mengalihkan pendengaran sesiapanya. Sesekali masih terdengar suara saling bercakap. Tapi disisi ada suara tertahan lembut nyaris terbawa angin tak terdengar. Gelap ruangan memang jauh lebih gelap dari pejaman. Tapi sepasang mata itu masih sangat jelas saling memandang. Beradu merah pada gelap yang semakin hitam. Begitulah pesona merah mengalahkan malam, yang terpukau melenyapkan segala praduga keraguan. Menikmati setiap detik malam yang semakin yakin meninggalkan bayangan. Tangannya merengkuh tubuh dihadapannya, keringat dikeningnya mengalir hingga ujung dagu, berakhir menetas tepat dibibirku. Tak ada rasa, tapi bekasnya membasahi seluruh permukaan bibir yang mengering karena hembusan yang tak tertahan keluar dari rongga tenggorokan. Perihnya merajam, tapi rintihnya menagih. Persembahan jiwa melangit mencapai puncaknya masing-masing.
Pagi ini sangat cerah usai hujan semalam. Aroma kayu yang basah akibat hujan semalam memberi suasana yang khas. Di padu aroma wedang yang telah ia siapkan beberapa menit yang lalu sebelum membuyarkan lamunanku.


"Sudahlah, jangan mematung seperti itu.. mari kita duduk!"


Aku duduk dan meraih korek api  lalu kudekatkan pada ujung rokok yang melekat diantara bibirnya. Kunikmati wedang panas itu bersamaan dengan kuhirupnya asap rokok yang keluar bersamaan dengan nafasnya. Nafas seorang pejuang dalam segala medan. Dia adalah macan yang dapat menahan raungannya, tapi juga siap menerkam kapanpun. Kita sering mengahabiskan waktu saat bersama dengan saling menggoda, saling bercerita, atau bahkan saling berselisih.


"Kamu tak akan pernah faham apa yang ada dalam pikiranku saat menunggumu kembali, bahkan aku tak tau apa yang seharusnya aku siapkan untuk menyambut setiap pagi tanpa dirimu disisiku? Aku hanya ingin sebuah pengertian, untuk bisa bagaimana lebih mencintai takdir diri, yang aku hanya akan bisa menjadi bayanganmu bukan matahari yang menghangatkanmu .."


Mendengar ucapanku, ia tak berkata sepatah katapun, kita saling menatap. Tapi pandangannya terlalu jauh seakan tak saling berhadapan. Entah apa yang dipikirkannya. Yang ku tahu aku hanya selalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan takdir yang tak bisa ku cium aroma kedatangannya.


 Dan mungkin, ada sisi kuning yang terasa pahit, yang mendefinisikan sebagai pengecut. Ada sudut pandang yang mencuat, mengaitkan kuning dengan ketidakpastian dan ketidakberanian. Dalam setiap nuansa, kuning merangkum kisah yang kompleks, mewarnai dunia dengan kehangatan, kebahagiaan, tipu daya, ketakutan, dan pengecut. Itulah keindahan kuning, sebuah warna yang tak pernah sepenuhnya terungkap.
Hari bergulir begitu saja, ini tanggal terakhir dipenghujung bulan. Matahari meninggi memberi sinarnya. Daun-daun yang hijau tampak kuning sebab pantulan cahayanya. Diluar terlihat jelas harapan dan pengorbanan dipadu. Aku takut mengakhiri bulan oktober kali ini. Aku takut meragukannya, sebenarnya aku begini hanya untuk menutupi keraguanku sendiri.


"Aku takut sayang.."
"Apa yang kau takutkan, sedang aku akan selalu berusaha agar bisa sering berada disisimu. Bahkan aku juga tak kan meninggalkan hatimu meski kita harus sering menghadapi jeda ."


Ketakutanku tak bisa ia rasakan, ketakutankupun tak bisa ia fahami. Aku takut ia pergi, pergi menjauh dari pandanganku. Aku takut merasa cemburu, cemburu pada sosok perempuan lain yang katanya sendiri ia tak bisa meninggalkan perempuan itu. Aku takut setelah mengakhiri Oktober, aku tak dapat lagi melihatnya. Aku takut, takut sendiri. Sendirian tak bisa membuka hati untuk selainnya. Perasaanku penuh warna tentangnya. Tentangnya yang sekian tahun lebih dari jariku menjalani hidup bersamanya, bukan waktu yang sebentar bertahan hanya untuk menjadi bayanganya. Semua warna keindahan yang kulebur menjadi hitam disetiap malam saat bersamanya. Dia dan aku yang hitam gelap mampu menyajikan pelangi yang indah dalam malam gulita saat bersama.
Didekatkannya aku dengan alam yang hijau, warna yang menggandeng alam dalam setiap hela nafasnya. Ketika kita berbicara tentang arti warna hijau, kita membuka pintu menuju kedamaian dan kesejukan. Seperti menyusuri hutan hijau yang rimbun, warna ini membawa kedamaian yang tak tergantikan. Menariknya, dalam dunia psikologi, hijau tidak hanya sekadar estetika, melainkan penolong setia di tengah badai emosi.  


Pagi ini adalah pagi pertama di bulan November, bulannya para pejuang katanya. Dan katanya, segala apa yang diperjuangkan tak akan pernah berbuah sia-sia. Di pagi yang mendung ini seolah alam tak memberi restu pada para pejuang untuk menjalankan tugasnya. Segala bentuk perjuangan memang sangatlah berat. Dan bentuk perjuangaan juga tak melulu tentang peluru dan senjata. Aku gadis yang dipaksa beradu dengan alam, yang sehari-harinya hidup dengan aroma alam. Tapi saat ini di awal bulan November aku akan memulai masa perjuanganku.


Siapa yang mengira setelah kau memutuskan untuk kembali kerumahmu meski disini juga sangat bisa kau anggap rumah, itu jika kau mau. Pikiranku  selalu mengatakan bahwa kau akan jauh lebih bahagia dengan perempuan itu. Pikiranku juga menayangkan betapa kau juga akan melewati malam-malam yang indah dengan perempuan itu sama seperti saat denganku. Aku, pikiranku, segala hidupku tanpamu berperang melawan cemohan perasaanku sendiri, melawan hujaman cemburu, melawan pukulan rindu, kejamnya lagi melawan ketakutan akan suatu pengkhianatan dalam takdirku. Dan akan menerus berperang melawan itu selama aku tanpamu disini yang terkurung. Berperang melawan ego, melawan rasa, dan melawan akal. Keyakinanku bertahan menahun bersamamu adalah keputusan yang tak kufahami alasannya. Sungguh mungkin aku akan merasa gila jika akan menunggu tanpa tau sampai kapan harus terus menunggu kehadiranmu pulang di Alam ini.
Sesekali aku menghabiskan waktu di stasiun, memilih tempat duduk pengunjung tepat di depan peron pemberangkatan dan pemberhentian sembari melamun mengingat-ingat kembali ucapanmu saat perpisahan kala itu.


"Sayang... dengarkan aku!
Segala tentang keberangkatan dan kedatangan akan selalu diumumkan di stasiun ini. Maka, jika ada keterlambatan perihal kedatangan, announcer akan selalu mengingatkan bahwa setiap penumpang atau pengunjung harap bersedia menunggu. Pun halnya dengan kedatanganku, jika suatu nanti kedatanganku mengalami keterlambatan aku berharap kau bersedia menungguku. Sebab harus kau tahu, setiap langkah pertama aku berpisah denganmu. Pada langka keduaku aku sudah sangat memikirkan bagaimana aku bisa menyingkat perjalanan rinduku dan kembali disisimu."


Kata-kata itu berakhir sembari ia menyodorkan jas kesayangannya padaku. Ya, ia juga mengatakan agar aku menjaga dan menyimpan jas kesayangannya itu. Meskinya ku tahu, ada cerita dibalik jas kesayangan itu. Ia sempat bercerita padaku, bahwa saat perempuan itu berlibur ke Italia ia memberinya oleh-oleh sebuah jas mewah dengan nilai harga yang selangit. Perancang mode asal Italia bernama Nazareno Fonticoli dan Gaetano Savini yang telah aktif memproduksi jas sejak tahun 1945 telah membuat jas yang bernama Brioni Vanquish II, Jas ini dibuat menggunakan serat yang paling langka di dunia, yaitu qiviuk, yang merupakan serat alami yang sangat tidak umum, dan vicuna yang hanya dicukur setiap 3 tahun sekali. Sentuhan kemewahan pada jas ini terletak pada jahitannya yang dilapisi dengan emas putih. Harganya mencapai US$ 43.000 atau sekitar Rp 602.000.000 untuk satu set jas, menjadikannya sebagai produk yang sangat mahal dan eksklusif. Tidak heran jika ia teramat menyayangi jas biru tua berlapis emas itu. Entah karena jas dengan harga selangit berlapis emas atau karena pemberian dari perempuan itu. Maka simpulkan saja, betapa tidak adilnya dunia ini, bahwa aku harus menjaga jas berlapis emas itu karenanya, sedang ia menyuruhku menjaga jas biru tua itu karena pemberian dari si perempuan itu.    

Biru langit dan biru tua, adalah warna satu turunan dari biru. Biru yang menggugah kekuatan dan menyiratkan ekspresi artistik. Biru juga dapat dimaknai sebagai melankolis. Sifat melankolis membuat seseorang menjadi pendiam, murung, dan terkesan sedih. Dalam suasana biru dengan cahaya yang dikurangi, terbentuklah nuansa ketenangan yang membingkai setiap perasaan dan pikiran. Tapi, tak selamanya biru dapat diartikan sebagai warna yang tak menentu.  Biru, warna favorit banyak orang dan terutama disukai oleh para pria, terlihat menjadi pewarna tradisional dan konservatif. Namun, di balik kedamaian dan keamanannya, biru punya kemampuan tak terduga. Meskipun memberikan kesan ketenangan, ketertiban, dan kedamaian, biru juga bisa menimbulkan perasaan sedih dan menyendiri. Begitu juga kehidupan dengan berbagai emosi yang menyertainya. Warna biru, dalam segala kompleksitasnya, menjadi bagian dari narasi tak terbatas, membawa kita berlayar di lautan perasaan yang terkadang dalam birunya, kita menemukan ketenangan, namun juga menyadari keberadaan kesedihan yang mengalir dalam gelombang warna biru yang tak terduga.

Mungkin aku terkurung dalam murung tanpamu, dan hari-hariku berlalu tanpamu. Terkadang ribuan kali aku merasa mati, tapi alam selalu setia mencoba membawa aroma kabarmu. Dan aku selalu percaya pada langit yang biru adalah suatu jawaban dari tiap tanyaku bahwa birunya adalah kabar baikmu. Tapi birunya juga membawa sifat melankoli bagiku, kesendirian ini bukanlah hal yang mudah. Aku rindu meneguk kopi di cangkir bekas bibirmu, aku juga rindu menghirup nafasmu. Bohong sekiranya jika aku mengatakan selain ini, bahwa aku sangat kesulitan hidup tanpa nafasmu, dan dalam hari-hariku aku juga kesulitan menghabiskan waktu tanpa gerakmu ditubuhku.

Malam ini langit tak bisa menyembunyikan birunya, suatu hal yang tak biasa. Tak semestinya langit malam sebiru ini. Kabar apakah ini yang dibawa oleh alam. Dengan tiba-tiba angin malam ini membawa aroma wangi tubuhmu, aroma gairahmu, aroma malam-malam yang biasa kita habiskan bersama. Jam telah menunjukkan pukul dini hari. Tak berkedip aku menatap langit malam ini yang begitu biru. Sesekali gemersik daun mengalihkan pandanganku. Hingga tak sengaja aku melihat Almari tua milik almarhum ibuku yang pernis kayunya memudar dengan gembok pengunci yang tidak lagi berfungsi. Tetiba kakiku melangkah mendekati almari tua itu, yang semakin mendekat aroma kayu yang dipadu lembapnya alam kian memunculkan ingatan-ingatan tentangmu.  Sekali lagi, tidak dengan malam ini. Malam ini terlalu banyak membawa kabarmu. Jika angin membawa aroma tubuhmu sampai tiba kuhirup. Saat kubuka almari tua itu udara didalamnya berdesakan keluar membawa aroma parfum mahalmu. Parfum yang biasa kau kenakan saat menjamu rekan penting kerjamu. Parfum yang membekas pada jas biru tua milikmu. Tentang Parfum dan ceritanya, lagi-lagi ku teringat kau juga pernah bercerita perihal parfum mahalmu itu. Parfum yang juga pemberian dari perempuan itu. Meski begitu aku tak pernah memperduli bagaimana perempuan itu memperlakukanmu, dan bagaimana kau memperlakukannya. Yang kutahu aroma tubuhmu malam ini terasa begitu dekat denganku. Aroma yang selalu kurindukan.

Mungkin aku hanya bayangan baginya, tapi dirinya dihidupku adalah segala warna termasuk hitam, warna yang menari di antara bayang gelap, suram, dan menakutkan. Namun, dalam kegelapannya, tersembunyi keindahan elegan dan kemewahan yang tak terhingga. Warna hitam, yang mampu menyerap segala cahaya dalam spektrum warna, membawa kita ke dalam dimensi yang berbeda. Kadang-kadang, hitam dihubungkan dengan kematian, menjadi simbol peralihan dan akhir.  Jadi, baginya, hitam bukan sekadar warna gelap yang menakutkan, melainkan pilihan yang mencerminkan kebebasan dan ketidakpedulian terhadap norma. Dalam hitam, terkandung kekuatan untuk menolak konvensi, menciptakan ruang bagi keberanian dan kebebasan pribadi. Hitam, dalam semua kompleksitasnya, menjadi lukisan yang menggambarkan perjalanan seseorang melintasi bayang-bayang dan kilauan warna yang tak terbatas.

Sudah beberapa hari ini langit membiru tiada berubah bahkan saat datang malam. Begitupun dengan malam ini sebelum aku memejam ku persembahkan pada langit berharap agar membawamu dalam mimpiku. Aku memang terlampau merindumu. Tapi jas biru tuamu tak cukup jika hanya untuk menggantikan dirimu. Aku ingin meihatmu lebih jelas. Memastikan kabarmu bahwa kau masih mencintaiku, dan merindukanku. Tentang rindu yang kian hari kian mengganda seluar biasa ini. Tak tertahan hasratku inginkan dirimu memainkan segala gerak dan tarianmu dalam pejamanku. Semakin malam semakin tak kukenali gulita. Segala warna tertumpah dalam pejamanku. Semakin ku memejam semakin ku rasakan nafasmu didekatku. Sampai datang malam diambang subuh, kau masih asik dengan gerak tarianmu di atas tubuhku. Aroma wangi tubuhmu menebar ke seluruh udara kamar, memecah segala warna dalam hitamnya pejamanku.
Sampai datang beberapa malam, malam dengan bayangmu yang masih terlihat begitu jelas. Diluar purnama semakin meninggi seolah juga ingin melihat bayangmu dalam pejamanku. Mengapa hari-hariku hanya bertemu dengan malam dan pejaman. Kemana kuningnya matahariku dan langitnya yang biru. Kemana hijaunya daun-daunnya alamku. Kenapa aku? Ada apa dengan hidupku?

Terakhir malamku yang kuingat aku memejam dengan memeluk jas biru tua kesayanganmu pemberian dari perempuan itu. Kini datang pagi aku tersadar tanpa jas biru tua kesayanganmu dipelukanku. Kemana larinya aroma wangimu yang kemarin kuhirup dan jas biru tuamu yang kemarin ku peluk?


"Wanita macam apa kau ini? Tolong hormati keluarga kami yang sedang berduka" (suara lantang dari seorang perempuan yang ku kenal tapi asing.)


Mataku masih terbelalak tak percaya dengan pemandangan didepan mataku. Juga suara kerumunan banyak orang yang terdengar seliweran di telingaku.


"Nyonya, kami akan segera mengurus segala hal untuk pemakaman. Rumah duka juga sudah kami booking. Satu lagi Nyonya, rangkain bunga duka dari para kolega Pak Saka juga mulai berdatangan dan sudah saya konfirmasi ke pihak keamanan didepan untuk merapikan penataan karangan-karangan bunga duka." Ucap laki-laki muda berseragam hitam pada perempuan itu.


Setelah beberapa saat, pikiranku mulai bekerja semestinya. Aku mulai menyadari dan memahami satu persatu apa yang ada dalam pandanganku. Kerumunan manusia berpakaian hitam. Berwajah murung, sedih, bahkan beberapa ada yang masih meneteskan air matanya. 21 tahun perempuan itu hidup bersamamu dan secara bersamaan yang 11 tahunnya juga kau hidup bersamaku. Perempuan yang tangguh tak terkalahkan. Satu hal yang tak pernah ku tahu alasan perempuan itu bertahan dengan laki-laki yang jelas ia ketahui memelihara wanita lain di hidupnya. Ia memang laki-laki kaya dengan gaya borjuisnya, tapi aku mencintainya karena warna dalam hidupnya bukan hartanya. Jika memang aku mengincar hartanya, tak akan aku rela bertahan menahun lebih dari hitungan jariku hanya untuk menjadi bayangannya. Aku tahu aku bukan tempatnya pulang. Tapi aku juga tahu, aku adalah alasan yang selalu dinantikannya dalam setiap kesempatannya. Aku jauh lebih spesial dari perempuan itu, meski kedudukan perempuan itu lebih tinggi dariku di hidupnya.

Kini sisa percintaan kami hanya akan hadir kembali dalam sebuah pejaman. Dalam sebuah ruang yang gelap, dan ruang yang hitam. Rumah duka mulai penuh, aku melihatmu begitu tampan mengenakan setelan jas biru tuamu. Entah siapa yang mengenakan setelan itu ditubuh kakumu. Bisa jadi perempuan itulah yang memaksamu mengenakan setelan itu, sebab jas biru tua itu memanglah pemberiannya. Atau kau dipaksa mengenakan setelan itu, sebab semasa hidupmu kau begitu menyayangi setelan jas biru itu. Beruntung aku datang tepat waktu sembari membawa jas biru tuamu dalam pelukku. Meski setelahnya, aku tiba dengan malam dan pejaman, aku pingsan tak sadarkan diri. Hingga beberapa saat penglihatanku terbuka, dan semua terlihat begitu monokrom, penglihatan yang gelap dan terang yang sangat memusingkan.

Orang biasa menyebut warna monokrom adalah warna yang dipadu hitam dan putih. Tapi bagiku putih bukanlah sebuah warna. Ya, putih bukanlah sebuah warna. Putih hanyalah dasar kehidupan sebelum bergurat dengan warna cerita peristiwa. Warna ya peristiwa, dan putih adalah dasar kehidupan. Jika kau ingin menikmati setiap warna, maka nikmatilah hitam. Dari putih yang dasar, memejamlah dan kenali hitam. Dari hitam kau akan belajar, bahwa warna lebih banyak dan luas dari apa yang telah kau imajikan.


Maka memejamlah ..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun