Pengalaman Pribadi dan Pembekalan kepada Anak
Sakit adalah sesuatu yang tak pernah diharapkan oleh siapapun. Terlebih jika terdiagnosa Covid-19. Covid-19 adalah penyakit yang saat ini masih menghangat dalam setiap berita di media televisi maupun koran-koran. Hari  Jum'at tanggal 11 Juni 2021 tepat tujuh hari kami melakukan isolasi di rumah, karena salah satu anggota keluarga terkonfirmasi Covid-19.
Penyakit tersebut qodarullah menghampiri anak kami dan saya merasa khawatir karena di dalam rumah kami ada nenek kami berusia lanjut bahkan sudah memasuki usia 90 tahun. Lansia adalah usia rentan resiko jika sampai terpapar Covid-19. Tetapi kami sangat bersyukur, dari hasil tes PCR yang dilakukan pada keluarga kontak erat kami berempat dinyatakan Negatif tidak terkonfirmasi Covid-19.
Bagaimana anak saya bisa terdiagnosa Covid-19?
Tepatnya tanggal 28 Mei 2021 pagi, anak saya minta dipijat di bagian punggung. Permintaan pijat ini adalah hal yang biasa dia lakukan, jika merasa badannya kecapekan. Saat memijat itulah tangan saya merasa punggungnya hangat tak seperti biasa.
"Kok anget ya, Le?"
"Tak apa-apa,"katanya.
Saya pun tak begitu mengkhawatirkan, tetapi tetap melakukan observasi sampai malam. Suhu tubuh anak saya terasa panas pada malam itu, dan ia pun mulai merasa sekujur tubuhnya tidak enak, persendian mulai terasa sakit. Duh...saya sudah mulai khawatir, tetapi tetap berbaik sangka bahwa semoga hanya malam ini saja seperti yang sudah-sudah langsung sembuh. Namun, saya tetap berhati-hati dan mulai menerapkan pemakaian masker di dalam rumah untuk seluruh anggota keluarga.
Sementara itu jiwa selidik saya mulai bekerja dengan menanyakan bagaimana kondisi saat latihan olahraganya pada malam Kamis sebelumnya (26 Mei 2021).Â
Malam Kamis adalah waktu ia berlatih olahraga silat secara rutin. Dalam bayangan saya tentu yang namanya latihan bertemu teman-teman tidak mungkin bila tidak saling sapa dan bercakap-cakap. Walau pun menurut informasi yang saya terima latihan tetap menjaga protokol kesehatan, jaga jarak, menggunakan masker, tidak berjabat tangan sebagaimana dahulu sebelum masa pandemi.
Observasi tetap saya lakukan, pada hari berikutnya ada gejala tenggorokan sedikit tidak nyaman. Patokan saya jika pada hari ke tiga panas tidak turun, baru saya periksakan ke layanan kesehatan, kecuali kalau ada gejala lainnya yang memberatkan.
Untuk obat sementara, penurun panas selalu tersedia di rumah. Demikianlah sampai hari ketiga (Senin pagi) panas belum turun juga. Akhirnya saya membawa anak tersebut ke Puskesmas setempat.
Sebelum membawa anak periksa ke Puskesmas, terlebih dahulu saya membekali anak dengan beberapa informasi agar dia mempunyai gambaran bagaimana nanti kemungkinan pemeriksaan yang dilakukan petugas. Termasuk kemungkinan apabila nanti dilakukan pemeriksaan swab antigen sebagai pemeriksaan screening Covid-19. Pun saya jelaskan pula tentang hasil jika positif dan jika negatif. Menurut saya ini sesuatu yang penting agar anak paham dan karena ini adalah bagian dari pekerjaan saya sehari-hari.
Harapan saya adalah anak lebih siap mental dan akan mendapatkan pengalaman baru yaitu merasakan sensasi saat dilakukan swab nasal dan tenggorokan. Merasa ngeri bila membayangkan, tetapi dengan motivasi dari orangtua ia mengerti dan memahami pentingnya pemeriksaan tersebut.
Saat memasuki halaman Puskesmas setempat, semua pasien dilakukan screening pemeriksaan suhu tubuh, dilakukan interview riwayat perjalanan, gejala yang dirasakan, keperluan pemeriksaan apa dan pencatatan biodata.Â
Pemeriksaan ini dilakukan di halaman puskesmas sebelum pasien memasuki bagian dalam gedung. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memilah pasien agar sesuai ruang pemeriksaan yang dituju, memisahkan pasien yang bergejala infeksi saluran napas  yang gejalanya mirip dengan infeksi Covid-19 dengan pasien yang tidak bergejala, sehingga tidak campur demi meminimalisir penularan Covid-19.
Pasien yang bergejala infeksi saluran nafas diarahkan ke ruang pemeriksaan 1, pasien tanpa gejala infeksi saluran nafas ke ruang pemeriksaan 2, pasien ibu hamil ke ruang 3, pasien dengan keluhan pada gigi ke ruang pemeriksaan gigi dan mulut, pasien dengan tindakan semisal ganti verban ke ruang tindakan, pasien yang akan berkonsultasi psikologi ke ruang konsultasi psikologi, pasien imunisasi bayi ke ruang imunisasi dan sebagainya.
Setelah melewati pemeriksaan screening tersebut, anak saya dipersilahkan untuk menunggu di depan ruang pemeriksaan 1, dimana ruang tersebut terpisah dari ruang pemeriksaan lainnya. Petugas screening meneruskan data tersebut ke bagian pendaftaran untuk dilakukan entri data dan pencarian Personal Foldernya.
Personal Folder adalah catatan medis pasien yang tersimpan sebagai dokumentasi riwayat kunjungan pasien ke Puskesmas. Famili Folder ini dibawa petugas pendaftaran ke ruang pemeriksaan masing-masing pasien. Saat tiba giliran nama anak saya dipanggil, kemudian dilakukan pemeriksaan dan interview secara lebih detail, petugas mengarahkan untuk pemeriksaan swab antigen saat itu juga.
Anak yang sudah saya bekali dengan informasi-informasi tentang pemeriksaan tersebut, menuju ke ruang di mana swab RDT antigen dilakukan. Untuk pemeriksaan swab RDT antigen ini cukup dengan sampel dari swab nasal/hidung  saja. Menurut anak saya ternyata tidak sakit, hanya sedikit geli sesaat, waktu cotton swab masuk ke saluran hidung.
Saat itu juga kami menunggu hasil pemeriksaan swab RDT antigen kurang lebih 15-20 menit, dan hasilnya negatif. Hasil negatif pada swab antigen ini bukan berarti pasien bebas dari Covid-19. Swab RDT antigen adalah pemeriksaan screening/pemeriksaan pendahuluan, yang bukan sebagai pemeriksaan penentu diagnosa.
Dalam alur pemeriksaan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/3602/2021 Tentang Panduan Pelaksanaan Pemeriksaan, Pelacakan,Karantina, dan Isolasi Dalam Rangka Percepatan Pencegahan dan Pengendalian Coronaviruse Disease 2019 (Covid-19) pada bab IV tentang Alur dan Ketentuan Pelaksanaan Pemeriksaan, Pelacakan, Karantina, dan Isolasi menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan laboratorium Rapid Diagnose Test (RDT) negatif pada kasus suspek Covid-19 di hari pertama pemeriksaan, dilanjutkan dengan pemeriksaan NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) pada hari kelima. Test PCR termasuk NAAT.
Jika hasil tes NAAT/PCR negatif, pasien dinyatakan tidak terkonfirmasi Covid-19, namun jika hasil tes NAAT/PCR Positif pasien dinyatakan terkonfirmasi Covid-19.
Kenapa hasil tes RDT Antigen negatif harus dikonfirmasi lebih lanjut dengan Tes PCR?Â
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia pada artikelnya berjudul Kewaspadaan Antigen Rapid Tes Sars Cov-2 menyebutkan bahwa hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan terinfeksi Sars COv-2 sehingga masih beresiko menularkan ke orang lain.Â
Disarankan tes ulang atau tes konfirmasi dengan NAAT, bila probabilitas pretes tinggi, terutama bila pasien bergejala atau memiliki kontak erat dengan orang terkonfirmasi Covid-19. Selain itu hasil negatif dapat pula terjadi pada kondisi kuantitas antigen masih rendah dibawah level deteksi alat.
Bagaimana pada kasus anak saya?
Walhasil, setelah jadwal tes RT-PCR tiba dilakukan pengambilan swab nasal dan tenggorokan, dan hasil keluar dua hari kemudian anak saya dinyatakan terkonfirmasi Covid-19.
Bagaimana Dengan Hasil Negatif pada Pelaku Perjalanan?
Mungkin ada yang bertanya, termasuk diri saya. Para pelaku perjalanan jauh, baik dengan jalur darat maupun udara dipersyaratkan melakukan salah satu tes cepat salah satunya  RDT antigen. Jika hasil negatif mereka lolos untuk melanjutkan perjalanan dan jika hasil positif mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk melakukan perjalanan dan harus menunda sampai hasil negatif.
Cukup mudah dan gampang menerapkannya, tanpa ribet harus melakukan tes konfirmasi bagi yang negatif, karena interviewnya pun mungkin kurang mendalam.
Mungkinkah sekiranya dari jalur ini akan ada orang yang sebenarnya terkonfirmasi bisa lolos? Kemungkinan itu bisa saja terjadi, jika merujuk pada pernyataan di atas. Karena pada kuantitas antigen yang masih rendah dibawah level alat tes RDT Antigen, ia tidak akan terdeteksi.
Namun jika alur ini diberlakukan, kemungkinan banyak hati yang akan kecewa. Selain menambah beaya pengeluaran karena harga tes PCR lebih mahal, juga perjalanan menjadi tertunda. Untuk kepentingan pelaku perjalanan tentunya semua biaya pemeriksaan akan ditanggung sendiri tanpa subsisi dari pemerintah. Mengingat tes PCR saat ini masih relative mahal yaitu sekisaran Rp850.000,- sampai Rp1.000.000,-, bahkan mungkin ada yang lebih. Tentu para pelaku enggan melakukannya jika hanya untuk kepentingan perjalanan.
Kebijakan pemerintah saat ini pun tidak mewajibkan tes PCR bagi pelaku perjalanan. Mereka masih bebas memilih pemeriksaan apa yang ingin digunakan, apakah GeNose (sekitar Rp30.000,-), RDT Antigen (sekitar Rp100.000 - Rp150.000,-). Alternatif ini adalah sebagai gambaran, kita bisa memilih sesuai kondisi keuangan karena untuk pelaku perjalanan jauh, tentu banyak beaya yang dikeluarkan. Â Sebagai jalan keluar jika tidak ada kontak erat dengan penderita terkonfirmasi Positif dan tidak ada gejala mungkin tidak perlu dilakukan tes ulang.Â
Pesan yang harus selalu diingat adalah penerapan protokol kesehatan yang awalnya 3 M sekarang menjadi 5 M inilah yang harus diingat dan dibiasakan. Apa saja 5M tersebut :
- Memakai masker dengan baik dan benar
- Menjaga jarak minimal 1,5m-2m
- Mencuci tangan mengunakan sabun dan air mengalir
- Menghindari kerumunan
- Membatasi mobilisasi dan interaksi
Demikian sedikit tulisan ini, apabila ada salah dalam menyampaikan dengan kerendahan hati saya mohon maaf.
Sekian. Salam sehat.
Bantul, 12 Juni 2021
Penulis : Alviyatun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H