Mohon tunggu...
Alvin Iskandar
Alvin Iskandar Mohon Tunggu... -

Sampai saat ini saya masih belajar menulis fiksi dan nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesaksian Peron

22 Maret 2012   13:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senyap namun tidak hening. Aku rasa lebih dari satu jenis serangga yang bersenandung malam ini. Nyanyian malam yang syahdu. Ada cahaya kunang-kunang yang menyala-nyala indah dalam temaram berbalut hitam. Berwarna kuning cahayanya, biar aku tebak serangga kunang-kunang ini dari family lampyridae.

Ada nyanyian malam, ada pula cahaya kunang-kunang, aku rasa ini merupakan pesta alam. Dalam pesta harus ada kebahagiaan. Biar aku sanggah saja, dalam pesta tidak harus orang-orang yang bersuka ria, tidak melulu yang bahagia. Aku tidak pernah merasa bahagia ketika keluargaku mengadakan pesta ulang tahun bahkan pesta ulang tahun yang sengaja diperuntukkan kepadaku. Ada kalanya yang bersedih dalam lingkarannya. "Hei, kalian para serangga tidak mampukah kalian mengobati luka?"

*****

Perjalananku menyusuri rel kereta api berakhir di peron ini. Rubuhlah tubuh kurus ini di pelataran yang tidak bersih. Ada rasa lelah yang nikmat. Ternyata pesta alam bukan jawaban untuk kegelisahan. Walaupun serangga bersenandung dan kunang-kunang berkerlap-kerlip elok sekali tetap saja tidak memberikan jawaban terhadap persoalan. Semuanya membuatku terus melangkah, melangkah dan terus melangkah. Hingga kaki benar-benar sulit untuk melangkah. Di peron inilah kaki dan tubuhku menyerah tidak berdaya. Kalah karena keadaan.

Bisingnya suara kereta, mengusik tidurku. Aku tersadar. Rasa lelah tidak dapat terhapuskan. Aku lihat jam tanganku, ternyata aku menghabiskan sepertiga malam di peron ini. Aku layangkan pandangan ke segala penjuru. Banyak coretan disana-sini. Banyak coretan dengan nama sepasang kekasih. Aku tidak tertarik melakukan hal yang menggelikan seperti itu. Sekiranya nanti aku memiliki kekasih aku tidak akan melakukan hal yang demikian, terlalu murahan. Ada tulisan yang aku rasa berjenis provokasi. Bunyinya seperti ini: "BBM NAIK, RAKYAT MENJERIT!"

Rakyat memang sudah menjerit bahkan tercekik oleh tangan-tangan abstrak ketika harga sembako lebih dahulu melonjak naik. "Gila! Aku memang gila untuk apa aku memikirkan persoalan rakyat? Bukankah persoalan rakyat terjadi karena wakilnya sendiri?" Salah sendiri, kenapa memilih memiliki wakil yang banyak membuat persoalan. Kalau aku tidak merasa memiliki wakil, sekiranya muncul persoalan sudah pasti sifatnya pribadi. Coba tengok persoalan diriku sekarang, hampir tidak dapat aku atasi. Aku terlalu dungu untuk ikut serta memikirkan persoalan yang menyangkut permasalahan rakyat.

Aku habiskan waktuku dengan melamun sambil terpaku pada setiap coretan. Tubuhku terasa rapuh. Tidak terasa, aku berdiam diri di peron stasiun sampai berjam-jam. Ternyata melamun bisa menjadi solusi untuk membuang-buang waktu. Biar aku tebak, pasti matahari sudah mulai hangat sekarang. Entah berapa mata manusia yang melihat keberadaanku disini. Risih rasanya ketika mata bertemu mata. Aku alihkan pandanganku menuju arah yang lain. Aha, tukang asongan!

"Mang, beli aqua botol sama garpit setengah, Mang!"

"Apalagi?" tanya si pedagang.

"Udah, ini saja, Mang."

"Kenapa ini mah bukan aqua, Mang?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun