~Alviyatun~
Rumah joglo itu nampak lengang. Sedikit gelap di dalamnya, padahal siang itu sangat terik. Tak ada celah untuk cahaya matahari masuk lewat genteng, karena satu pun tak terlihat genteng kaca. Terdengar percakapan dua orang perempuan sedikit tegang.
"Waktu semakin mendesak, May. Secepatnya kau dan Hilal mencari salon paes pengantin. Dua minggu waktu yang sangat cepat." Monika mencoba mengarahkan Mayang. Keduanya kakak beradik dari seorang ayah tetapi beda ibu.
"Paes pengantin itu tidak bisa diminta dengan mendadak, May. Kamu harus pesan jauh hari sebelum pernikahan." Lagi-lagi Monika membujuk Mayang.
"Tapi, Kak...aku tak bisa. Seharusnya aku bahagia, tapi hatiku tidak bisa. Kakak harus mengerti---" Mayang belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Monika memotong begitu saja.
"Tidak May, kamu tetap harus melanjutkan pernikahan ini. Jangan hiraukan aku." Tegas dan keras mirip ibunya. Hati Mayang tak rela melihat kakaknya hidup seorang diri sepeninggal dirinya nanti.
      Ayah Monika dan Mayang yang asli dari Jawa menikah dengan dua orang wanita. Pernikahan pertama dengan seorang wanita berasal dari Batak Toba, Sumatra Utara. Pesta pernikahan dirayakan meriah, dengan paes pengantin dari Batak Toba yang khas dan unik, hingga mencuri perhatian para tamu undangan. Pesona saurtali warna merah yang dikenakan melingkar pada dahi pengantin wanita menjadi ciri khasnya. Sebagai pemanis diselipkan pula tiga helai daun sirih diantara saurtali dan sanggul timpus. Keduanya nampak bahagia meski harus melalui rangkaian acara prosesi pernikahan adat yang panjang dan melelahkan.
Pernikahan ini melahirkan seorang anak perempuan cantik bernama Monika. Tetapi sayang, Mamanya Monika tak berumur panjang, ia mengidap penyakit jantung ketika usia Monika empat tahun. Waktu kebersamaan yang sangat singkat.
Selang setahun kemudian Ayah Monika menikah lagi dengan seorang wanita Jawa yang manis dan menarik. Tutur katanya lembut khas wanita Jawa. Pernikahan pun dilaksanakan sederhana menggunakan paes pengantin gaya Yogyakarta.
Pengantin wanita nampak sangat bahagia. Ini perkawinan pertamanya, walau ia menikah dengan seorang duda beranak satu. Ayah Monika sempat menanyakan kemantapan hati calon istrinya perihal status dudanya itu.
"Dinda, aku seorang duda beranak satu, apa kamu siap menerima kondisiku dan anakku?" Ayah Monika perlu meyakinkan dahulu sebelum proses akad nikah benar-benar terjadi.
"Aku bersedia, Mas. Status duda atau pun perjaka, bagiku yang terpenting adalah hatimu sungguh mencintaiku dan Mas menerima segala kekuranganku. Itu sudah cukup bagiku, Mas. Tentang Monika, aku sudah mencintainya sejak pertama mengenalnya. Mas tak perlu khawatir." Wanita itu begitu dewasa dalam sikapnya.
"Aku hanya meminta satu hal saat pernikahan kita nanti, Mas. Paes pengantin sederhana khas Yogyakarta. Aku dari Jawa, ingin tampilanku yang semoga seumur hidup hanya sekali ini, dengan paes pengantin yang manglingi. Menurut orang tua, paes pengantin ini akan mempengaruhi kehidupan pengantin di masa depan. Aku percaya itu, Mas."
Ayah Monika tersenyum lega mendengar penjelasan calon isterinya itu. Ia semakin kagum dengan kepribadiannya. Terlihat sederhana dari luar tetapi memiliki pandangan ke depan yang mengagumkan. Gadis itu semakin membuatnya jatuh cinta.
Tentang paes pengantin itu, tak masalah bagi Ayah Monika. Ia setuju saja. Proses paes pengantin pun cukup memakan waktu. Rambut-rambut yang tumbuh didahi si gadisnya harus dikerik bersih. Sang penata rias menjelaskan dengan gamblang makna yang terkandung dalam setiap riasan dahi, sambil jemarinya terus memaes calon pengantin wanita.
"Ananda ini sudah cantik, nanti dipaesi tambah cantik dan manglingi seperti putri raja." Kata perias yang usianya sekitar 55 tahun, tetapi jemarinya sangat terampil. Si gadis hanya tersipu merasa bahagia mendapat pujian itu.
"Dahi ini harus bersih supaya hasil riasannya bagus. Di tengah dahi, dibentuk penunggul yang runcing dan melengkung, maknanya seorang wanita harus dihormati dan ditinggikan derajatnya." Sang perias itu mulai menjelaskan makna dari bentuk riasan penunggul yang terletak di tengah dahi. Ayah Monika yang dari tadi menunggu giliran dirias, mendengarkan dengan seksama.
"Nah, penunggulnya sudah jadi, sekarang saya bentuk pengapitnya, ya. Pengapit itu ada di samping kanan kiri penunggul. Ananda tahu maknanya?" Perias itu mencoba bertanya pada si gadis calon pengantin.
"Ananda pernah mendengar sedikit dari mendiang nenek, Bu. Pengapit itu harus mengontrol jalannya penunggul agar tetap lurus. Benarkah begitu, Bu?" tanya si gadis.
"Iya betul sekali, Ananda. Kenapa jalannya harus tetap lurus? Supaya dalam mengarungi bahtera rumah tangga selalu damai, jika pun ada aral melintang tetap bisa dihadapi bersama." Lanjut sang perias.
"Nah sekarang pengapit selesai, dilanjutkan dengan penitis. Penitis itu bermakna kearifan. Ananda, sebuah rumah tangga akan tentram jika sikap pasangan arif, bijaksana, tidak mementingkan ego masing-masing." Lagi-lagi Ibu perias menjelaskan sekaligus menasehati.
"Sikap ini tidak hanya ditujukan untuk calon pengantin wanita saja. Ingat itu lo, Nak Mas!" Kali ini Ibu perias menengok ke Ayah Monika, sebagai kode mengingatkan, yang ditengok cuma tersenyum dan mengangguk.
"Hampir selesai, Ananda. Sedikit lagi godhegnya selesai. Godheg atau cambang itu maknanya, manusia kudu eling karo sing kuoso, Gusti Allah." Ibu bijak itu mengukir dahi hingga cambang dari calon pengantin putri, dan menyelesaikannya dengan apik.
"Alhamdulillah, sanggul dan paes pengantinnya sudah selesai Ananda. Sekarang tinggal mengenakan baju pengantinnya." Ibu perias tersenyum puas dengan hasil riasannya. Ayah Monika pun demikian, semakin terkagum dengan kecantikan calon isterinya. Apalagi setelah mengenakan baju pengantinnya. Sungguh menjelma sebagai bidadari.
"Dinda, kamu cantik sekali. Jika para bidadari surga tahu, tentu mereka akan iri padamu, karena aku telah memilihmu." Pujian Ayah Monika dan tatapan matanya benar-benar membuat si gadis itu memerah pipinya, tersipu malu dan semakin membuat hatinya meleleh dalam buaian kata pangerannya.
"Mas, malu ah, banyak orang," kata si gadis.
Akhirnya prosesi ijab qobul pun terlaksana dengan khidmad dan lancar. Proses resepsi pernikahan pun usai dengan penuh kebahagiaan. Saatnya kini membersihkan riasan di wajah si gadis yang telah resmi menjadi suami Ayah Monika.
"Dinda, paes pengantin ini sungguh membuatmu terlihat sebagai wanita agung. Sebagaimana cintaku padamu, yang agung. Dan aku berjanji, akan menjaga keagungan cinta ini, dengan selalu setia padamu, sampai kematian memisahkan kita." Ayah Monika mengucapkan janji dengan sungguh-sungguh, tulus dari hati.
"Iya Mas, aku berjanji. Tiada yang bisa menggantikanmu di hatiku, selamanya." Isteri Ayah Monika pun menjawab dengan sungguh-sungguh dan akan saling menjaga hati masing-masing, sebagaimana makna pengapit pada paes yang masih melekat di dahinya. Â
Setahun setelah pernikahan itu, lahirlah adik Monika, yang cantik dan putih. Bayi itu diberi nama Mayang. Mayang tumbuh menjadi gadis yang cantik. Monika sangat menyayanginya, walaupun berbeda ibu. Ibu Mayang pun sangat menyayangi Monika dan menganggapnya sebagai anak sendiri.
Monika merasa nyaman bersama ibu tiri dan adiknya. Monika sering mengajak Mayang bermain bersama meski usia mereka terpaut enam tahun. Sampai keduanya dewasa, sering terlihat bersama. Namun, takdir memang tak bisa dihindari, ketika peristiwa kecelakaan itu membuat ibu kedua anak itu meninggal dunia.
Kecelakaan yang membuat Ayah Monika dan Mayang menyesal, karena ia tak sempat mengantarkan isteri tercintanya, bidadarinya berbelanja ke pasar.
"Mas, hari ini persediaan sayuran dan lauk kita habis. Untuk memasak nanti siang belum ada bahan. Mas, bisa kan, mengantarku ke pasar?" pintanya pagi itu. Tiada yang tahu, bahwa itu adalah permintaan terakhirnya.
"Aduh, bagaimana ya, Dinda, Mas ingin mengantarmu, tetapi Mas benar-benar tidak bisa. Pemilik toko sebelah mengundang Mas untuk menjadi saksi pernikahan anaknya pagi ini. Atau Monika saja yang mengantar?" Ayah Monika mencoba mencarikan pengganti.
"Pagi ini Monika ada pertemuan penting di kantornya, Mas. Mayang juga sedang ujian semester, sudah berangkat dari tadi. Kalau begitu aku pergi sendiri, tidak mengapa, Mas. Motor kita juga lama tidak keluar, biar aku pakai motor saja." Jawab wanita yang sampai saat itu masih nampak anggun dan cantik, meski usia sudah hampir 50 tahun.
Terpaksa isterinya berangkat sendiri naik sepeda motor. Karena lama tidak menaiki sepeda motor, saat berpapasan dengan sebuah truk pembawa pasir yang akan menyetor pasir ke toko bangunan milik tetangganya, ia oleng dan menyenggol badan truk tersebut. Ia terjatuh, mengalami pendarahan banyak dan tidak tertolong.
Hidup dan mati adalah ketentuan Allah. Kabar duka yang membuat Ayah dua orang gadis itu sering menyendiri. Ia ingin mengenang masa-masa indah bersama isterinya, bidadari surganya.
Semenjak itu, Monika semakin menyayangi Mayang. Ia harus menjaga adik semata wayangnya itu. Sampai masalah menikah pun, ia tidak ingin menikah bila adiknya belum menikah. Sementara Mayang, tidak ingin menikah bila kakaknya belum menikah.
Hingga terjadilah percakapan yang menegangkan di siang terik itu, di rumah joglo mereka. Saat itu Ayah kedua gadis itu sedang tidak berada di rumah.
"May, kamu dengar kata Kakak? Kamu harus menikah dua minggu lagi, May. Jangan permalukan Ayah dan Kakak di hadapan keluarga Hilal. Semua sudah sepakat. Kamu harus ikuti. Dan ingat pesan Ibu kita, paes pengantinnya nanti adalah paes pengantin dari Yogya." Monika sudah tidak ingin dibantah lagi, tidak ingin berdebat lagi.
Hatinya tidak sedang bahagia, teringat ibu tiri yang sudah dianggap sebagai ibu kandungnya sendiri. Kecantikan ibu tiri nyata saat paes pengantin menghiasi wajahnya. Paes pengantin yang membuatnya semakin anggun, dan agung.
***
Arti kata sebagai berikut:
manglingi: membuat panglingÂ
kudu eling karo sing kuoso: harus ingat kepada yang kuasa
penunggul: riasan pengantin wanita meruncing dan melengkung terletak tepat di tengah dahi
pengapit: riasan pengantin di sebelah kanan dan kiri penunggul
penitis: riasan pengantin di sebelah kanan dan kiri pengapit
godheg: riasan pengantin yang membentuk cambang membentuk sudut yang mengarah ke hidung.
Â
Yogyakarta, 23 September 2021
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H