Mohon tunggu...
Alvriza Mohammed Fadly
Alvriza Mohammed Fadly Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Film dan Televisi UPI 2020

A Student of Film and Television Study Program In Indonesia University of Education. Likes to write entertainment news and practicing journalistic production and distribution.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Musha Sugyo: Pengembaraan ke Pulau Para Dewa

27 Januari 2023   23:24 Diperbarui: 28 Januari 2023   00:11 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Penulis dengan rekan-rekan kelompok Modul Nusantara di Kebhinekaan 2/Dok pribadi

"Dengan mengetahui dari mana kita berasal, kita bisa terbentuk lebih baik kemanapun kita pergi". - Gouken (Street Fighter Assassin's Fist, 2014).

Musha shugy (), merupakan istilah feodal Jepang, yakni sebuah pencarian atau penziarahan yang dilakukan oleh pendekar samurai dengan cara berpergi ke suatu tempat atau teritori untuk mempraktikkan serta mengasah keahliannya tanpa dampingan dari keluarga ataupun sekolah. Kutipan yang tertulis pada awal paragraf entah mengapa tertempel dalam kepala saya setiap saat dan entah kenapa terdengar sangat magis untuk saya secara pribadi karena saat saya dalam waktu yang sulit serta berada di tempat yang sangat asing, kata ini selalu muncul di benak saya seakan-akan membisikkan untuk selalu berpikir kritis dan cepat.

Kata tersebut pertama kali saya dengar saat saya menonton sebuah serial televisi berjudul "Street Fighter: Assassin's Fist", salah satu serial yang saya sangat sukai. Didalamnya bercerita tentang praktisi bela diri Ansatsuken bernama Ryu dan Ken dalam mempelajari sejarah gelap dan pewaris bela diri tersebut. Singkat cerita, Gouken, guru dari Ryu dan Ken memiliki masa lalu yang kelam dimana adiknya Gouki/Akuma telah mengkhianatinya serta membunuh gurunya Master Goutetsu. Gouken mengajari para muridnya untuk melanjutkan warisan Goutetsu dengan tidak hanya sebagai penerus praktisi bela diri Ansatsuken, tetapi juga menjadi pribadi yang hebat. Oleh karenanya setelah mereka selesai menempuh pendidikan bela diri bersamanya, Ryu dan Ken harus menjalankan Musha Shugyo sebagai pembentukan pribadi yang mandiri dan disiplin. Saya sangat takjub dengan keseluruhan ceritanya dan termotivasi untuk mengimplementasikan hal tersebut dalam kehidupan nyata.

Setelah dua tahun menempuh kuliah di kota kelahiran dan menduduki semester lima, sudah saatnya saya berpikir untuk keluar dari zona nyaman. Dengan ini, saya dapat menguatkan dan membentuk kepribadian yang mandiri dan tidak terlalu bergantung kepada keluarga maupun orang lain. Setelah memantapkan diri dan mendapatkan motivasi dari beberapa orang yang saya kenal, saya akhirnya pamit untuk merantau melalui program pertukaran mahasiswa merdeka menuju Provinsi Bali dalam kurun waktu yang singkat demi mencari harta ilmu yang melimpah.

SECTION 1 : SEPTEMBER BREAKPOINT (Titik Istirahat)

Bulan September merupakan waktu dimana saya tiba di Provinsi Bali, pulau yang dipercayai sebagai pulau para dewa dengan keindahan alamnya. Saat pertama kali disambut oleh PIC, dosen, dan para mentor, sejujurnya saya berperasaan campur aduk. Di satu sisi saya senang bertemu orang-orang berbeda dalam hidup, tapi di satu sisi saya sedih sembari masih memikirkan keluarga saya di Bandung dan masih banyak hal yang tidak mengenakkan secara personal. Singkat cerita, saya diantarkan ke kosan yang sudah disediakan dan disinilah petualangan dimulai. Waktu awal merupakan waktu -- waktu neraka, saya dipukul oleh perasaan yang hampa karena terbiasa hidup dengan keluarga di rumah yang kini saya harus tinggal bersama teman -- teman sekampus. Saya benar-benar sangat menyesal dengan hal-hal yang tidak saya pertimbangkan sebelum berangkat kesini tetapi dengan berat hati saya mengikuti apapun perintah dari pihak program ini dan melewati siksaan serta rintangan tajam.

Gambar 2. Pertemuan perdana kelompok 4 modul nusantara PMM 2 UNMAS Denpasar /Dok pribadi
Gambar 2. Pertemuan perdana kelompok 4 modul nusantara PMM 2 UNMAS Denpasar /Dok pribadi

Saya ingat pertama kali para mahasiswa inbound disambut oleh para pihak kampus dari jajaran rektorat hingga para dosen modul nusantara dalam auditorium ganesha yang terletak di dalam gedung rektorat. Secara pribadi sambutan itu terasa biasa saja dan tidak ada hal yang spesial, bagi saya ini adalah salah satu formalitas seperti penerimaan tamu. Waktu itu merupakan pertama kalinya saya dan para kolega pertukaran mahasiswa dipertemukan dalam satu ruangan, kita dikelompokkan berdasarkan grup modul nusantara masing-masing sembari berkenalan dengan satu sama lain. Selain itu, saya memulai perkuliahan akademik bersama teman-teman baru dalam kelas. Saya bisa merasakan bahwa nuansanya masih belum hidup dan saya masih kaku dalam berkomunikasi dengan yang lainnya, ditambah saya adalah satu-satunya perwakilan dari kampus dan fakultas yang bersinggah di kampus Mahasaraswati sehingga tidak ada teman sebaya dengan almameter serupa.

Gambar 3. Kelompok 4 Kebhinekaan perdana dengan mempelajari gerakan dasar tari Bali./Dok pribadi
Gambar 3. Kelompok 4 Kebhinekaan perdana dengan mempelajari gerakan dasar tari Bali./Dok pribadi

Kegiatan modul nusantara pertama pun dimulai, kami mempraktikkan dasar-dasar gerakan tari Bali. Sebagai mahasiswa seni, ini adalah kesempatan yang baik bagi saya meskipun datang dari berbeda program studi tetapi unsur seninya masih melekat. Saat kegiatan sesi refleksi di Gunung Payung, memeragakkan tari Bali bagi saya memiliki kesamaan dengan tari yang berasal dari Jawa Barat seperti Tari Jaipong salah satunya, saya merasakan hal semantik di dalam ini tetapi saya tidak dapat menjabarkannya secara detail. Pembekalan ilmu tari Bali ini diperkuat dengan menonton tari Kecak di Pura Uluwatu, pertunjukkan tersebut merupakan tari teatrikal yang menceritakan kisah cinta Rama dan Sinta serta dewa Hanoman yang digambarkan sebagai kera putih. Sedikit demi sedikit saya mengobservasi setiap gerakan dari penari, ternyata gerakan tari mereka serupa dengan apa yang pernah saya peragakan sebelumnya. Usai menonton tari teatrikal tersebut, hal yang muncul dalam benak saya adalah "bagaimana jika saya mengambil mata kuliah dari prodi seni tari? Mungkin akan menarik" sampai segitunya efek mendengarkan teriakan "cak cak kecak" selama 1 jam lebih.

Gambar 4. PMM 2 UNMAS bersama pelaku cerita ramayana
Gambar 4. PMM 2 UNMAS bersama pelaku cerita ramayana "Asmara Rama dan Sinta"/Dok pribadi
Minggu-minggu selanjutnya hampir sama seperti sebelumnya, dimana saya menjalankan kuliah akademik bersama teman-teman baru di kelas dan bertemu dengan para dosen yang tidak familiar bagi saya. Perlahan saya mulai mengenal dengan lingkungan belajar yang baru dan flow perkuliahan yang serasa sedikit smooth dari perkuliahan saya di kampus UPI. Kegiatan modul nusantara untuk berikutnya adalah berkunjung ke Desa Adat Tenganan Pegrisingan, Puri Karangasem, dan Taman Ujung. Kami melakukan kegiatan kebhinekaan dua kali serta refleksi satu kali. Saya harus akui bahwa desa adat Tenganan memiliki masyarakat yang sangat filosofis dan tempatnya pun historis, melalui eksplorasi bersama salah satu pemuda desa tersebut saya mempelajari bahwa tatanan kehidupan di desa ini memiliki ciri khas yang sangat unik seperti perang pandan yang dilaksanakan sesuai kalender desa. Hal ini jauh berbeda dengan desa adat yang pernah saya pelajari seperti Desa Adat Cirendeu dan Kampung Adat Ciptagelar, mereka masih "menganut" sistem tatanan kehidupan masyarakat Jawa dan mengikuti kehidupan nenek moyang pendahulunya.

SECTION 2 : OCTOBER DEFIANCE (Tantangan Neraka)

Bulan Oktober merupakan medan perang penuh dengan panggilan tugas akademik, saya harus mempersiapkan fisik dan mental jauh dari bulan sebelumnya. Maka dari itu, saya harus menetapkan mindset saya dengan satu kalimat: "The Only Easy Day Was Yesterday", kutipan tersebut merupakan motto dari pasukan khusus NAVY SEAL yang berarti kita harus berfokus pada hari -- hari yang dijalankan dan mengabaikan hari-hari yang akan datang agar tetap fokus pada satu tujuan dan jalan. Setelah mengikuti berbagai rangkaian kegiatan kebhinekaan dan refleksi, akhirnya tibalah sesi refleksi pertama. Sesi ini merupakan salah satu kegiatan modul nusantara terfavorit bagi saya karena mengundang seorang musisi ternama di Bali bernama Bli Balawan.

Gambar 5. Gitaris Inspiratif dari Bali, Bli Balawan/Dok pribadi
Gambar 5. Gitaris Inspiratif dari Bali, Bli Balawan/Dok pribadi
Beliau seorang gitaris terkemuka nan talenta memiliki skill bermain gitar yang mirip dengan musisi kelas dunia seperti Jimi Hendrix, Joe Satriani, dan bahkan musisi revolusioner pada masa ini. Melihat dan mendengarkan beliau bermain gitar seperti saya melihat ke diri saya saat dulu kala pada zaman SMP/SMA masih bergairah untuk bermusik. Alhasil saya ingin sekali bermain gitar dan mempelajari lagu baru, andaikan saya bisa duet bermain bersama Bli Balawan di satu waktu dan waktu itu seharusnya kemarin. Usai mendengarkan ceramah dari majelis desa adat dan mendengarkan lantunan lagu dari musisi Bali, saya beranjak ke Gedung Dharmanegara Alaya untuk menyaksikan film yang diproduksi oleh UKM Multimedia kampus yang bernama "Kasta". Film tersebut memberikan gambaran besar mengenai fenomena sosial kasta yang terjadi di Bali, dimana para masyarakatnya memandang strata sosial seseorang dari keturunan keluarga dan tingkat kasta yang dia miliki. Terdapat dua hal yang dapat dipelajari sebagai inspirasi dari film ini, satu adalah engkau menyadari bahwa hidup tidak hanya dilihat dari status sosial dan kedua engkau harus menggapai level status sosial yang didambakan itu.

Gambar 6. Mengunjungi pura terbesar di Provinsi Bali, Penataran Besakih./Dok pribadi
Gambar 6. Mengunjungi pura terbesar di Provinsi Bali, Penataran Besakih./Dok pribadi

Sesudah itu, kami lanjut menjalankan modul kebhinekaan dengan mengunjungi Pura Penataran Besakih dan Desa Penglipuran. Kedua tempat ini merupakan salah satu contoh besar dari Wonderful Indonesia, karena dua destinasi wisata tersebut memiliki nilai besar dari segi manapun. Pura Penatara Besakih merupakan pura yang saya lihat memiliki keharmonisasian yang sangat tinggi antara umat beragama hindu, terlebih pura tersebut merupakan pusat dari seluruh kegiatan ibadah umat Hindu di Bali. Desa Penglipuran mengingatkan saya dengan tempat-tempat pusat wisata di Bandung, udara yang sangat sejuk dan tempat yang bersih sehingga tidak heran desa tersebut dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia.

Gambar 7. Desa Penglipuran sebagai tempat wisata terbersih di Dunia./Dok pribadi
Gambar 7. Desa Penglipuran sebagai tempat wisata terbersih di Dunia./Dok pribadi
Akhir bulan merupakan perjalanan yang sangat jauh nan melelahkan. Saya bepergian ke daerah Bali Barat untuk mengunjungi Kampung Loloan Muslim serta Gereja Kristen Katolik dan Protestan. Pada intinya saya mempelajari kehidupan toleransi antar umat beragama dan melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Salah satu dari pastor sebagai narasumber pernah berkata "Teologi pemerdekaan yang disampaikan yaitu dari agama manapun atau bahkan tidak punya agamapun sebab setiap orang merindukan kebebasan. Jika ingin hidup dalam toleransi dan menerima keberagaman, maka juga menerima Allah/Pencipta yang sama dan meningkatkan sikap bahwa semua manusia butuh toleransi". Kutipan ini seketika membuat saya terharu karena mengingat kehidupan toleransi di Bandung tidak terasa nyata seperti saat saya berkunjung ke tiga tempat ibadah yang berbeda di Bali Barat.

SECTION 3 : November Evolution (Perubahan Kepribadian dan Perspektif)

Gambar 8. Tari Kecak dan Kisah Garuda dan Tirta Amerta (GWK Cultural Park)/Dok pribadi
Gambar 8. Tari Kecak dan Kisah Garuda dan Tirta Amerta (GWK Cultural Park)/Dok pribadi

Bulan November merupakan evolusi dari saya sebagai mahasiswa nusantara. Saya telah dibekali oleh ilmu kebhinekaan untuk meningkatkan wawasan kewarganegaraan tanah air. Kini, saya hanya memantapkan ilmu tersebut dengan kegiatan modul nusantara yang tersisa. Kegiatan di pekan akhir kali-kali ini tidak sesibuk seperti bulan sebelumnya, ditambah saya telah menyelesaikan Ujian Tengah Semester yang artinya perkuliahan tidak begitu intensif pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Agenda pemantapan sikap toleransi antara umat dilakukan dengan mengunjungi Puja Mandala di Nusa Dua, dimana 5 tempat ibadah berbeda menyatu dan berjejer antara satu dengan yang lainnya. Kami melakukan observasi dan beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing dengan waktu yang cukup panjang.

Berikutnya kami mengunjungi Vihara Klenteng Dharmayana di Kuta, ini meruapakan waktu pertama kalinya mempelajari toleransi melalui perspektif umat Konghucu, salah satu narasumber mengatakan bahwa contoh dari keberagaman adalah akulturasi antara budaya tionghoa dengan bali dan dikarakteristikan dengan warna kulit serta bahasa komunikasi. Sebagai kegiatan kebhinekaan terakhir, saya mengunjungi tidak lain dari ikon Bali sendiri yaitu Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park. Bisa dikatakan bahwa mengunjungi GWK merupakan penutup yang indah dan keren karena kita disuguhkan dengan pertunjukan tiga pagelaran budaya yang berbeda, antara lain joged bumbung, parade budaya bali, dan tari kecak karowisnu kencana.

SECTION 4 : DECEMBER OBJECTIVE (Pemikiran Tak Terpengaruh)

Gambar 9. Refleksi terakhir bersama para kolega kelompok/Dok pribadi 
Gambar 9. Refleksi terakhir bersama para kolega kelompok/Dok pribadi 

Bulan Desember merupakan waktu akhir dari segalanya, perkuliahan telah usai di akhir bulan serta kegiatan wisata modul nusantara sudah selesai di pertengahan bulan. Tempat terakhir yang saya kunjungi adalah Kebun Raya Bedugul, sebuah taman yang bersebelahan dengan Danau Beratan. Bagi saya pribadi, mengunjungi tempat ini mengingatkan saya pada daerah Lembang di Kota Bandung karena suhunya yang cukup dingin, mengingat bahwa tempat tersebut terletak di perbukitan. Disana saya melakukan kegiatan refleksi terakhir bersama para teman -- teman kelompok dan dosen mengenai nilai yang terkandung dalam GWK dari aspek seni budaya. Menurut saya GWK mengandung unsur sastra dan seni budaya yang begitu besar, karena mengingat Tari Kecak yang digelarkan menceritakan perjuangan Garuda dalam mencari Tirta Amerta untuk ibunya yang diperbudak. Melalui pagelaran tari teatrikal, saya bisa mengetahui dan mengidentifikasi unsur sastra melalui media seni budaya yang disajikan.

SECTION 5 : JANUARY APEX (Puncak Dari Segala Puncak)

Gambar 10. Sebuah kegiatan kontribusi sosial sebagai penutup dari segalanya./Dok pribadi
Gambar 10. Sebuah kegiatan kontribusi sosial sebagai penutup dari segalanya./Dok pribadi

Tidak terasa sudah 5 bulan saya bersinggah di Pulau Dewata, banyak sekali hal -- hal yang saya pelajari mulai dari akulturasi budaya Bali hingga keberagaman serta toleransi antar umat beragama di berbagai tempat. Bulan Januari merupakan waktu akhir bagi saya untuk menyelesaikan eksplorasi di Bali, sebagai akhir dari semua rangkaian kegiatan saya telah menyelesaikan ujian akhir semester dan melakukan modul kontribusi sosial di Desa Kukuh bersama rekan-rekan kelompok dengan memberikan workshop anti-bullying kepada para siswa siswi kelas 5 dan 6 SD 1 Kerambitan. Momen ini tidak akan saya lupakan sepanjang waktu, karena sesungguhnya berinteraksi serta memberikan kontribusi bersama teman-teman nusantara merupakan waktu yang didapatkan sekali dalam seumur hidup. Kami memberikan beberapa peralatan alat tulis, buku, dan perlengkapan sebagai bantuan sosial untuk kebutuhan sekolah kedepannya. Saya berharap dengan kontribusi sosial ini ada hal yang bisa diimplementasikan saat saya menjadi pemimpin di daerah asal suatu waktu.

Sejujurnya, saya tidak tau bagaimana untuk menutup tulisan ini dengan baik. Tetapi pada intinya, saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan ini melalui program kemendikbud karena berkat ini saya bisa berkenalan dengan teman-teman nusantara dari berbagai pulau serta memperluas koneksi dan tali silaturahmi bersama mereka. Selain itu saya bisa mengenal watak dan karakteristik mereka, memberikan aku kesimpulan bahwa dunia itu penuh dengan warna dan terimalah semuanya dengan lapang dada.

"Jika jalan mu buntu, maka keringat mu haruslah ketulusan

Dan jika kau kembali dari pengembaraan, maka yang kau bawa haruslah kesabaran" -- Dedi Warsana, Dosen Program Studi Film dan Televisi, FPSD UPI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun