Vihara tersebut terbentuk mula-mula pada komunitas warga tionghoa yang terbentuk dalam suka dan dukan ama Banjar tahun 1968, orang-orang tionghoa berjasa besar dalam mengembangkan Vihara Darmayana. Tempat ibadah tersebut sudah ada sejak 1750, sudah 275 tahun berdiri. Ini disampaikan oleh Dr. Ikada, seorang mahasiswa Jepang yang mencari jejak tionghoa di Bali Selatan. Peradaban tionhoa di Bali Selatan sudah ada sejak 1700-an, tempat dibangun tahun 1500-an dibuktikan dengan dua pohon leci. Terdapat kaitannya dengan sejarah kerajaan Menguwi, di pura terdapat nama Sung-Sungan. Raja Dumlamangan menemui arsitek tersebut untuk membentuk taman, alhasil diberikan gambaran suatu taman yang ada airnya dan diberi waktu hingga 42 hari untuk menyelesaikannya.
Akulturasi di Vihara tersebut sangat kental, sebagai warga tionghoa mengambil orang Bali 90% untuk dinikahi. Konsep hukum karma sudah berjalan dan diyakini oleh para leluhur suci. Di rumah orang Bali terdapat sanggah/Pura Raja untuk persembahyangan, minimal harus membawa yang harus dipersembahkan. Sejarah mengatakan bahwa raja Bali pernah mengambil putri Cina. Akulturasi Tionghoa dan Bali, yang hitam adalah Bali dan yang putih adalah Cina. Orang tionghoa merupakan saudara yang tertua di vihara, sering terjadi kerja bakti bersama untuk menjaga kultur karena diyakini bahwa tempat puja-puja dewa sangat sakral.
Nilai penting dalam kegiatan kebhinakaan tersebut adalah menguatkan sikap kebersamaan dalam keberagaman, para mahasiswa mendapatkan ilmu mengenai sejarah, proses akulturasi, dan hidup toleransi di berbagai tempat ibadah yang berbeda. Pesan refleksi yang dapat dipetik adalah pada intinya ibadah merupakan urusan sang pencipta dengan manusia, tetapi dalam kehidupan nyata kita membutuhkan toleransi yang tinggi untuk menjunjung tinggi cita-cita kebersamaan yang sama dan serupa.