Mohon tunggu...
Alvin Dwi Saputra
Alvin Dwi Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Kepercayaan Kuno Dengan Budaya Islam di Jawa

21 Maret 2021   19:47 Diperbarui: 21 Maret 2021   20:35 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negeri 1001 budaya. Rasanya sangat tepat bila ditujukan kepada Indonesia dengan keaneka ragaman budaya yang sedemikian rupa. Salah satunya berkaitan dengan sistem kepercayaan di negara ini. Seperti yang kita tau, bahwasanya di Indonesia banyak sekali sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Itu menggambarkan betapa pluralnya bangsa ini. 

Namun, jauh sebelum masuknya agama seperti Islam, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Telah ada satu sistem kepercayaan kuno yang disebut dengan "Kapitayan". Kapitayan itu sendiri berasal dari dua kata yaitu "Kapi" yang artinya kera. Kera disini menunjukan simbol tentang kecerdasan dan yang kedua yaitu "Taya" yang artinya air, berarti seseorang yang telah mencapai ilmu tinggi dilambangkan dengan air.

Kapitayan sudah ada di Tanah Jawa jauh sebelum pesatnya peradaban dan banyak dianut oleh manusia berkulit hitam yaitu ras Proto Melanesia. Secara garis besar, Kapitayan menyembah Tuhannya yang mereka sebut Sanghyang Taya, yang dalam Bahasa Jawa bermakna Suwung dan jika diartikan dalam Bahasa Indonesia yaitu hampa. Hal serupa juga ada pada ajaran Tantra yang menyebut Tuhannya sebagai Sanghyang Paramasunya, artinya melebihi kesunyian. 

Jadi pada intinya, baik Sanghyang Taya maupun Sanghyang Paramasunya dimaknai sebagai sesembahan yang tidak bisa dipikir dan dicapai panca indra. Oleh karena itu, seseorang yang menganut ajaran Kapitayan mendefinisikan Tuhannya dengan istilah "Tan Keno Kinoyo Ngopo" atau tidak bisa diapa-apakan namun tetap ada.

Maka dari itu, supaya dikenal oleh manusia maka Sanghyang Taya menggambarkan sifat dirinya dengan nama Tu atau To yang bermakna "kekuatan ghoib". Kemudian Tu atau To tadi menjadi satu kesatuan yang disebut Sanghyang Tunggal dan memiliki dua sifat layaknya hidup ada yang baik dan buruk. Sifat yang baik disebut dengan istilah Sanghyang Wenang dan sifat yang buruk sering disebut Sanghyang Manikmaya. Walaupun ada dua istilah yang digunakan, sebenarnya itu semua tetap merujuk pada Sanghyang Tunggal.

Karena sifat-Nya yang tidak bisa diapa-apakan, maka seseorang yang mengikuti laku Kapitayan mempercayai bahwa Sanghyang Taya memanifestasikan dirinya di benda-benda yang ada unsur tu atau to misalnya watu (batu), tugu, tuk (mata air), termasuk pohon-pohon besar. Selain itu ada juga tempat ibadah khusus yang disebut Sanggar, dengan ciri khas lubang kosong ditengahnya sebagai wujud persembahan kepada Sanghyang Taya karena sifatnya yang tan keno kinoyo ngopo. Lalu, praktik ibadah yang dilakukan disebut dengan istilah Sembahyang.

Praktik Sembahyang tersebut dilakukan dengan empat gerakan, yang pertama disebut Tulajeg (berdiri tegap) disertai dengan tangan yang swadikep (sedekap) diarahkan ke hati, yang artinya ada Sanghyang Taya didalamnya. Kemudian setelah Tulajeg yaitu Tungkul (membungkuk) lalu dilanjutkan dengan Tondem (bersujud rapat) dan yang terakhir yaitu Tulumpuk(duduk diatas kedua kaki).

Setelah sekian lama orang Jawa menganut Kapitayan, datanglah orang-orang luar Jawa (Bangsa Dongson) dengan budaya serta kepercayaan baru, namun kepercayaan itu tidak jauh berbeda dengan Kapitayan. Maka penganut kapitayan menganggap hal tersebut sebagai perwujudan Sanghyang Taya di daerah lain, hanya saja dengan nama yang berbeda. 

Kemudian datang pula bangsa barat dan menyebut ajaran Kapitayan ini dengan istilan Animisme dan Dinamisme karena melihat penganut Kapitayan yang menyembah bebatuan dan pohon. Sebenarnya bukanlah batu maupun pohon yang mereka sembah, namun ruang sunyi di dalamnya yang melambangkan adanya dzat Sanghyang Taya.

Budaya Islam Di Jawa

Dengan adanya Kapitayan yang menjadi kepercayaan orang Jawa saat itu, sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan yang datang setelahnya, salah satunya Islam. Setelah Walisongo datang ke Nusantara, mereka melihat bahwasanya agama Hindu-Budha hanya dianut oleh kalangan Gusti atau orang-orang keraton. Sementara rakyatnya banyak yang masih menganut Kapitayan. Oleh karena itu, para wali terlebih dahulu menyebarkan Agama Islam di Nusantara dengan pendekatan Kapitayan sekitar abad ke-15 dimulai oleh Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel dan saudaranya Ali Mursada (Ali Murtadho).

Walisongo beranggapan apabila dalam penyebaran agama Islam dengan pendekatan Kapitayan maka akan lebih mudah diterima masyarakat. Hal itu selaras dengan prinsip Al-Muhafadzatu Ala Al-Qadimi Al-Shalih Wa Al-Akhdzu Bi Al Jadidi Al-Ashlah (menjaga tradisi yang baik dan mengadopsi budaya baru yang lebih baik) dengan catatan budaya-budaya tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Faktor pendukung lain yaitu para wali merupakan keturunan dari orang-orang ternama pada masanya, sehingga akan lebih dihormati ketika mengenalkan Islam.

Seiring berjalannya waktu, Walisongo mulai mengadaptasikan Islam dengan ajaran Kapitayan. Seperti contohnya membuat tempat ibadah dengan nama Langgar, yang mana namanya hampir mirip dengan tempat ibadah orang Kapitayan yaitu Sanggar. Namun,  istilah sholat saat itu tetap disamakan yaitu Sembahyang dan sampai sekarang istilah tersebut masih banyak digunakan di desa-desa. Kemudian, Sunan Ampel juga melihat adanya tradisi memperingati orang meninggal dengan nama Sraddha yang pertama kali dilaksanakan untuk memperingati kematian Rajasawardhana (Brawijaya II). 

Hal itu berlangsung selama dua belas tahun dan diadakan dengan meriah sebagai lambang untuk mengenang arwah dan jasa-jasanya. Melihat hal tersebut, para wali juga mengajarkan untuk meruwat makam saudara yang telah meninggal sebelum datangnya Bulan Ramadhan dan dikenal masyarakat Jawa dengan nama Nyadran. Kemudian, Sunan Ampel juga membawa tradisi dari Champa untuk memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-40, ke-100, ke-1000 (nyewu) dan orang Jawa menyebutnya Kenduren.

Selain pengaruh Kapitayan,ada juga pengaruh dari penganut aliran Tantra pada agama Islam, yaitu berkaitan dengan upacara Molimo atau Pancamakala Puja yang mana berisi lima cara untuk mencapai sensasi rohani dan menuju puncak penyatuan mistik. Dilakukan dengan mengumbar hawa napsu dan memakan daging sepuasnya, termasuk daging manusia. Dari situ diubah oleh Sunan Bonang dengan nama Slametan, yaitu duduk melingkar dengan tumpeng ditengahnya dan membaca doa-doa Islam. 

Kemudian, tradisi tumpeng itu diturunkan kepada Sunan Kalijaga yang dilakukukan setelah dilaksanakannya sholat berjamaah. Namun sebelum memakan tumpeng tersebut, jamaah diberi tiga tempat cuci tangan yang berisi bunga mawar, bunga kenanga, dan bunga kantil yang memiliki filosofi "Uripmu keno kawarno-warno,keno ngono keno ngene,tapi atimu kudu kantil marang Gusti Allah" dalam bahasa Indonesia berarti hidupmu boleh bermacam-macam, boleh begitu boleh begini, tapi hatimu harus bergantung dengan Allah.

Selanjutnya yang saat ini semua orang pasti mengetahui yaitu tentang puasa. Puasa sudah dilakukan oleh orang Jawa sebelum adanya Islam. Yaitu pada agama Hindu yang disebut Upawasa dan di Kapitayan disebut Pasabrata, keduanya memiliki arti sama yaitu menahan hawa napsu. Lalu datanglah Islam dengan membawa tradisi yang hampir mirip dengan kedua hal tersebut yaitu Syahru Shiyam yang oleh walisongo diganti dengan istilah Puasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun