Mohon tunggu...
Alvin Saputra
Alvin Saputra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Demi Mimpi Sang Anak

10 Januari 2017   00:20 Diperbarui: 10 Januari 2017   01:51 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta kota metropolitan, siapa yang tidak tahu ataupun belum pernah mendengar nama kota tersebut? Jakarta merupakan ibu kota Negara Indonesia, pada zaman Belanda dahulu kala dikenal dengan nama Sunda Kelapa ataupun Batavia. Kota Jakarta memiliki luas 661,52 (lautan 6.977,) dengan penduduk berjumlah sekitar 12 juta jiwa, dan sekaligus merupakan kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia.  Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekertariat ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yakni bandara Soekarno Hatta dan bandara Halim Perdanakusuma serta  satu pelabuhan laut di Tanjung Priok.

 Jakarta sebagai kota pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, dan juga merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Tak heran kalau banyak orang Indonesia yang berbondong-bondong dari berbagai pelosok daerah untuk hijrah ke Jakarta, sehingga kota ini dihuni oleh manusia multi kultur dan multi status sosial, juga memiliki beragam jenis masyarakat baik dari macam ras, suku, agama, bahkan warga negara asing, dan juga dari kalangan atas eseperti pejabat pemerintah, pengusaha kaya, artis hingga tukang bajai, tukang ojek, supir taksi, supir bus, buruh, pekerja kantor, kuli bangunan,maling dan bahkan bandar narkoba pun ada. “Jangankan mencari surga dunia, neraka dunia pun ada” begitulah kira-kira kehidupan di Kota Jakarta ini.

Kerasnya kota metropolitan, tak menjadi halangan bagi Pak Rosandi atau biasa dipanggil Pak Ucok ini untuk bertahan hidup di Jakarta. Pada tahun 1987 beliau yang berasal dari Kudus Jawa Tengah ini memilih untuk hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ketika itu beliau masih berusia 24 tahun, karena tidak memiliki keahlian khusus, Ia hanya bisa bekerja menjadi kuli bangunan. 

Pekerjaan yang didapatkannya sebagai kuli bagunan bukan menjadi halangan baginya untuk mencapai kesuksesan, dan tak membuat luntur semangat mudanya yang tinggi untuk mencari uang, beliau terus bekerja dengan kemauan yang kuat, kegigihan dan teliti untuk terus maju. Menjadi kuli bangunan bukanlah perkara mudah, Ia bekerja melawan teriknya matahari dan derasnya hujan, meski begitu beliau terus bekerja keras untuk bertahan hidup. Pak Rosandi adalah sosok orang yang pekerja keras sejak dari usia mudanya, dan Ia selalu menyisihkan sebagian hasil jerih payahnya bekerja dengan cara menabung untuk masa depan  yang akan datang.

            Pada tahun 1993 saat itu beliau telah menyelesaikan suatu proyek pekerjaannya sebagai kuli bangunan, dan mendapatkan gaji yang cukup besar dan Ia memutuskan untuk menikah dengan Ibu Rustina yang dikenalnya saat Ia ditugaskan di Jakarta. Membentuk suatu keluarga sederhana di Jakarta dan tinggal di rumah kontrakan yang kecil. Setelah satu tahun kemudian Pak Rosandi mendapatkan tawaran pekerjaan di Medan, Sumatra Utara sebagai mandor bangunan yang bertugas mengkoordinasi anggotanya untuk suatu proyek besar, dan ini merupakan suatu peluang emas baginya agar bisa memperbaiki kehidupan lebih baik lagi, menjadi mandor disuatu proyek besar pertama kalinya. 

Beliau memutuskan dengan terpaksa untuk meninggalkan sang istri dan buah hatinya yang baru lahir berusia tiga bulan di Jakarta.  Selama tiga tahun mencari nafkah untuk keluarga di kota Medan, terkadang Ia merasa rindu kepada istri dan buah hatinya yang masih bayi bernama Tiyar. “Saat bapak bekerja jauh di Medan dan jarang pulang saya bekerja dagang kue dan menjual berbagai jenis makanan untuk menambah pendapatan memenuhi keperluan-keperluan susu, bubur, vitamin untuk si bayi, selagi bisa usaha saya lakukan untuk sang buah hati” begitulah ujar Bu Rustina (istri Pak Rosandi).

            Tahun demi tahun telah dilalui oleh keluarga Pak Rosandi dengan segala cobaan dan pengorbanan, beliau pun masih bekerja di bidang pembangunan proyek sebagai mandor. Saat menjadi mandor itu, Ia merasakan kesuksesan yang telah diimpikannya selama ini, namun sayang tak lama setelah itu, tepatnya pada tahun 1998 saat krisis ekonomi Indonesia, beliau diberhentikan dari pekerjaan bersama anggota lainnya bahkan tidak diberi gaji. Proyek pembangunan berhenti keseluruhan akibat harga material bangunan yang mahal dan tak mampu menggaji pekerja bangunan. Akibat krisis ekonomi 1998 sungguh banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia terutama Pak Rosandi dan keluarganya, sehingga menyebabkan beliau menjadi pengangguran, memaksanya untuk harus pulang ke Jakarta dan hidup dengan pendapatan yang minim.

            Beberapa tahun kemudian, Pak Rosandi memulai karir baru masih dibidang pembangunan, tetapi hanya untuk merenovasi rumah dan perumahan kecil-kecilan, tak sebesar di proyek dulu. Ia dan keluarga terpaksa mengontrak rumah yang lebih murah dan pindah dari rumah satu ke rumah yang lain  apabila harga kontrak naik. Beliau tak pernah putus asa menghadapi semua ini dan terus bekerja keras untuk istri dan empat orang anaknya yang masih sekolah. Beliau berhasil menyekolahkan empat anaknya, anak pertama bernama Tiyar yang sekarang telah menjadi sarjana komunikasi dari Universitas Mercu Buana, dan sempat mendapatkan beasiswa semester awal hingga semester tiga, karena pada saat sekolah Ia selalu mendapatkan peringkat lima besar dan mempunyai prestasi yang baik. 

Hasil pelajaran dari Tiyar dengan nilai yang memuaskan, seakan terobat letih dan penat  dari perjuangan Pak Rosandi selama ini. Tiyar sekarang sudah memiliki usaha sendiri di bidang periklanan bersama teman-temannya, adiknya bernama Irfan anak kedua dari Pak Rosandi dan Bu Rustina ini sekarang sudah masuk Universitas Bina Sarana Informatika atau biasa disebut BSI, Ia menggemari komputer dan ingin mendalaminya lagi dengan mengambil jurusan teknik informasi, agar bisa mengembangkannya menjadi usaha kelak untuk membantu kedua orang tuanya. Keterbatasan biaya, rumah kontrakan yang kecil dan dua anak yang kuliah, membuat Pak Rosandi harus menitipkan kedua anaknya yang kecil masih sekolah kepada neneknya di Kudus Jawa Tengah, kampung halamannya. 27 tahun sudah dan hingga sekarang Pak Rosandi masih bekerja di bidang bangunan sebagai tulang punggung keluarga, meski sudah berusia 53 tahun namun beliau tetap semangat bekerja keras dari pagi hingga petang.

            Resiko pekerjaannya ialah ditempatkan untuk bertugas malaksanakan proyek yang jauh dari keluarga, seperti ketika ditugaskan di Medan, Lampung, Palembang dan itu membuatnya jarang pulang. Kecelakaan saat bekerja di proyekpun pernah dialami Pak Rosandi, saat Ia ditugaskan di Medan ketika sedang asik bekerja di lantai bawah dan tiba-tiba jatuh kayu runcing dari atas tanpa sepengetahuan beliau, sehingga membuat jari telunjuknya putus sebagian, akan tetapi akibat kecelakaan pekerjaan itu, beliau tetap terus bekerja dan tidak menyesali pekerjaannya.

Pak Rosandi berpesan kepada anak muda terutama para pelajar dan mahasiswa akan pentinganya pendidikan yang tinggi, “Ilmu sangat berguna bagi diri sendiri dan orang lain, oleh karena itu teruslah belajar dengan giat, carilah ilmu setinggi-tingginya dan jangan pernah malas untuk menuntut ilmu, menjadi orang pintar itu berarti kita sudah menjadi orang kaya, akan tetapi menjadi orang kaya belum berarti kita pintar, karena harta bukanlah segala-galanya” ujar Pak Rosandi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun