Mohon tunggu...
Alvito Renaldi
Alvito Renaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Pernikahan Wanita yang Sedang Mengandung

21 Februari 2023   18:57 Diperbarui: 21 Februari 2023   18:59 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hal ini bisa terjadi kepada mereka yang tidak mempunyai landasan iman yang kuat dan keyakinan moral yang lemah. Terlebih lagi apabila kondisi ini terjadi kepada orang yang mempunyai tipe extrovert (orang yang lebih mementingkan hal-hal lahiriyah). Terjadi karena masalah itu berkaitan dengan sikap, maka manusia yang memiliki sikap extrovert harus memiliki pemahaman yang lebih kuat dan mendalam tentang agama disertai pengalaman hidup beragama yang lebih intensif dan lebih kuat.

Faktor eksternal

Terdapat dua faktor eksternal yang memungkinkan untukk terjadinya pernikahan hamil di luar nikah yaitu:

a.Kondisi sosial Faktor eksternal yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan zina adalah disebabkan kondisi sosial yang mentolerir pergaulan bebas antara pria dan wanita. Adat istiadat yang dahulunya memandang tabu pergaulan bebas antara pria dan wanita, kini menjadi semakin longgar. Kondisi sosial yang penuh sesak dengan situasi, suasana mediasi kepornoan telah berfungsi sebagai perangsang, pendorong manusia extrovert yang memiliki nafsu birahi terhadap lawan jenisnya, namun tidak memiliki keimanan dan kendali moral yang kuat, untuk menghindari diri dari perbuatan yang melanggar hokum agama dan adat istiadat yang berlandasan moral agama (akhlakul karimah) sehingga terjerumus untuk melakukan hubungan seksual di luar akad nikah yang sah (perzinahan).

b.Aturan Hukum Pidana Yang Sangat Lemah

 Aturan hukum pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tidak mencantumkan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah yang dilakukan oleh bujang dan gadis atau orang-orang yang tidak terikat pernikahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka sebagai perbuatan zina dan perbuatan zina yang ada dalam KUHP dimasukkannya ke dalam delik aduan absolut. Akibatnya sebagai anggota masyarakat, tidak takut melakukan perbuatan zina atau hubungan seks di luar pernikahan yang sah karena tidak ada atau tidak pasti adanya aturan hukum positif yang akan menjeratnya. Nina Surtiretna dalam bukunya Bimbingan Seks: Pandangan Islam dan Medis, juga memberikan keterangan, setidaknya ada tiga faktor pemicu terjadinya hamil di luar nikah yaitu: faktor internal individu, di luar individu dan faktor masyarakat. Yang dimaksud dengan ketiga faktor tersebut adalah: Pertama, faktor internal individu: di antaranya ketidak mampuan mengendalikan hawa nafsu dan kurang kuatnya iman. Kedua, faktor di luar individu: yang memungkinkan bahkan mendorong perzinahan, seperti laki-laki dan perempuan berada di dalam satu rumah tanpa ada orang lain (khalwat). Islam melarang keras terhadap perbuatan yang menghantarkan pada perbuatan zina/berkhalwat. Selain itu hotel, diskotik, bar, pornografi dalam bentuk majalah dan film-tv, video dan lain sebagainya yang dapat berperan dalam meningkatkan daya rangsang seksual dua orang yang berlainan jenis, yang bila mencapai tttingkat tertentu mandesak untuk segera menikmati "buah terlarang". Ketiga, faktor normatif: masyarakat semakin pesimis, toleran, masyarakat tidak peduli lagi terhadap kebersamaan dua orang yang berlawanan jenis yang bukan suami isteri pada suatu saat dan pada satu tempat. Dengan kata lain, masyarakat semakin longgar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas sehingga terjadilah perzinahanTerjadinya peristiwa hamil di luar nikah, selain karena adanya pergaulan bebas, juga karena lemahnya iman pada masing-masing pihak. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi perbuatan yang keji dan terlarang itu, pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum semakin diperlukan oleh setiap individu.

Pernikahan wanita hamil tentu saja menimbulkan perdebatan dikalangan ulama, berikut adalah pendapat ulama mengenai pernikahan wanita yang sedang hami. Pertama, Pendapat Imam Abu Hanifah yang menjelaskan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan. Kedua Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita yang hamil, kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah bertobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih belum boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253. Ketiga, Pendapat Imam Asy-Syafi'i yang menerangkan bahwa baik laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.

Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil sebaiknya dihindari, karena dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi dalam kandungan. Ulama juga menekankan pentingnya melakukan persiapan yang matang dan memperhatikan kesehatan dan kesiapan fisik dan mental sebelum melakukan pernikahan, terlebih lagi bagi wanita hamil.

Dalam konteks masyarakat modern, pandangan ulama tentang pernikahan wanita hamil juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta norma-norma sosial dan hukum yang berlaku di masing-masing wilayah atau negara. Beberapa ulama mungkin menganggap pernikahan wanita hamil sebagai hal yang wajar dan dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat tertentu, sementara yang lain mungkin lebih menekankan pada pentingnya menghindari risiko-risiko yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi dalam kandungan.

Tinjauan secara sosial, religius, dan yuridis pernikahan wanita yang sedang hamil. secara sosial tentunya akan mendapat respon negatif dari Masyarakat, tidak jarang pelaku merasa di kucilkan atau tidak disenangi oleh warga dimana mereka tinggal, hal ini wajar terjadi di Desa Benua Baru, setiap ada remaja yang menikah akibat hamil diluar nikah respon masyarakat akan berubah, dari yang tadi menjadi teman baik namun pelan -- pelan dijauhi oleh temannya. Secara religius, menurut pendapat Imam Abu Hanifah, beliau menjelaskan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh menikahi wanita yang hamil, kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah bertobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih belum boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253. Ketiga Pendapat Imam Asy-Syafi'i yang menerangkan bahwa baik laki-laki yang menghamili ataupun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43. Secara yuridis, menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

Oleh karena itu, bagi orang yang menikah harus mempunyai kesanggupan dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu saja. Islam khususnya di Indonesia telah memberikan kemudahan dengan keberadaan Pasal 53 KHI yang memperbolehkan perkawinan wanita hamil. Keberadaan pasal tersebut dipandang sebagai suatu pembuka bagi kemaslahatan kehidupan manusia terkait dengan kehormatan dan nasab anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun