Setelah thiwul matang, untuk menyantapnya ditemani dengan parutan kelapa muda, dan sayur pedas dengan berisi dedaunan yang ada di sekitar rumah.Â
Terkadang daun pisang muda, daun gayam ataupun daun lompong, yang diolah dengan santan encer. Tak ada daging, yang ada hanya secuil tempe bakar karena tak ada minyak kelapa untuk menggoreng. Tak pula ada kerupuk.
Itulah pengganjal perut mereka sehari-hari. Untuk mendapatkan beraspun harus buruh ani-ani di sawah saat musim panen padi tiba.Â
Ani-ani adalah proses memetik buah padi menggunakan alat pemotong seperti pisau tipis, tajam, panjang kira-kira 10 cm, ditautkan pada sepotong kayu bentuk segi empat.
Ibunda dari perempuan di atas sangat lihai menggunakan alat ini. Tak heran dalam waktu lebih cepat dari buruh yang lain, hasil petikannya lebih banyak. Alhasil, bagian yang dibawa pulang sebagai upahpun lebih banyak.Â
Upah berupa untaian padi yang diukur dengan menggunakan tenggok kecil. Tenggok dibuat dari anyaman bambu, dirajut menjadi bentuk kotak sehingga muat untuk beberapa ikat padi.Â
Selanjutnya untaian padi ini dijemur sampai kering, dan ditumbuk menggunakan lesung dan alu. Beras pun keluar dari kulitnya, dan dipisahkan menggunakan tampah (bahasa Jawanya : ditapeni). Setelah bersih baru bisa diolah menjadi nasi.
Kembali ke perempuan yang menuruni sifat ulet dan rajin dari kedua orangtuanya. Beliau tumbuh dan besar dengan tempaan hebat keadaan sekitar yang memang tengah berproses menuju kesejahteraan.Â
Lahir 13 tahun setelah Indonesia merdeka adalah masa-masa yang masih sulit. Kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak sampai ke jenjang tinggi pun masih kurang. Nasib yang sama menimpa perempuan yang tekun dan ulet ini.
Saat duduk di bangku kelas 2 SLTP, beliau harus menerima lamaran seorang lelaki yang tak lain adalah gurunya sendiri. Masa bermain dengan teman-teman yang belum terpuaskan, masa sekolah yang belum tertuntaskan, dan masa asuhan orangtua yang masih jauh dari sempurna, harus terenggut oleh hasrat menikah dari sang lelaki yang tak mau menunggu lebih lama lagi.Â