Mohon tunggu...
Alvin Dwi Saputra
Alvin Dwi Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Kepercayaan Kuno Dengan Budaya Islam di Jawa

21 Maret 2021   19:47 Diperbarui: 21 Maret 2021   20:35 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Walisongo beranggapan apabila dalam penyebaran agama Islam dengan pendekatan Kapitayan maka akan lebih mudah diterima masyarakat. Hal itu selaras dengan prinsip Al-Muhafadzatu Ala Al-Qadimi Al-Shalih Wa Al-Akhdzu Bi Al Jadidi Al-Ashlah (menjaga tradisi yang baik dan mengadopsi budaya baru yang lebih baik) dengan catatan budaya-budaya tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Faktor pendukung lain yaitu para wali merupakan keturunan dari orang-orang ternama pada masanya, sehingga akan lebih dihormati ketika mengenalkan Islam.

Seiring berjalannya waktu, Walisongo mulai mengadaptasikan Islam dengan ajaran Kapitayan. Seperti contohnya membuat tempat ibadah dengan nama Langgar, yang mana namanya hampir mirip dengan tempat ibadah orang Kapitayan yaitu Sanggar. Namun,  istilah sholat saat itu tetap disamakan yaitu Sembahyang dan sampai sekarang istilah tersebut masih banyak digunakan di desa-desa. Kemudian, Sunan Ampel juga melihat adanya tradisi memperingati orang meninggal dengan nama Sraddha yang pertama kali dilaksanakan untuk memperingati kematian Rajasawardhana (Brawijaya II). 

Hal itu berlangsung selama dua belas tahun dan diadakan dengan meriah sebagai lambang untuk mengenang arwah dan jasa-jasanya. Melihat hal tersebut, para wali juga mengajarkan untuk meruwat makam saudara yang telah meninggal sebelum datangnya Bulan Ramadhan dan dikenal masyarakat Jawa dengan nama Nyadran. Kemudian, Sunan Ampel juga membawa tradisi dari Champa untuk memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-40, ke-100, ke-1000 (nyewu) dan orang Jawa menyebutnya Kenduren.

Selain pengaruh Kapitayan,ada juga pengaruh dari penganut aliran Tantra pada agama Islam, yaitu berkaitan dengan upacara Molimo atau Pancamakala Puja yang mana berisi lima cara untuk mencapai sensasi rohani dan menuju puncak penyatuan mistik. Dilakukan dengan mengumbar hawa napsu dan memakan daging sepuasnya, termasuk daging manusia. Dari situ diubah oleh Sunan Bonang dengan nama Slametan, yaitu duduk melingkar dengan tumpeng ditengahnya dan membaca doa-doa Islam. 

Kemudian, tradisi tumpeng itu diturunkan kepada Sunan Kalijaga yang dilakukukan setelah dilaksanakannya sholat berjamaah. Namun sebelum memakan tumpeng tersebut, jamaah diberi tiga tempat cuci tangan yang berisi bunga mawar, bunga kenanga, dan bunga kantil yang memiliki filosofi "Uripmu keno kawarno-warno,keno ngono keno ngene,tapi atimu kudu kantil marang Gusti Allah" dalam bahasa Indonesia berarti hidupmu boleh bermacam-macam, boleh begitu boleh begini, tapi hatimu harus bergantung dengan Allah.

Selanjutnya yang saat ini semua orang pasti mengetahui yaitu tentang puasa. Puasa sudah dilakukan oleh orang Jawa sebelum adanya Islam. Yaitu pada agama Hindu yang disebut Upawasa dan di Kapitayan disebut Pasabrata, keduanya memiliki arti sama yaitu menahan hawa napsu. Lalu datanglah Islam dengan membawa tradisi yang hampir mirip dengan kedua hal tersebut yaitu Syahru Shiyam yang oleh walisongo diganti dengan istilah Puasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun