Mohon tunggu...
Alvin Haidar
Alvin Haidar Mohon Tunggu... Relawan - Chemical engineer in the making

Teknik kimia ITB 2016, Terbentur, terbentur, terus tidur Pembelajar, pelajar, pengajar, terhajar.... Cek ig @sobatgajah yakkk

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Saat Tidak Memilih adalah Sebuah Pilihan

10 Desember 2020   06:11 Diperbarui: 10 Desember 2020   06:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan kali ini adalah opini pribadi dan sengaja saya publish pasca pilkada untuk menghindari unsur provokatif terkait niatan pembaca dalam memilih. Mohon bijak dalam membaca isi setelah judul.

Tanggal 9 Desember 2020 kemarin menjadi hari yang berbeda karena sepanjang sejarah untuk pertama kalinya Indonesia mengadakan pemilihan kepala daerah serentak dalam kondisi pandemi. Pandemi jelas membuat segala suasana pemilihan berbeda karena semua agendanya harus dilakukan berpegang kepada protokol kesehatan. 

Emak-emak yang datang pagi-pagi menghindari kerumunan, tim TPS yang siap begadang, para pekerja yang kecewa tanggal merahnya di tengah hari kerja, sampai aroma handsanitizer mewarnai pemilihan kali ini. Sedikitnya promo diskon bagi yang memiliki jari berwarna ungu pun menjadi kekecewaan tersendiri terutama bagi pemburu diskon seperti saya.

Satu hal paling berbeda bagi saya dalam pemilihan kali ini ialah kenyataan bahwa saya memilih untuk tidak memilih calon mana pun di kota saya tinggal. Malas gerak? Tidak. Apatis? Hmm gak kok. Gak ada calon bagus? Ada kok sebenarnya. Kecewa? IYA.

Rasanya tidak memilih adalah sebuah bentuk respon kekecewaan saya atas karut marutnya beragam hal yang terjadi di Indonesia ini akhir-akhir ini. Bukan salah rakyat, tapi ya mungkin 'oknum-oknum' oligarki pemerintahan itu yang buat saya sebel.

Pembungkaman kritik, tindakan represif aparat, pelemahan oposisi, hingga framing beberapa media apalagi dengan adanya buzzer makin membuat kabur segala pemberitaan. Berdasarkan data KontraS diketahui dalam satu tahun masa pemerintahan diketahui tercatat terdapat 157 pelanggaran kebebasan sipil di masyarakat. Hal ini semakin diperparah dengan ditangkapnya dua menteri hanya dalam waktu dua pekan. Kecewa gak?

Rasa kecewa pada diri saya juga merupakan akumulasi atas respon buruk dan feedback dari pemerintah atas berbagai suara rakyat. Sebelum covid melanda pun, aksi masyarakat yang turun menyuarakan UU KPK bahkan tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari pihak pemerintah. Tahun ini makin diperparah dengan turn off mic oleh Ibu Puan dan keputusan RUU Ciptaker yang akhirnya diloloskan. 

Hingga suatu perguruan tinggi pun ikut-ikutan dengan "memulangkan" mahasiswanya yang menyuarakan haknya melalui KPK atas dugaan korupsi rektornya. Menjadi semakin asik kala beberapa media seakan selalu memberikan pemberitaan yang sangat "pro-pemerintah" atau minimal cari aman, pokoknya pemerintah selalu positif vibes lah di mata kita.

Lah, kenapa yang jadi korban malah pilkadanya, Vin? Yap mau gimana lagi, keputusan pilkada tetap dilaksanakan tidak lepas dari keputusan pemerintah itu sendiri. Melihat performa pemerintahan sekarang saya makin merasa siapa pun wali kota saya tidak bakal luput dari jari jemari pemerintah, partai, dan pihak-pihak tertentu. Apalagi beberapa calon di kota saya masih berkerabat dengan orang-orang pemerintah. Praktik halus dalam melanggengkan dinasti masih sangat terlihat, haduh.  

Kata siapa pilihan saya untuk tidak memilih bukanlah pilihan cerdas? Untuk tidak memilih pun saya juga melakukan observasi baik dari konten, poster-poster calon sampai debat publik yang mungkin minim mengangkat hal-hal urgen bagi kota saya. 

Pendekatan kreatif dan substantif oleh calon walikota lagi-lagi abai malah fokus ke sosok dan latar belakang calonnya. Beberapa slogan pun saya curigai sebagai bentuk cocoklogi belaka dibandingkan sintesis asli. Alhasil hanya menjabarkan kepanjangan nama kota saja terus dibikin jargon. Kalo kaya gini jadinya lebih seru pemilihan ketua himpunan mahasiswa jadinya.

Saya tidak bisa lupa dengan alasan Ketua Umum DPR RI terkait pentingnya pelaksanaan pilkada serentak tetap dilaksanakan (bisa dicek di lini berita kompas). Salah satu pernyataannya adalah untuk menguatkan penanganan pandemi covid-19 diperlukan sosok pemimpin baru dan bukan plt yang dapat membuat lambat kerja pemda karena terbatas ruang lingkupnya. Kenapa gak sekalian Ibu juga diganti aja nih biar makin oke gak cuman covid tapi juga kebijakan lain? Hehehe.

Akhir kata bagi saya keputusan tidak memilih kali ini ialah sebuah bentuk aksi dan bukanlah sikap antipati. Meski kecewa saya yakin masih ada harapan besar untuk bangsa ini ke depannya, mari tetap kita kawal. Saya tidak akan tutup dengan quotes tapi saya tutup dengan informasi bahwa kini kasus positif covid telah mencapai angka 592.900 dengan kasus baru mencapai 5.292 per 8 Desember 2020 jadi tetap stay safe guys. Oiya saya bukan orang yang biasa ngobrolin politik jadi kritik dan saran sangat terbuka di komentar. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun