"Mana Pemerintah? Mana Tim SAR? Mana Relawan? Bullshit semuanya!"
Itulah update status Anwar tatkala dirinya bersama ribuan orang lain di Pamanukan, Subang terendam banjir pertengahan Januari 2013 yang lalu. Status berisi keluhan yang dibuat Anwar tadi bukan tanpa alasan. Malah menurut saya rasanya wajar saja kalau Anwar menanyakan ada di mana dan kemana Pemerintah, Tim SAR dan Relawan? Mengingat wilayah Pamanukan sudah terendam banjir selama 2 hari dengan banjir yang semakin meluas, sementara belum ada tanggapan atau bantuan apapun untuk mereka yang terkena musibah banjir.
Ribuan warga mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Kolong jembatan Pantura menjadi salah satu pilihan tempat mengungsi. Sayangnya ini pun tidak berlangsung lama. Karena curah hujan yang tinggi, banjir pun semakin meluas sehingga kolong jembatan bukan lagi tempat yang aman.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Pengungsi di kolong jembatan Pantura, Sumber : InilahKoran"] [/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="720" caption="Kolong jembatan yang tadinya jadi tempat pengungsian pun akhirnya kebanjiran, Sumber : Facebook"] [/caption]
Namun masih banyak yang terjebak banjir, terutama mereka yang berada di desa yang sulit diakses.
[caption id="" align="aligncenter" width="303" caption="Rumah terendam banjir di Kampung Baru Mulyasari, Subang, Sumber : Facebook"] [/caption]
Berita mengenai banjir di wilayah Pantura di media memang tidak sedahsyat berita banjir yang menerjang ibukota Jakarta. Padahal puluhan ribu rumah terendam banjir karena jebolnya 17 tanggul yang tersebar di beberapa kecamatan di Subang (Sumber : Pikiran Rakyat)
Banjir, salah siapa?
Sudah bukan hal yang aneh kalau setelah banjir surut, kebanyakan orang lupa mencari pangkal masalah penyebab banjir. Berbeda dengan saat banjir datang menerjang. Semua pihak seolah tidak mau disalahkan dan menuduh orang lain lah yang harus bertanggung jawab.
Sebagai orang yang tinggal di daerah pegunungan, saya sendiri merasa bersalah. Saya merasa sebagai salah satu penyumbang masalah terjadinya banjir di Pamanukan ini. Sudah cukup banyak alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, pertanian bahkan pemukiman yang tidak dapat dicegah, dengan alasan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup.
Subang sendiri memiliki ratusan hektare hutan lindung di wilayah selatan Subang. Ratusan hektare hutan lindung itu ditumbuhi sejumlah pepohonan pinus, puspa, dan mahoni yang berfungsi sebagai penyangga hutan. Saat ini kondisi hutan lindung di wilayah Subang dalam keadaan kritis akibat alih fungsi lahan oleh petani menjadi lahan perkebunan. (Sumber : Koran Sindo)
[caption id="" align="aligncenter" width="296" caption="Hutan lindung Subang kritis, Sumber : Koran Sindo"] [/caption]
Belum lagi kebiasaan buruk kebanyakan masyarakat di lingkungan tempat tinggal saya yang seringkali membuang sampah ke selokan saat datang hujan deras. Tidak ada kesadaran dari masyarakat sendiri dan juga edukasi dari aparat desa bahwa membuang sampah ke selokan itu hanya menumpuk masalah di kemudian hari.
Saya sangat bisa mengerti apa yang ada di benak orang lain ketika mereka dengan sengaja menghanyutkan sampah di selokan saat hujan. Mereka pikir, ini adalah cara yang praktis dan dijamin membuat lingkungan tempat tinggal mereka bersih dari sampah. Well, lingkungan tempat tinggal mereka boleh jadi bersih dari sampah. Lalu bagaimana dengan tempat di mana sampah itu bermuara?
Mari kita tengok foto-foto berikut ini!
[caption id="" align="aligncenter" width="464" caption="Lautan Sampah Di Kali Sentiong, Tanjung Priuk, Jakarta, Sumber : Viva News"]
Melihat foto-foto di atas, saya yakin kalau kebiasaan membuang sampah sembarangan apalagi membuang sampah ke selokan/sungai ini bukan hanya dilakukan oleh para tetangga saya. Iya kan?
Saya jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, sekitar tahun 1999, ketika saya diberi kesempatan mengikuti pendidikan dasar (diksar) salah satu komunitas pecinta alam di kampus. Saat itu sebagai salah satu rangkaian perjalanan diksar saya dan teman-teman peserta diksar lain diwajibkan melakukan operasi bersih di sepanjang jalur Gunung Gede-Pangrango, Bogor. Selama 3 hari kami di Gunung Gede-Pangrango memunguti sampah dan 6 polybag besar tidak cukup menampung sampah-sampah yang berserakan di sana. Geram tentu saja. Apa yang ada di pikiran mereka yang pastinya mengaku sebagai pecinta alam itu saat membuang sampah seenaknya di gunung?
Tapi saya juga yakin kalau masih banyak orang-orang yang disiplin membuang sampah di tempatnya, dan kemudian menyerahkan sepenuhnya pengelolaan sampah itu kepada petugas terkait. Namun seperti yang kita ketahui, pengolahan sampah di negeri kita ini belum optimal. Jadi ya wajar saja jika jutaan kubik sampah memenuhi TPA (Tempat Pembuangan Akhir), sungai dan lautan di seluruh Indonesia.
Potensi kerugian akibat banjir
Saat banjir melanda Pamanukan Januari 2014 yang lalu, belasan ribu hektare sawah juga terendam banjir. Berdasarkan data dinas pertanian Kabupaten Subang, pada saat banjir melanda tanaman yang mengalami puso luasnya 13.379,8 hektar, terdiri dari tanaman 9.884 hektar dan persemaian benih 3.495,8 hektar. Kerugian yang diderita para petani di Kabupaten Subang akibat areal sawahnya trendam banjir ini diperkirakan mencapai Rp 3,274 miliar.
Selain kerugian tanaman mengalami puso, banjir juga menyebabkan banyak saluran tersier yang mengairi sekitar 5.000 hektare sawah tersebar di sejumlah daerah mengalami kerusakan. Untuk memperbaiki saluran tersier dibutuhkan biaya Rp 1 juta per hektarnya. (Sumber : Pikiran Rakyat)
[caption id="" align="aligncenter" width="625" caption="Sawah terendam banjir, Sumber gambar : Pikiran Rakyat"] [/caption]
Kerugian yang diderita Kabupaten Subang akibat banjir yang melanda wilayah utara diperkirakan lebih dari Rp 39 miliar. Kerugian tersebut merupakan rekapitulasi sementara dari berbagai kerusakan fasilitas umum, areal pertanian, bangunan hingga harta benda warga.
[caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Infrastruktur rusak di Kabupaten Subang, Sumber : Facebook"] [/caption]
Ini baru kerugian yang diderita oleh Kabupaten Subang. Sementara banjir pertengahan Januari kemarin juga terjadi di daerah lain. Bayangkan berapa banyak rupiah yang terbawa hanyut oleh banjir?
Apa yang bisa kita lakukan?
Small things for big, bright and better future!
Orang bilang, masa depan yang baik itu bukan hanya ditunggu, tetapi juga harus dipersiapkan dengan baik. Nah, daripada menunggu dan mengandalkan orang lain, kenapa kita tidak memulainya dari diri sendiri?
Ya, karenanya saya mulai mengelola sampah sendiri. Saya belajar memilah milih dan memanfaatkan sampah domestik demi terjaganya lingkungan hidup. Sudah cukup banyak artikel maupun blog yang membahas mengenai ini.
Sampah kertas dan plastik yang dihasilkan sehari-hari saya kumpulkan.
Keterbatasan lahan tidak menjadi halangan agar bisa berkebun. Saya menggunakan botol dan kaleng plastik bekas untuk dijadikan pot.
Saya juga memberanikan diri meminta tolong ke tetangga/warung-warung kopi agar tidak membuang bungkus kopi untuk saya tukar dengan beberapa rupiah. Bersyukur anak-anak saya mau diajak berkreasi dengan sampah plastik tanpa rasa sungkan.
Bahkan saat ada pagelaran busana, Si Tengah mau memakai pakaian daur ulang yang dibuat dari plastik keresek. Hasilnya? Tidak kalah mempesona dibanding anak-anak lain (yah... ujung-ujungnya muji anak sendiri hihihi)
Meski tidak seberapa, tapi saya berharap apa yang telah anak-anak lakukan memiliki efek seperti di film Pay It Forward. Ketika anak-anak saya tidak membuang sampah sembarangan, teman-teman yang melihatnya juga akan melakukan hal yang sama.
Jadi, mari kita hentikan buang sampah sembarangan dari sekarang, menjaga lingkungan demi masa depan yang gemilang :)
Kalaupun ternyata apa yang saya harapkan itu tidak terjadi, setidaknya anak-anak saya tidak membuat Si Komo bingung...
Banjir lagi, banjir lagi... Aduh Komo bingung lagi
Gara-gara kita-kita buang sampah sembarangan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H