Perempuan ini sangat sederhana. Lahir dan dewasa di sebuah dusun jauh dari kota. Secara kehidupannya jauh dari hal-hal berbau modern, pun saat dunia sudah sangat maju. Dewasa di tengah alam desa, menempanya menjadi seorang yang ulet, rajin dan berpikir simpel (sederhana).
Sifat ulet terasah dari orangtuanya yang seorang petani, tetapi di lain waktu bapaknya juga menjadi seorang tukang bangunan rumah yang sering dimintai tolong oleh para tetangganya.Â
Hasil tangan si bapak cukup bagus sehinggga banyak tetangga yang merasa puas dengan garapan si bapak. Saat menggarap sepetak sawahnya, tak pernah mengenal lelah merawat tanaman yang sedang tumbuh, sehingga hasil panenpun bisa membantu kebutuhan sehari-hari. Pun demikian keseharian ibundanya yang ulet dan rajin pula.
Ibundanya membantu menggarap sawah dan menjual dagangan lombok maupun makanan pokok berupa gaplek. Gaplek adalah bahan makanan berasal dari ketela pohon yang di kupas kulitnya, direndam air beberapa hari kemudian dijemur di bawah terik matahari sampai mengering.
Untuk mendapatkan gaplek ini, ibundanya harus membeli ke daerah pegunungan yang cukup jauh, dan ditempuh dengan berjalan kaki. Karena pada waktu itu kendaraan masih sangat langka.Â
Bahkan untuk sebuah sepeda, bagi rakyat kecil seperti mereka belum mampu membelinya. Gaplekpun digendong di atas punggung, walaupun berat tapi mereka nyatanya tetap kuat.Â
Naik turun gunung tanpa alas kakipun dilakoni, demi untuk sesuap makanan yang belum tentu nasi didapat. Gaplek pun menjadi santapan sehari-hari pengganjal perut, penopang raga untuk tetap bisa berdiri.
Adalah thiwul makanan olahan dengan bahan baku gaplek yang bisa dikreasikan saat itu. Persediaan gaplek diolah sedikit demi sedikit, dengan cara ditumbuk halus menggunakan lumpang dan alu dari kayu. Selanjutnya diuleni dengan sedikit air dan dikukus sampai matang.
Alat kukus yang tersedia waktu itu adalah kuali dan dandang. Kuali berasal dari tanah liat dibentuk dengan bagian bawah membulat sehingga bisa menampung air kukusan. Dan gaplek ditampung dalam wadah kukusan bentuk kerucut dengan bahan anyaman bambu.
Alat kukus lain adalah dandang yang berbahan baku dari kuningan, digunakan untuk mengukus gaplek atau beras dalam jumlah besar.
Setelah thiwul matang, untuk menyantapnya ditemani dengan parutan kelapa muda, dan sayur pedas dengan berisi dedaunan yang ada di sekitar rumah.Â
Terkadang daun pisang muda, daun gayam ataupun daun lompong, yang diolah dengan santan encer. Tak ada daging, yang ada hanya secuil tempe bakar karena tak ada minyak kelapa untuk menggoreng. Tak pula ada kerupuk.
Itulah pengganjal perut mereka sehari-hari. Untuk mendapatkan beraspun harus buruh ani-ani di sawah saat musim panen padi tiba.Â
Ani-ani adalah proses memetik buah padi menggunakan alat pemotong seperti pisau tipis, tajam, panjang kira-kira 10 cm, ditautkan pada sepotong kayu bentuk segi empat.
Ibunda dari perempuan di atas sangat lihai menggunakan alat ini. Tak heran dalam waktu lebih cepat dari buruh yang lain, hasil petikannya lebih banyak. Alhasil, bagian yang dibawa pulang sebagai upahpun lebih banyak.Â
Upah berupa untaian padi yang diukur dengan menggunakan tenggok kecil. Tenggok dibuat dari anyaman bambu, dirajut menjadi bentuk kotak sehingga muat untuk beberapa ikat padi.Â
Selanjutnya untaian padi ini dijemur sampai kering, dan ditumbuk menggunakan lesung dan alu. Beras pun keluar dari kulitnya, dan dipisahkan menggunakan tampah (bahasa Jawanya : ditapeni). Setelah bersih baru bisa diolah menjadi nasi.
Kembali ke perempuan yang menuruni sifat ulet dan rajin dari kedua orangtuanya. Beliau tumbuh dan besar dengan tempaan hebat keadaan sekitar yang memang tengah berproses menuju kesejahteraan.Â
Lahir 13 tahun setelah Indonesia merdeka adalah masa-masa yang masih sulit. Kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak sampai ke jenjang tinggi pun masih kurang. Nasib yang sama menimpa perempuan yang tekun dan ulet ini.
Saat duduk di bangku kelas 2 SLTP, beliau harus menerima lamaran seorang lelaki yang tak lain adalah gurunya sendiri. Masa bermain dengan teman-teman yang belum terpuaskan, masa sekolah yang belum tertuntaskan, dan masa asuhan orangtua yang masih jauh dari sempurna, harus terenggut oleh hasrat menikah dari sang lelaki yang tak mau menunggu lebih lama lagi.Â
Dukungan orangtua untuk mengenyam pendidikan tinggi pun tak pernah digenggamnya, karena orangtua lebih senang anandanya menikah dengan seorang laki-laki yang mapan secara finasial. Masa depan pasti di tangan pegawai negeri. Itu pendapat kebanyakan orangtua pada jaman itu.
Pernikahan pun terjadi. Semua cita-cita dan harapan perempuan yang menurut cerita ibundanya tergolong pintar dan disayangi para gurunya ini, semakin jauh dari jangkauan.Â
Tidak ada kesempatan lagi, karena sang suami memang menghendaki isteri di rumah saja, siap melayani dan mengasuh putra-putrinya kelak.
Hidup pahit yang pernah dialami dan didikan orangtua untuk tekun dan ulet pun menjadi bekal kehidupannya membina rumah tangganya. Kepiawaiannya mengatur ekonomi keluarga menjadikan kehidupan rumah tangganya jauh dari kekurangan. Hanya berbekal pendidikan lulusan SD. Â
Bahtera rumah tangga yang ia lalui bersama suami, tanpa didasari rasa cinta seperti layaknya anak-anak muda sekarang. Tanpa pacaran, bahkan sama sekali beliau awalnya tidak tertarik pada pak gurunya ini.Â
Usia keduanya pun terpaut 14 Â tahun. Mungkin pula karena takdir yang telah meyakinkannya, dan keinginan untuk membahagiakan orangtua, beliau tak keberatan menjalani skenario ini.
Sampai suatu masa di mana telah lahir putra-putri dari pasangan ini, dan mereka tumbuh dalam kasih sayang berlimpah, dan bimbingan yang baik dari seorang ibu yang pintar, tekun,ulet dan selalu siaga mendampingi putra-putrinya.Â
Meski tumbuh di jaman yang berbeda, namun si ibu selalu mengikuti perkembangan jaman dan tidak kolot. Tidak ada rasa ingin balas dendam, menerapkan semua yang terjadi pada beliau di masa lampau pada diri anaknya, yang ada keinginan beliau untuk mengantarkan putra-putrinya menjadi manusia yang bermartabat, berpendidikan dan berakhlakul karimah.
Kini putra-putri beliau telah dewasa dan telah menggapai cita dan cintanya. Hidup bahagia bersama keluarga masing-masing. Beliau selalu terlihat bahagia melihat putra-putrinya menjalani hidupnya dengan tenang, di jaman modern yang semua fasilitas dengan mudah didapat.Â
Meskipun di sisi lain beliau harus merawat dan melayani suami yang telah sekian lama terbaring di tempat tidur karena raganya yang sudah tak berdaya lagi. Keperkasaannya tlah memudar dan keriput tulang pipi pun tergambar perjuangan (lagu Ebiet).
Perjuangan perempuan mulia inipun tak pernah berakhir. Demi surgaNya beliau rela dan mengikhlaskan semuanya. Semua yang terbaik untuk keluarga.Â
Dan beliau adalah ibundaku tercinta, yang selalu membuatku bangga. Meski tak kan pernah mampu menyamai kepiawaiannya mengelola rumah tangga, ibunda selalu menjadi inspirasi putra-putrinya.Â
Dan suami beliau adalah bapak kami tercinta, yang tak kan pernah kami lupa jasa-jasanya. Semoga keterbatasan gerak raganya kini menjadi saksi kelak di yaumul akhir, bahwa dengan pengorbanan raganya itulah beliau mengantarkan kami menjadi manusia yang bermartabat, berakhlak mulia, dan berguna untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Ibu, terimakasih atas semua karya besarmu, yang mampu membangkitkan kami putra-putrimu tuk selalu meneruskan perjuanganmu. Bapak, setiap langkah dan gerakmu akan selalu menjadi pendorong kami tuk mencapai cita-cita. Terimakasih pula atas semua doa-doa kalian yang tak pernah henti.
Doa yang tak henti-henti kami panjatkan untuk kesehatan, ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan bapak dan ibu. Semoga Allah mengampuni semua dosa, selalu menguatkan iman, menjaga kesabaran menjalani masa-masa lanjut usia dengan saling menyayangi. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H